Sebagian besar orang pasti mengetahui apa itu pengamen. Meskipun jawabannya beragam ketika ditanya tentang pengertiannya, tetapi semua sepakat bahwa pengamen adalah seseorang atau sekelompok orang yang mencari nafkah dengan kemampuannya bernyanyi dan atau memainkan alat musik. Alat musiknya bisa gitar saja, suling saja, ukulele (gitar kecil dengan 4 senar), drum atau bongo (alat musik yang ditabuh) saja, biola saja, atau perpaduan dari seluruh alat musik tersebut.
Berbeda dengan artis, baik penyanyanyi solo, maupun grup band, pengamen cenderung lebih banyak menjual jasanya itu dari toko ke toko, restoran ke restoran, kereta ke kereta, hingga dari mobil umum ke mobil umum. Dan pendapatannya juga berbeda. Jika artis bisa jutaan rupiah sekali manggung, kalau pengamen, dapat Rp 100 ribu saja itu sangat beruntung. Belum lagi setigma buruk yang seolah melekat atau dilekatkan kepada mereka (pengamen).
Seperti misalnya, ketika kita sendiri di sebuah bus angkutan umum, tiba-tiba naik pengamen, terlebih bergerombol. Kontan pemikiran bahwa akan ada sesuatu yang terjadi, satu di antaranya adalah hilang harta benda penumpang bus, karena pengamen jalanan terkenal dengan kekerasan dan mahir memindahkan barang milik orang lain ke tangannya. Terlebih pengamen biasanya berpenampilan “arogan”, seperti rambut gondrong, pakai celana bolong, beranting, dan bertato. Citera kriminalnya sangat lekat.
Tetapi, Sabtu (5/6) lalu, saya merasakan kenyamanan dengan kehadiran pengamen, meskipun awalnya takut dan khawatir. Ketakutan dan kekhawatiran itu juga saya lihat di beberapa penumpang yang duduknya kebetulan bersebalahan, karena sama-sama menuju Tanjung Priuk, Jakarta. Pengamen itu, naik dari Kebon Jeruk. Ia berambut gondrong, bertato, celananya bolong, atau persisi seperti disebuktkan di atas.
Tidak disangka, ternyata lagu yang dinyanyikannya adalah agamis dan mengingatkan seluruh penumpang agar dekat dengan Allah. Spontan kekhawatiran itupun pupus oleh lirik-lirik yang cukup menyentuh hati. Nadanya memang mengambil dari lagu almarhum Mbah Surip yang berjudul “Bangun lagi, tidur lagi”. Si pengamen mengganti lirik lagu tersebut, kurang lebih seperti ini. “Bangun tidur ingat Allah! mau tidur ingat Allah! banguuuun.. ingat Allah. Mau makan, ingat Allah! mau minum ingat Allah! Mau kerjaaaaa, ingat Allah!”.
Selain menyanyikan lagu tersebut, si pengamen yang hanya sendiri dan dengan satu alat musik ukulele, membuat para penumpang merasa nyaman. Terlebih, di sela lagu saat instrumen mengalun, ia menyisipkan puisi yang berisi seruan untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah. Ia juga mengajak para penumpang untuk banyak beramal. “Kita tahu bahwa hitungan matematik Allah kepada yang bersedekah, berbeda dengan hitungan kita. Kalau kita memberi satu harus kembali satu, tetapi Allah memberikan sepuluh kali lipatan dari satu yang diberikan dermawan kepada dhuafa. Karena pasti akan mendapat gantinya dari yang tidak disangka-sangka, yang penting ikhlas,” kata pengamen itu. Ia kemudian melanjutkan. “Menurut para kiyai, orang kaya yang dermawan itu disukai Allah, akan tetapi orang yang belum kaya tetapi suka mendermakan hartanya untuk dhuafa, itu akan lebih dicintai Allah. Maka bersedekahlah untuk kebaikan hidup di masa yang akan datang,” katanya menambahkan.
Saya sangat mengambil pelajaran atas keadaan itu, yaitu tidak buru-buru berprasangka buruk terhadap seseorang, dan tidak mengandalkan prasangka untuk menentukan sesuatu kebenaaran. Sebab, pengamen yang disangka jahat, ternyata sangat baik.
Pejabat terhormat
Sedangkan terhadap para pejabat, baik pejabat publik (menjadi pejabat yang ditentukan oleh publik, seperti anggota DPRD dan kepala daerah), maupun pejabat negara (pejabat yang ditentukan oleh prosedur tetap pemerintah, seperti kepala dinas, hingga camat, dan kepala bagian/bidang, hingga kepala sub bagian/bidang, atau dari PNS), saya termasuk yang kagum dan sangat menghormati mereka. Karena selalu berpakaian rapih (berseragam), dan berisi orang-orang pinter (akademik).
Kekaguman terhadap pejabat puncaknya pernah saya rasakan ketika usia SLTP, setelah melihat penyambutan yang dilakukan masyarakat yang kedatangan tersebut, bak menyambut Dewa, dengan berbagai upacara yang cukup luar biasa.
Tetapi entah mengapa rasa kagun dan sangat hormat itu kemudian pudar dan justru berbalik menjadi sesal. Ini setelah terungkap di media massa bahwa pejabat publik (DPRD), lebih banyak menuntut daripada berbuat untuk rakyat. Menuntut ingin dapat mobil, ganti mobil, tambahan honor, dan sering melakukan pengawasan alakadarnya. Menyusun peraturan daerah (perda) banyak, tetapi sulit diimplementasikan dan cenderung asal. Banyak perda yang biaya pembuatan per satunya mencapai ratusan juta, digugurkan pemerintah pusat oleh karena alasan tertentu, seperti alasan yuridis yang kurang lengkap dan salah dipahami. Kemudian tidak sedikit juga perda yang harus direvisi bukan karena disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang baru, akan tetapi karena ada poin yang belum dimasukkan pada saat pembahasan, karena luput. Padahal, baik membuat maupun merevisi perda, harganya tetap ratusan juta rupiah, dan itu dananya milik rakyat yang dititipkan dalam APBD. Terlebih lagi perdanya tidak jilanakna pemerintah daerah.
Yang paling menarik adalah, baik membuat atau merevisi perda, ada sesi kunjungan kerja (kungker) atau studi banding ke luar daerah dengan dalih mendapat informasi dari daerah yang sudah memiliki perda yang sedang dibahas tersebut. Biasanya para pejabat publik dalam rapatnya, lebih memilih daerah yang memiliki obyek wisata yang cukup sebagai daerah tujuan studi banding. Yang lebih sering kita dengar ke Bali. Padahal, untuk langkah efektif dan efisien, di zaman serba canggih seperti sekarang ini, mendapatkan informasi yang dibutuhkan berkaitan dengan yang akan dibahas dalam perda sangat mudah, yakni bisa melalui dunia maya alias akses intenet. Jika alasannya tidak bisa interaksi langsung, itu salah. Sebab, melalui internet juga bisa berinteraksi dan sangat efektif. Sayangnya ketentuan di atasnya (undang-undang, peraturan pemererintah, dan peraturan menteri) juga mendukung kebijakan studi banding itu.
Tidak hanya itu, rapat anggaran juga lebih sering dilakukan di hotel dengan alasan ingin lebih fokus.
Sementara pejabat negara, tidak sedikit yang instansinya tidak memiliki blue print (cetak biru) yang menunjukkan keseriusan kerja. Ada juga yang memilih kegiatannya tidak langsung mengkaryakan masyarakat dan senang dengan copy paste kegiatan tahun sebelumnya, yakni menggelar sosialisasi, atau sejenisnya. Artinya, dana APBD bukan untuk menggairahkan masyarakat, tetapi lebih banyak menggairahkan diri dan lingkungan instansinya sendiri. Kegiatan itu wajar dipilih karena honor dan SPPD (surat perintah perjalanan dinas)-nya juga sangat lumayan.
Namun tidak sedikit memang pejabat yang serius dengan kerja dan berorientasi untuk kemakmuran masyarakatnya. Jangan lupa, pejabat seperti ini patut dihormati dan saya sangat mengaguminya.
Ini juga menjadi pelajaran bahwa yang disangka baik belum tentu baik, karena yang menentukan baiknya seseorang atau kelompok adalah perilakunya tadi.
Ada benang merah
Dengan hal yang ditunjukkan pengamen dan pejabat di atas, ada benang merah yang patut menjadi perhatian, yaitu di mana-mana pasti ada orang baik dan orang tidak baik, melihatnya tidak dengan perasangka, tetapi dengan memerhatikan perilakunya.
Artinya disemua tempat dan profesi, pasti ada keduanya. Tukang ojek ada yang baik ada yang jahat, sopir, pengamen, pedagang, guru, perawat, bidan, dokter, insinyur, pegawai bank, wakil rakyat, kepala daerah, termasuk wartawan, juga ada yang jahat dan ada yang baik. Karena itu perlu teliti!
Mohon maaf kepada teman kami para pengamen, dan kepada para pejabat diharapakan tidak tersinggung jika tidak melakukan yang disebutkan di atas. (*)