Minggu, 04 Maret 2012

“Persoalan-persoalan di seputar perlindungan konsumen”

A. Pendahuluan
Kemenangan konsumen atas pelaku usaha dalam kasus Anny R. Gultom cs Vs Secure Parking patut mendapat apresiasi yang tinggi. Kemenangan ini sesungguhnya merupakan tonggak bersejarah bagi upaya perlindungan konsumen di Indonesia.

Sesungguhnya sudah sejak lama hak-hak konsumen diabaikan oleh para pelaku usaha, bahkan sejak lahirnya UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Kasus mencuat saat ini adalah kasus obat nyamuk HIT, kasus ini merupakan cerminan bagaimana para pelaku usaha tidak mau memberikan informasi yang cukup dan memadai tentang kandungan dari obat nyamuk tersebut. Belum lagi terdapat penelitian dari suatu lembaga penelitian independen di Jakarta yang menemukan fakta bahwa pada umumnya pasta gigi mengandung bahan detergent yang membahayakan bagi kesehatan. Dalam kasus-kasus kecil, bisa terlihat dengan gamblang bagaimana perlakuan pelaku usaha yang bergerak di bidang industri retail dalam urusan uang kembalian pecahan Rp. 25,00 dan Rp. 50,00. Yang ini malah lebih parah lagi perlakuannya, biasanya diganti dengan permen dalam berbagai jenisnya (biasanya terjadi di supermarket) atau kalau tidak malah dianggap sumbangan (ini biasanya di minimarket).
Banyak orang tidak (mau) menyadari bagaimana pelanggaran hak-hak konsumen dilakukan secara sistematis oleh kalangan pelaku usaha, dan cenderung mengambil sikap tidak ingin ribut. Dalam kasus parkir, kita bisa membayangkan jawaban apa yang akan diterima apabila konsumen berani mengajukan komplain atas kehilangan sebagian atau seluruh kendaraan yang dititipkan pada pelaku usaha? Apalagi jika kita meributkan masalah uang kembalian yang (mungkin) menurut sebagian orang tidak ada nilainya. Masalah uang kembalian menurut saya menimbulkan masalah legal – political, disamping masalah hukum yang muncul karena uang menjadi alat tukar yang sah dan bukannya permen hal ini juga mempunyai implikasi dengan kebanggan nasional kita dalam pemakaian uang rupiah.

Hukum perjanjian yang berlaku selama ini mengandaikan adanya kesamaan posisi tawar diantara para pihak, namun dalam kenyataannya asumsi yang ada tidaklah mungkin terjadi apabila perjanjian dibuat antara pelaku usaha dengan konsumen. Konsumen pada saat membuat perjanjian dengan pelaku usaha posisi tawarnya menjadi rendah, untuk itu diperlukan peran dari negara untuk menjadi penyeimbang ketidak samaan posisi tawar ini melalui undang-undang. Tetapi peran konsumen yang berdaya juga harus terus menerus dikuatkan dan disebarluaskan.




B. Latar Belakang Masalah
Pemanfaatan merek-merek terkenal pada saat sekarang sudah mulai marak, hal tersebut tidak lain karena menjanjikan keuntungan besar yang akan didapat apabila mempergunakan merek terkenal dari pada menggunakan mereknya sendiri. Apalagi pada saat krisis ekonomi yang berkepanjangan seperti saat sekarang ini, banyak produsen yang mensiasati dengan cara mengkombinasikan barang-barang bermerek yang asli dengan yang bajakan, karena bajakan tersebut secara fisik benar-benar mirip dengan yang asli.
Produk-produk bermerek (luxrury good) asli tapi palsu (aspal) seperti baju, celana, jaket dan berbagai asesoris lainnya sangat mudah didapat dan ditemukan di kota-kota besar, peredarannyapun meluas mulai dari kaki lima sampai pusat pertokoan bergengsi. Salah satu daya tarik dari produk bermerek palsu memang terletak pada harganya yang sangat murah, sebagai contoh harga satu stel dan celana merek Pierre Cardin yang asli bisa mencapai Rp. 1,5 juta, untuk produk bajakan yang secara fisik sama bisa diperoleh hanya dengan harga Rp. 150.000,- selain itu untuk produk celana Levi’s seri 501 yang asli berharga Rp. 200.000,- sedangkan di kaki lima untuk jenis yang sama bisa dibeli hanya dengan harga Rp. 45.000,-
Banyak alasan mengapa banyak industri memanfaatkan merek merek terkenal untuk produk-produknya, salah satunya adalah agar mudah dijual, selain itu merek tak perlu repot-repot mengurus nomor pendaftaran ke Dirjen HaKI atau mengeluarkan uang jutaan rupiah untuk membangun citra produknya (brand image). Mereka tidak perlu repot repot membuat divisi riset dan pengembangan untuk dapat menghasilkan produk yang selalu up to date, karena mereka tinggal menjiplak produk orang lain dan untuk pemasarannya biasanya “Bandar” yang siap untuk menerima produk jiplak tersebut.
Secara ekonomi memang memanfaatkan merek terkenal mendatangkan keuntungan yang cukup besar dan fakta dilapangan membuktikan hal tersebut, selain itu juga didukung oleh daya beli konsumen yang pas-pasan tetapi ingin tampil trendi. Jika dilihat dari sisi hukum hal itu sebenarnya tidak dapat ditolelir lagi karena Negara Indonesia sudah meratifikasi Kovensi Internasional tentang TRIPs dan WTO yang telah diundangkan dalam UU Nomor 7 Tahun 1994 sesuai dengan kesepakatan internasional bahwa pada tanggal 1 Januari 2000 Indonesia sudah harus menerapakan semua perjanjian-perjanjian yang ada dalam kerangka TRIPs (Trade Related Aspects of Intellectual Property Right, Inculding Trade in Counterfeit Good), penerapan semua ketentuan-ketentuan yang ada dalam TRIPs tersebut adalah merupakan konsekuensi Negara Indonesia sebagai anggota dari WTO (Word Trade Organization).
Tidak dapat disangkal lagi bahwa dalam dunia perdagangan dewasa ini merek adalah merupakan salah satu wujud karya intelektual manusia yang mempunyai peranan yang sangat menentukan karena penggunaan atau pemakaian merek pada perusahaan, tetapi juga mngandung aspek hukum yang luas baik bagi pemilik atau pemegang hak atas merek maupun bagi masyarakat sebagai konsumen yang memakai atau memanfaatkan barang atau jasa dari merek tertentu.
Merek mempunyai peranan penting bagi kelancaran dan peningkatan perdagangan barang atau jasa dalam kegiatan perdagangan dan penanaman modal. Merek dengan bran imagenya dapat memenuhi kebutuhan konsumen akan tanda atau daya pembeda yang teramat penting dan merupakan jaminan kualitas dari suatu produk, sebab merek (branding) menjadi semacam “penjual awal” bagi suatu produk kepada konsumen. Dalam era persaingan sekarang ini memang tidak dapat lagi dibatas masuknya produk-produk dari luar negeri ke Indonesia karena fenomena tersebut sebetulnya sudah jauh diprediksi oleh Kanichi Ohmae yang menyatakan “bahwa pada masa mendatang dunia tidak lagi bisa dibatasi oleh apapun juga” dan prediksi tersebut saat ini sudah nampak kebenarannya. Merek sebagai aset perusahaan akan dapat menghasilkan keuntungan besar bila didayagunakan dengan memperhatikan aspek bisnis dan pengelolaan manajemen yang baik. Dengan semakin pentingnya peranan merek maka terhadap merek perlu diletakan perlindungan hukum yakni sebagai obyek yang terhadapnya terkait hak hak perseorangan ataupun badan hukum.
Dengan berkembangnya dunia perdagangan yang pesat dan sejalan dengan laju pertumbuhan ekonomi di masing-masing negara, tentunya akan memberikan dampak dibidang perdagangan terutama karena adanya kemajuan di bidang teknologi, informasi, komunikasi dan transportasi yang mana sebagai bidang tersebut merupakan faktor yang memicu globalisasi Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI).
Dalam kenyataan merek terkenal biasanya didahului oleh reputasi dan good will yang melekat pada keterkenalan tersebut. Merek yang mempunyai “good will” yang tinggi akan mampu memberikan keuntungan yang luar biasa bagi perusahaan, meskipun sebetulnya merek adalah sesuatu yang tidak dapat diraba (intangible). Sebuah merek akan menjelma menjadi aset capital semata-mata hanya berdasarkan pada good will, oleh karena itu menurut Lendsford menyebutkan bahwa perusahaan yang telah memiliki reputasi merek yang tinggi (higher reputation) akan memilik aset kekayaan yang luar biasa hanya berdasarkan pada good will dari merek tersebut.
Produk atau jasa yang bermerek saling lebih dahulu diiklankan dan dijual, walaupun produk atau jasa tersebut secara fisik belum tersedia di pasaran Negara tertentu. Media penyebaran dan periklanan modern menjadi semakin tidak di batasi oleh batas-batas nasional mengingat canggihnya komunikasi teknologi dan frekuensi orang bepergian atau mengadakan perjalanan melintas dunia. pemilik produk atau jasa yang bermerek banyak memanfatkan berbagai event-event yang banyak di tonton orang untuk memasarkan merek mereka sehingga orang yang melihat merasa tertarik untuk membeli produk atau meggunakan jasa dari suatu merek yang diiklankan tersebut.
Ditinjau dari aspek hukum masalah merek menjadi sangat penting, sehubungan dengan persoalan perlu adanya perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi pemilik atau pemegang merek dan perlindungan hukum terhadap masyarakat sebagai konsumen atas suatu barang atau jasa yang memakai suatu merek agar tidak terkecoh oleh merek-merek lain, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa masalah penggunaan merek terkenal oleh pihak yang tidak berhak, masih banyak terjadi di Indonesia dan kenyataan tersebut benar-benar disadari oleh pemerintah, tetapi dalam praktek banyak sekali kendala-kendala sebagaimana dikatakan oleh A Zen Umar Purba (mantan Dirjen HaKI) bahwa Law Enforcement yang lemah. Memang tidak dapat selamanya dijadikan alasan tetapi yang perlu diperhatikan adalah mengapa hal itu bisa terjadi ?. Hal itu tidak dapat dilepaskan dari sisi historis masyarakat Indonesia yang sejak dahulu adalah masyarakat agraris, sehingga terbiasa segala sesuatunya dikerjakan dan dianggap sebagai milik bersama, bahkan ada anggapan dari para pengusaha home industri bahwa merek adalah mempunyai fungsi sosial. Pada satu sisi keadaan tersebut berdampak positif tetapi pada sisi lain justru yang anggapan demikian itu menyebabakan masyarakat kita sering berpikir kurang ekonomis dan kurang inofatif.
Sebagaimana diketahui bahwa dalam dunia usaha tujuan utama adalah untuk mencari keuntungan, maka banyak sekali industri yang kurang memahami arti penting hubungan antara pengusaha, konsumen dan masyarakat akan berperilaku “profit oriented” semata tanpa memperhatikan aspek-aspek yang lain tetapi lebih mementingkan kepentingan sendiri tanpa menghiraukan kepentingan pihak-pihak yang lain dan yang lebih mendorong mereka untuk melakukan hal tersebut adalah tersedianya konsumen yang menggunakan produk mereka.
Pengusaha yang melihat hal itu sebagai salah satu peluang bisnis maka akan berusaha memperoleh keuntungan melalui jalan pintas yang tidak layak dengan cara membuat atau memasarkan barang atau produk dengan memalsukan atau meniru merek-merek terkenal dan bagi konsumen adalah suatu gengsi tersendiri bila menggunakan merek terkenal tersebut.
Faktor gengsi semu dari konsumen yang merasa bangga menggunakan merek terkenal terutama produk dari luar negeri (label minded) juga sangat mempengaruhi dan sekaligus menguntungkan pemalsuan merek, karena mendapatkan kesempatan untuk memuaskan hasrat mesyarakat melalui merek-merek asli tapi palsu (aspal) atau merek yang mirip dengan merek terkenal, dengan menghasilkan produk yang kerapkali sengaja disesuaikan dengan kemampuan kantong kosong konsumen yang ingin mengenakan merek terkenal tetapi tidak mempunyai kemampuan untuk membelinya sehingga mereka membeli merek-merek asli tapi palsu asalkan tetap bisa gengsi.
Pemakaian merek terkenal atau pemakaian merek yang mirip dengan merek terkenal milik orang lain secara tidak berhak dapat menyesatkan konsumen terhadap asal-usul, dan atau kualitas barang. Pemakaian merek terkenal secara tidak sah dikualifikasi sebagai pemakaian merek yang beritikad tidak baik.
Penggunaan produk dengan merek-merek tertentu disamping good will yang dimiliki oleh mereknya sendiri selain itu juga sifat fanatik dari konsumen terhadap merek tersebut yang dianggap mempunyai kelebihan atau keunggulan dari merek yang lain. Sifat fanatik yang dimiliki oleh konsumen tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan saja, tetapi ada juga mengutamakan prestise dan memberikan kesan tersendiri dari pemakainya sehingga dengan memakai persepsi mereka adalah suatu “simbol” yang akan menimbulkan gaya hidup baru (life style).
Adanya perbedaan persepsi didalam masyarakat mengenai merek menimbulkan berbagai penafsiran, tetapi meskipun begitu berarti bahwa tindakan orang-orang yang memproduksi suatu barang dengan mendompleng ketenaran milik orang lain tidak bisa dibenarkan begitu saja, karena dengan membiarkan tindakan yang tidak bertanggung jawab maka secara tidak langsung menghasilkan dan membenarkan seseorang untuk menipu dan memperkaya diri secara tidak jujur.
Tindakan mempergunakan merek terkenal milik orang lain, secara keseluruhan tidak hanya merugikan pemilik atau pemegang merek itu sendiri dan juga para konsumen tetapi dampak yang lebih luas adalah merugikan perekonomian nasional dan yang lebih luas lagi juga merugikan hubungan perekonomian internasional.
Untuk menghindari praktek-praktek yang tidak jujur dan memberikan perlindungan hukum kepada pemilik atau pemegang merek serta konsumen maka Negara mengatur perlindungan merek dalam suatu hukum merek dan selalu disesuaikan dengan perkembangan perkembangan yang terjadi di dunia perdagangan internasional yang tujuannya adalah mengakomodasikan semua kepentingan-kepentingan yang ada guna menciptakan suatu perlindungan hukum.
Pada tahun 1961 Indonesia mempunyai Undang-undang baru mengenai merek perusahaan dan perniagaan LN. No. 290 Tahun 1961. Undang-Undang tersebut disusun secara sederhana hanya berjumlah 24 pasal dan tidak mencantumkan sanksi pidana terhadap pelanggaran merek. Selain itu, asal undang-undang merek tersebut sama dengan undang-undang merek sebelumnya yang ditetapkan oleh Belanda, hal tersebut tidak terlepas dari kondisi perekonomian dan politik pada saat itu yang masih memprihatinkan. Seiring dengan perkembangan perdagangan dan industri serta sejalan dengan terbukanya sistem ekonomi yang dianut Indonesia pada saat itu maka sangketa-sangketa merek mulai muncul.
Dengan pesatnya perkembangan dunia perdagangan banyak sengketa-sengketa merek pada saat itu terutama antara pemilik merek terkenal dengan pengusaha lokal, hal tersebut disebabkan karena :
1. Terbukanya sistem ekonomi nasional, sehingga pengusaha nasional dapat mengetahui dan memanfaatkan merek-merek terkenal untuk digunakan dan didaftar lebih dulu di Indonesia demi kepentingan usahanya.
2. Pemilik merek terkenal belum atau tidak mendaftarkan dan menggunakan mereknya di Indonesia.
Banyaknya sengketa merek sampai pada dekade 80-an, maka pada tahun 1987 pemerintah menetapkan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No. M.01-HC.01.01 Tahun 1987 tentang “Penolakan Permohonan Pendaftaran Merek yang mempunyai Persamaan dengan Merek Terkenal Orang lain”. Dengan adanya ketentuan tersebut maka banyak sekali pemilik merek terkenal yang mengajukan gugatan pembatalan mereknya dan banyak pula perpanjangan merek yang ditolak oleh kantor merek dikarenakan mempergunakan merek orang lain. Keputusan tersebut kemudian direvisi dengan Keputusan Menteri Kehakiman No. M.03-HC.02.01 untuk lebih memberikan perlindungan terhadap pemilik merek-merek terkenal.
Selama masa berlakunya UU No. 21 Tahun 1961, banyak sekali perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam dunia perdagangan, dimana norma dan tatanan dagang telah berkembang dan berubah dengan cepat, hal tersebut menyebabkan konsepsi yang tertuang dalam Undang-undang merek Tahun 1961 sudah sangat tertinggal jauh sekali. Untuk mengantisipasi perkembangan tersebut maka pemerintah pada waktu itu mengeluarkan UU No. 19 Tahun1992 tentang merek (LN. No.81 Tahun 1992) sebagai pengganti UU No.21 tahun 1961.
Sebagai Negara penandatangan persetujuan umum tentang tarif dan perdagangan (General Agrement On Tarif and Trade) dalam putaran Uruguay (Uruguay Round), Indonesia telah meratifikasi paket persetujuan tersebut dengan UU No. 7 Tahun 1994 tentang Ratifikasi Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Agrement Establishing The World Trade Orgnization). Sejalan dengan itu maka pemerintah membuat kebijakan baru dengan melakukan perubahan dan penyempurnaan UU No. 19 Tahun 1992 dengan UU No. 14 Tahun 1997 dan diubah dan disempurnakan lagi dengan undang undang No. 15 Tahun 2001. Tujuan dari penyempurnaan tersebut tidak lain adalah mengakomodasikan ketentuan-ketentuan yang sudah menjadi komitmen internasional mengenal Hak atas Kekayaan Intelektual.
Perubahan atau penyempuarnaan itu pada dasarnya diarahkan untuk menyesuaikan dengan Konvensi Paris (Paris Convention For The Protection Of Industriale Property) pada tahun 1883, selain itu juga disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam persetujuan TRIPs (Trade Releated Aspects Of Intelectual Property Right Including Trade In Counterfeit Goods) atau aspek-aspek dagang yang terkait dengan hak atas kekayaan Intelektual.
Dalam Undang-undang merek No.15 Tahun 2001 ada perubahan sistem yaitu dari sistem deklaratif (First to use system), menjadi sistem konstitutif (Fist to file frinciple). Selain itu dalam undang-undang tersebut juga memberikan perlindungan terhadap merek-merek terkenal. Meskipun telah diatur dalam berbagai peraturan yang tujuannya adalah untuk memberikan perlindungan, tetapi dalam kenyataannya masih banyak juga pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dan beritikad tidak baik menggunakan merek terkenal milik orang lain yang tujuannya adalah untuk mendapatkan keuntungan. Dalam hal tersebut maka pihak yang tidak kalah penting untuk diperhatikan adalah konsumen, oleh karena itu untuk lebih memberikan perlindungan kepada konsumen telah di undangkan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang tentu saja tujuannya untuk kesejahteraan rakyat (konsumen) dan untuk menjamin iklim perdagangan yang jujur dan fair maka telah pula diundangkan UU No.5 Tahun 1999 tentang Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, tetapi dalam undang-undang tersebut masalah perjanjian yang berkaitan dengan Hak atas Kekayaan Intelektual seperti Merek dikecualikan, karena merek adalah hak Eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada pemegangnya.








C. Identifikasi Masalah
Dari hal-hal yang telah diuraikan dalam latar belakang tersebut dapat dilihat bahwa banyak sekali permasalahan disekitar hak atas kekayaan intelektual khususnya mengenai merek, walaupun telah ada undang-undang yang mengatur tetapi dalam kenyataannya masih juga terjadi penyimpangan-penyimpangan, padahal dengan adanya hukum diharapkan terciptanya suatu kepastian dan keadilan bagi semuanya.
Berdasarkan uraian diatas maka peneliti melakuan identifikasi masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana perlindungan terhadap merek terkenal ?.
2. Bagaimanakah perlindungan bagi konsumen terhadap pemanfaatan merek terkenal oleh industri ?.
3. Apakah Hukum Positif yang ada memberikan perlindungan bagi merek terkenal sesuai dengan konvensi-konvensi Internasional yang telah diratifikasi ?.
1. C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan hukum bidang Hak atas Intelektual (HaKI) inklusif Hukum Merek yang merupakan salah satu objek kajian Hukum Ekonomi.
Disamping itu secara khusus sesuai dengan rumusan permasalahan, tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimanakah perlindungan terhadap merek terkenal ynag dilakukan oleh kalangan industri.
2. Untuk mengetahui bagaimanakah perlindungan terhadap konsumen terhadap tindakan industri yang memanfaatkan merek-merek terkenal.
3. Untuk mengetahui sejauh mana konvensi-konvensi Internasional yang telah diratifikasi dan menjadi hukum positif di Indonesia memberikan perlindungan dan keadilan terhadap konsumen.
Apabila tujuan penelitian tercapai, diharapkan penelitian ini akan berguna untuk :
1. Secara Teoritis
Memberikan manfaat bagi pengembangan Ilmu Hukum khususnya hukum ekonomi dalam bidang Hak atas Intelektual inklusif tentang merek terkenal dan mengenai perlindungan konsumen.
2. Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan kepada pemerintah selaku pemegang otoritas yang berwenang membuat peraturan hukum bidang Hak atas Kekayaan Intelektual khususnya tentang merek terkenal dan juga penegakan hukum merek agar tercipta perlindungan dan keadilan bagi pemilik merek terkenal dan masyarakat atau konsumen.
D. Tinjauan Pustaka
Suatu merek bagi produsen barang atau jasa sangat penting, karena berfungsi untuk membedakan antara barang atau jasa satu dengan yang lainnya serta berfungsi sebagai tanda untuk membedakan asal-usul, citra reputasi maupun bonafiditas diantara perusahaan yang satu dengan yang lainnya yang sejenis. Bagi konsumen dengan makin beragamnya barang dan jasa yang berada dipasaran melalui merek dapat diketahui kualitas dan asal-usul dari barang tersebut.
Dalam kamus bahasa Indonesia Merek diartikan sebagai tanda yang dikenalkan oleh pengusaha (pabrik, produsen, dsb) pada barang barang yang dihasilkan sebagai tanda pengenal atau cap (tanda) yang menjadi pengenal untuk menyatakan nama dan sebagainya.
Secara yuridis pengertian merek tercantum dalam pasal 1 ayat (1) UU No. 15 tahun 2001 yang berbunyi :
“Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan jasa”.
Dalam dunia perdagangan terdapat perbedaan tingkat derajat sentuhan kemashuran yang dimiliki oleh merek, tingkatan merek tersebut dimulai dari merek biasa atau “normal mark” kemudian merek terkenal atau “well-known mark” dan yang tertinggi ialah merek termashur atau “famous mark”.
Merek tidak hanya berfungsi sebagai tanda pengenal tetapi harus juga dapat berfungsi sebagai tanda pembeda yang jelas. Agar suatu lambang yang mungkin berbentuk lukisan atau gambar dan sebagainya bisa dibedakan dengan tanda atau lambang yang dipakai oleh orang lain, maka lambang tersebut harus mempunyai ciri khusus yang dilekatkan pada suatu benda atau barang yang merupakan media sehingga melahirkan suatu tanda tadi menjadi merek. Supaya produk atau jasa yang dibubuhi lambang tertentu bisa berkembang menjadi merek yang melambangkan simbol dan mitos maka barang yang bersangkutan harus dikenal secara umum baik pada suatu negara tertentu maupun dikenal secara intenasional.
Tujuan dari penggunaan merek adalah untuk memperlancar kegiatan perdagangan barang atau jasa yang sangat diperlukan dalam pelaksanaan pembangunan, maka dari perlindungan merek pada dasarnya tidak hanya untuk kepentingan pemilik merek saja akan tetapi juga untuk kepentingan masyarakat luas sebagai konsumen.
Masalah perlindungan merek terkenal merupakan topik yang tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga menjadi masalah di negara-negara lain. Merek terkenal memang menimbulkan magnet tersendiri bagi para pengusaha besar, menengah atau pengusaha kecil, hal itu tidak terlepas dari faktor profil (keuntungan) yang akan mereka dapatkan dengan menggunakan merek terkenal dari pada mereka menggunakan mereknya sendiri.
Merek terkenal, oleh banyak penulis diibaratkan sebagai golongan VIP (Very Important Person), karena menjadi idaman dan pilihan utama bagi semua lapisan konsumen. Merek tersebut menjadi simbol yang memiliki reputasi tinggi (higher reputasion) dan ikatan mitos (myticalcontext) pada segala lapisan konsumen.
Semakin meningkat peranan merek dalam dunia usaha maka penggunaan merek terkenal meningkat pula, karena masing-masing negara-negara menerapkan kriteria yang berbeda dan bertentangan dalam menentukan apa yang disebut dengan merek terkenal. Pemilik merek terkenal berhadapan dengan kebutuhan untuk melindungi merek merek yang mereka miliki secara global, oleh karena itu perlindungan terhadap merek terkenal secara khusus dan perlindungan terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual secara umum menjadi faktor yang paling penting dalam hubungan perdagangan antar Negara.
Perlindungan merek terkenal diberlakukan baik terhadap barang atau jasa sejenis maupun yang tidak sejenis. Perlindungan bagi merek yang terkenal ini meliputi semua jenis barang dan jasa, sehingga peniruan merek terkenal milik orang lain pada dasarnya dilandasi oleh “itikad tidak baik” dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan dengan membonceng keterkenalan suatu merek orang lain sehingga tidak selayaknya mendapatkan perlindungan hukum. Dari hal tersebut bisa diketahui bahwa perlindungan terhadap merek terkenal dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu melalui inisiatif pemilik merek dan dapat juga dilakukan oleh kantor merek yaitu dengan menolak permintaan pendaftaran merek yang sama atau mirip dengan merek terkenal.
Ada beberapa hal yang patut diperhatikan yaitu :
1. Tidak mengatur definisi dan kriteria merek terkenal.
2. Penolakan atau pembatalan merek, atau larangan penggunaan merek yang merupakan reproduksi, tiruan atau terjemahan yang dapat menyesatkan atas suatu barang atau jasa yang sama atau serupa apabila perundang-undangan negara tersebut mengatur atau permintaan suatu pihak yang berkepentingan.
3. Gugatan pembatalan dapat diajukan sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dari pendaftaran, namun tidak ada jangka waktu apabila pendaftaran itu dilakukan dengan itikad tidak baik.
Pengakuan dan perlindungan merek terkenal berbeda dari suatu negara denga negara lainnya dan sampai saat ini belum terdapat keseragaman mengenai definisi mengenai merek terkenal, oleh karena itu Negara turut serta dalan persetujuan TRIPs Agreement berhak mengatur perlindungan merek terkenal dinegaranya sendiri.
Terhadap perlindungan merek terkenal dalam UU No. 15 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1997 tentang merek diatur dalam pasal 6 ayat 1 (b), ayat 2 ayat 3 (a) yang berbunyi :
Pasal 6 :
1) Permohonan harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila merek tersebut:
1. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan atau jasa sejenisnya.
2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf (b) dapat pula diberlakukan terhadap barang dan atau jasa yang tidak sejenis sepanjang memenuhi persyaratan tertentu yang akan ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
3) Permohonan juga harus ditolak oleh Direktur Jenderel apabila Merek tersebut:
a. Merupakan atau menyerupai nama orang terkenal, foto, atau nama badan hukum yang dimiliki orang lain, kecuali atas persetujuan tertulis dari yang berhak.
Kemudian penjelasan pasal tersebut di atas menyatakan :
Pasal 6 ayat (1) Huruf b :
Penolakan permohonan yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan merek terkenal untuk barang dan atau jasa yang sejenis dilakukan dengan memperhatikan pengetahuan umum masyarakat mengenai Merek tersebut di bidang usaha yang bersangkutan. Disamping itu, diperhatikan pula reputasi Merek terkenal yang diperoleh karena promosi yang gencar dan besar besaran, investasi di beberapa Negara di dunia yang dilakukan oleh pemiliknya, dan disertai bukti pendaftaran Merek tersebut di beberapa Negara. Apabila hal-hal di atas belum dianggap cukup, Pengadilan Niaga dapat memerintahkan lembaga yang bersifat mandiri untuk melakukan survey guna memperoleh kesimpulan mengenai terkenal atau tidaknya Merek yang menjadi dasar penolakan.
Pasal 6 Ayat (2) :
Cukup jelas
Pasal 6 Ayat (3) Huruf a :
Yang dimaksud dengan nama badan hukum adalah nama badan hukum yang digunakan sebagai Merek dan terdaftar dalam daftar Umum Merek.
Dari ketentuan diatas dapat ditentukan kriteria-kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan keterkenalan suatu merek terkenal yaitu :
• Pengetahuan masyarakat yang relevan terhadap merek.
• Pengetahuan masyarakat terhadap promosi merek.
• Didaftar oleh pemiliknya diberbagai negara.
Selain perlindungan yang telah diatur dalam pasal 6 ayat 1 (b), ayat 2 dan ayat 3 (a) UU No. 15 Tahun 2001, sebetulnya bagi siapa saja yang dengan sengaja mempergunakan merek milik orang lain dapat dikategorikan telah melakukan sesuatu kejahatan dan diancam dengan pidana penjara maupun denda sebagaimana diatur dalam pasal 90, 91, 92, 93, dan 94 Undang undang No. 15 Tahun 2001.
Persoalan perlindungan hukum terhadap pemilik merek terkenal tidak hanya dapat dipandang dari aspek hukum saja, akan tetapi perlu pula dipandang dari aspek lain seperti aspek ekonomi, aspek sosial dan aspek budaya yang terdapat pada masyarakat itu.
Dipandang dari aspek ekonomi dan sosial banyak pengusaha lokal khususnya kalangan home industri yang memanfaatkan merek terkenal untuk dijadikan merek pada produknya dikarenakan :
1. Kemampuan bersaing antara pemilik merek terkenal dengan beberapa pengusaha lokal (home industri) atau mereka anggap melakukan pelanggaran terhadap pemiliknya merek terkenal (asing) terjadi karena terdapat beberapa faktor-faktor yang tidak seimbang. Ketidak seimbangan karena kemampuan modal dan sumber daya manusia yang meliputi pula kemampuan untuk melakukan promosi, pemasaran serta persaingan yang jujur.
2. Hubungan kerjasama yang tidak seimbang antara pemilik merek terkenal dengan pengusaha lokal dan sebaliknya. Misalnya perjanjian keagenan, distribusi, lisensi dan sebagainya sehingga terjadi pemanfaatan merek terkenal oleh segelintir pengusaha lokal.
3. Sikap masyarakat yang kerapkali memilih jalan pintas dalam memenangkan persaingan, menunggangi hak-hak pihak lain atau ketika memilih produk-produk asing yang disukainya. Rasa tidak percaya diri terhadap produk dalam negeri juga menjadi salah satu alasan kenapa mereka memilih merek terkenal walaupun itu merek asli tapi palsu (aspal).
Dampak dari globalisasi yang ditandai dengan makin banyaknya merek produk luar negeri dan merek terkenal menimbulkan permasalahan dalam praktek, disatu sisi terdapat pihak-pihak yang mengambil kesempatan ikut mendaftarkan merek-merek terkenal dengan tujuan “Dagang Merek” yang sudah pasti perbuatan itu dilakukan dengan itikad tidak baik. Untuk mengatasi hal itu sudah ada aturan yang jelas yaitu dalam UU No. 15 Tahun 2001 khususnya pasal 4 telah memperjelas maksud dan konsepsi yaitu merek tidak dapat didaftarkan atas dasar permohonan yang diajukan oleh pemohon yang beritikad tidak baik.
Pemilik merek terkenal walaupun tidak terdaftar, dalam mengajukan gugatan untuk pembatalan pendaftaran merek, yaitu dengan terlebih dahulu harus mengajukan permohonan pendaftaran merek kepada kantor Direktorat Jenderal (pasal 68 ayat 2). Pengecualian itu diberikan kepada merek terkenal dengan maksud untuk :
¡ Memberikan perlidungan secara terbatas kepada pemilik merek terkenal yang tidak terdaftar.
¡ Mendorong pemilik merek terkenal yang tidak terdaftar untuk mendaftarkan mereknya.
Perlindungan terhadap merek terkenal dapat kita lihat dari yurisprudensi Mahkamah Agung seperti dalam kasus merek GIORDANO antara Giordano Ltd. melawan Woe Budi Hermanto No. 426 PK / Pdt / 1994, tertanggal 3 November 1995, dari keputusan Mahkamah Agung terdapat perkara tersebut mengandung beberapa prinsip-prinsip sebagi berikut :
1. Seseorang berkewajiban untuk menegakan prinsip dan iklim perdagangan bebas dan persaingan bebas. Kondisi dan iklim yang sehat dalam perdagangan hanya dapat tercapai manakala semua bangsa menghormati pemilik atau pemegang hak, baik pada pasar domestik maupun pada pasar internasional terlepas dari mana barang itu berasal. Oleh sebab itu siapa saja dilarang untuk melakukan persaingan curang (Unifair Competition) dengan melakukan upaya apa saja (tiruan, reproduksi, terjemahan) terhadap merek orang lain yang dapat mengelabui masyarakat.
2. Semua tindakan mengelabui dan mengembangkan terhadap sebuah merek yang pada akhirnya akan membahayakan dan merugikan baik untuk pemilik, untuk pemegang hak dan masyarakat (konsumen) haruslah dianggap dan dikualifikasikan sebagai pelanggaran dengan sengaja dan perbuatan memperkaya diri sendiri secara tidak sehat (Unjust Enrichment)
3. Sebuah merek menunjukan adanya good will yang mengandung nilai nilai moral, material dan komersial. Dengan demikian good will yang melekat pada merek adalah suatu kebendaan yang menerbitkan akibat-akibat sebagai berikut :
- Setiap merek harus diakui sebagai bentuk kebendaan yang harus dilindungi oleh masyarakat dan penguasa.
- Setiap pemegang hak mempunyai hak yang eksklusif dan berhak untuk menikmati haknya tersebut.
Perlindungan hukum dalam bidang merek dapat pula memberikan manfaat lain yaitu mendorong alih teknologi dari negara maju, menyediakan informasi produk serta perlindungan kepada para konsumen, karena secara tradisional merek dilihat sebagai alat bagi produsen untuk menciptakan brandl oyaly diantara para konsumen. Hal ini penting bagi keberadaan dan pengembangan perusahaan industri.
Konsumen yang dimaksud disini adalah konsumen akhir. Secara harfiah konsumen berarti setiap orang yang menggunakan barang atau jasa. Dilihat dari tujuan penggunaan barang atau jasa maka konsumen dapat dibedakan menjadai 2 macam yaitu :
1. Konsumen yang menggunakan barang atau jasa sebagai bahan baku pembuat barang lain dengan maksud untuk diperdagangkan (capital goods).
2. Konsumen yang mengguankan barang atau jasa dengan maksud memenuhi kebutuhan hidup dirinya sendiri, keluarga atau rumah tangganya (consumen goods


Artikel Terkait..:

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar