Minggu, 11 Desember 2011

Hukum Waris Islam serta Perdata Barat mengenai Pembagian Hutang (tugas)

PENDAHULUAN



1. LATAR BELAKANG
Hukum kewarisan adalah himpunan aturan hukum yang mengatur tentang siapa ahli waris yang berhak mewarisi harta peninggalan. Pada prinsipnya kewarisan terjadi didahului dengan adanya kematian, lalu orang yang meninggal tersebut meninggalkan harta warisan yang akan dibagikan kepada ahli warisnya. Mengenai kaedah positif yang mengatur perihal kewarisan, negara Indonesia belum mempunya hukum waris nasional. Tetapi setidaknya terdapat tiga kaedah hukum positif di Indonesia yang mengatur perihal kewarisan, yakni hukum adat, hukum perdata barat dan hukum Islam. Tentunya terdapat beberapa persamaan dan perbedaan di antara ketiga kaedah hukum yang mengatur perihal kewarisan tersebut.
Hukum Islam sendiri mengatur beberapa bidang hukum. Posisi hukum kewarisan dalam hukum Islam termasuk dalam lingkupan bidang hukum kekeluargaan. Pada umumnya perihal mengenai hukum kekeluargaan yang di dalamnya terdapat ketentuan mengenai kewarisan tersebut diatur dalam Al-Qur’an surat An-Nissa (Q.S.IV).
Harta peninggalan yang ditinggalkan pewaris tidak serta merta berarti seluruhnya merupakan harta kekayaan yang nantinya akan dibagi kepada segenap ahli waris. Ada suatu saat dimana pewaris meninggalkan harta peninggalan berupa hutang. Perihal mengenai mewaris hutang ini sangat penting untuk diperhatikan mengingat bahwa di dalam setiap ketentuan positif yang mengatur perihal kewarisan dalam Al-Qur’an maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI) selalu disebutkan bahwa bagian harta warisan akan siap untuk dibagi kepada segenap ahli waris jika telah dikurangi dengan hutang-hutang dan wasiat.
Dalam mewaris hutang-hutang, hukum kewarisan Islam mempunyai ketentuan tersendiri yang mengatur hal tersebut. Di lain sisi, kewarisan perdata barat dalam (KUHPerdata) pun juga mengatur hal yang sama pula. Oleh karena itu melalui makalah ini penulis akan membahas mengenai “Perbandingan ketentuan mengenai mewaris hutang menurut hukum kewarisan Islam dan menurut hukum kewarisan perdata barat.”

2. POKOK PERMASALAHAN
Berdasarkan latar belakang sebagaimana telah dijabarkan di atas, maka dapat ditarik beberapa pokok masalah yang akan dikaji dalam makalah ini, yakni:
2.1. Bagaimana hukum Islam dan hukum perdata barat mengatur perihal kewarisan pada umumnya?
2.2. Bagaimanakah perbandingan ketentuan mengenai mewaris hutang menurut hukum kewarisan Islam dan hukum perdata barat?

BAB II
PEMBAHASAN

1. KEWARISAN DALAM HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERDATA BARAT
A. Dalam Hukum Islam
Bilamana orang membicarakan masalah warisan, maka orang akan sampai kepada dua masalah pokok, yakni adanya seorang yang meninggal dunia yang meninggalkan harta kekayaannya sebagai warisan dan meninggalkan orang-orang yang berhak untuk menerima harta peninggalan tersebut. Dalam buku II, bab I, pasal 171 butir a Kompilasi Hukum Islam disebutkan pengertian hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa baiannya masing-masing. Hukum kewarisan Islam disebut juga hukum fara’id, jamak dari kata farida, erat sekali hubungannya dengan kata fard yang berarti kewajiban yang harus dilaksanakan .

A.1. Asas-Asas Hukum Kewarisan Islam
Menurut Prof.Dr.Amir Syarifudin, ada lima asas yang berkaitan dengan sifat peralihan harta kepada ahli waris, cara pemilikan harta oleh yang menerima, kadar jumlah harta yang diterima dan waktu terjadinya peralihan harta itu. Asas-asas tersebut adalah :
a) Asas Ijbari (memaksa=compulsory)
Peralihan harta peninggalan berlaku dengan sendirinya tanpa digantungkan pada kehendak masing-masing pihak.
b) Asas Bilateral
Bahwa setiap orang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak yaitu pihak garis keturunan laki-laki dan pihak garis keturunan perempuan.
c) Asas Individual
Pemilikan harta peninggalan yang diberikan dapat dimiliki secara individu.
d) Asas Keadilan Berimbang
Harus senantiasa terdapat keseimbangan antara hak yang diperoleh seseorang dengan keajiban yang harus ditunaikannya.
e) Asas Kematian
Peralihan harta seorang kepada orang lain hanya berlaku setelah orang yang mempunyai harta meninggal dunia.

A.2. Faktor-Faktor Lahirnya Hukum Kewarisan Islam
Menurut Prof.Dr.Tahir Azhari, SH, faktor-faktor yang melahirkan hak kewarisan Islam adalah sebagai berikut :
a) Faktor seiman
b) Adanya hubungan darah antara pewaris dan ahli waris
c) Adanya hubungan semenda / perkawinan
A.3. Dasar Hukum Kewarisan Islam
a) Al-Qur’an
Beberapa ayat AL-Qur’an yang langsung mengatur pembagian harta warisan adalah sebagai berikut :
- O.S.IV:7. Mengatur penegasan bahwa laki-laki dan perempuan dapat mewaris
- Q.S.IV:11. Mengatur perolehan anak, ibu dan bapak
- Q.S.IV:12. Mengatur perolehan duda, janda, saudara-saudara dalam hal kalaalah
- Q.S.IV:33. Mengatur mengenai mawali seorang yang dapat harta peninggalan dari ibu-bapaknya, aqrabunnya dan tolam seperjanjiannya
- Q.S.IV:176. Menerangkan arti kalaalah
b) Sunnah Rasul, yakni hadits Jaabir bin Abdullah, Zaid bin Tsabit, Abu Bakar, Ali bin Thalib, Saad bin Abi Waqqas, Ibnu Abbas, dan lain-lain.
c) Ijtihad, misalnya mengenai bagian ibu apabila hanya mewaris dengan bapak dan suami atau isteri.

B. Dalam Hukum Perdata Barat


B.1. Pengertian
Hukum waris adalah hukum yang mengatur mengenai apa yang harus terjadi dengan harta kekayaan seseorang yang meninggal dunia, dengan lain perkataan mengatur peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibat-akibatnya bagi ahli waris.
B.2. Dasar Hukum
Buku II KUHPerdata Pasal 830-1130 jo. Pasal 528 dan 584 KUHPerdata
B.3. Prinsip Umum dalam Kewarisan
a. Pewarisan terjadi karena meninggalnya pewaris dengan sejumlah harta
b. Hak-hak dan kewajiban dibidang harta kekayaan beralih demi hukum. Pasal 833 KUHPerdata, menimbulkan hak menuntut
c. Yang berhak mewaris menurut UU mereka yang mempunyai hubungan darah (Pasal 832 KUHPerdata)
d. Harta tidak boleh dibiarkan tidak terbagi
e. Setiap orang cakap mewaris kecuali pasal 838 KUHPerdata (onwaardig)
B.4. Cara Mewaris
Berdasarkan undang-undang dan berdasarkan Testament.

2. MEWARIS HUTANG DALAM HUKUM KEWARISAN ISLAM DAN HUKUM KEWARISAN PERDATA BARAT
A. Ditinjau Dari Hukum Kewarisan Islam
Dalam Kompilasi Hukum Islam buku II, bab I tentang ketentuan umum, dapat disimplkan bahwa hukum kewarisan Islam memisahkan konsep antara harta peninggalan dan harta warisan. Yang dimakssud harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya. Sedangkan yang dimaksud mengenai harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.
Pula seperti yang telah dijelaskan pada uraian-uraian sebelumnya yakni bahwa dalam setiap ketentuan positif dalam hukum kewarisan Islam selalu diberi penjelasan bahwa ahli waris baru dapat menerima harta warisan setelah dikurang dengan pembayaran hutang dan wasiat. Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa hukum kewarisan Islam menuntut adanya pelunasan segala hutang dan wasiat si pewaris sebelum harta warisan dibagikan. Para ahli waris tidak diwajibkan untuk menutupi kekurangan yang timbul karena tidak mencukupi harta peninggalan bagi pelunasan hutang pewaris dengan kekayaan sejumlah harta peninggalan. Dikuatkan pula oleh QS.II:233, bahwa tidak berarti ibu atau ayah karena anaknya, demikian pula akli waris karena pewarisannya. Dengan demikian maka prosedur pembayaran hutang pewaris yang melampaui jumlah harta peninggalan ialah menurut pengurangan yang seimbang

Contoh kasus:
Pewaris X mempunyai hutang kepada A sebesar Rp.50.000,- ; kepada B sebesar Rp.30.000,- ; dan C sebesar Rp.20.000,-.
Jumlah harta peningalan pewaris sebesar 200.000. Ongkos-ongkos selama sakit dan ongkos kematian sebesar Rp. 160.000,-.
Berdasar rumus di atas maka penyelesaian hutang-hutang tersebut diatur sebagai berikut:
A= 50.000 / 100.000 x (200.000-160.000) = Rp.20.000,-
B= 30.000 / 100.000 x (200.000-160.000) = Rp. 12.000,-
C= 20.000 / 100.000 x (200.000-160.000) = Rp.8.000,-

B. Ditinjau Dari Hukum Kewarisan Perdata Barat
Menurut hukum kewarisan Islam dan hukum waris adat, apa yang pada hakekatnya beralih dari tangan yang wafat kepada para ahli waris ialah barang-barang tinggalan dalam keadaan bersih, artinya setelah dikurangi dengan pembayaran-pembayaran lain yang diakibatkan oleh wafatnya si pewaris.
Mr.Ter Haar mengatakan bahwa hanya harta peninggalan yang tinggal tak terbagi-bagilah yang harus dipergunakan untuk membayar hutang-hutang si pewaris. Titik pangkal ini mengakibatkan perumusan kaedah hukum adat yakni hanya sisa harta peninggalan dapat diwaris. Sebaliknya KUHPerdata memandang selaku hakekat, bahwa yang diwaris oleh ahli waris itu tidaklah hanya hal-hal yang bermanfaat saja bagi mereka, melainkan juga hutang dari si pewaris.
Hakekat dalam KUHPerdata bahwa hutang-hutang si pewaris beralih pula kepada ahli waris juga menentukan bahwa para ahli waris dapat menghindarkan peralihan itu dengan jalan menerima atau menolak warisan atau menerima dengan syarat, yaitu menerima tetapim dengan ketentuan ia tidak akan diwajibkan membayar hutang si pewaris yang melebihi bagiannya dalam warisan itu.
Dengan demikian KUHPerdata mengenal 3 macam sikap dari ahli waris terhadap harta warisan, yakni:
1. Ia dapat menerima harta warisan seluruhnya menurut hakekat tersebut dari KUHPerdata, termasuk seluruh hutang si pewaris.
2. Ia dapat menolak harta warisan dengan akibat bahwa ia sama sekali tidak tahu menahu tentang pengurusan harta warisan itu.
3. Ia dapat menerima harta warisan dengan syarat bahwa harus diperinci barang-barangnya dengan pengertian bahwa hutang-hutang hanya dapat ditagih sekedar harta warisan mencukupi untuk itu.
Oleh karena pemilihan satu dari tiga sikap tersebut di atas dapat berpengaruh besar terhadap ahli waris, maka oleh KUHPerdata kepada mereka secara tegas diberi kesempatan untuk berpikir dahulu sebelum memilih salah satu sikap itu. Hak-hak berpikir ini diatur dalam pasal 1023 sampai pasal 1029 KUHPerdata.
Akibat dari penerimaan warisan secara penuh atau tanpa syarat (point 1) adalah bahwa harta warisan dan harta kekayaan pribadi dari ahli waris dicampur menjadi satu, berari bahwa semua hutang-hutang pewaris diambil alih oleh ahli waris, dan ia tidak dapat menolak warisan itu .

BAB III
KESIMPULAN

1. Dalam hukum Islam, kewarisan merupakan suatu kewajiban yang tidak digantungkan pada kehendak masing-masing pihak. Sedangkan dalam hukum perdata barat, jika terbuka suatu warisan, ahli waris dapat memilih apakah ia akan menerima atau menolak warisan itu, atau menerima dengan ketentuan ia tidak akan diwajibkan membayar hutang-hutang si pewaris yang melebihi bagiannya dalam warisan itu.
2. Dalam hukum Islam yang diwariskan kepada ahli waris itu adalah barang-barang peninggalan si pewaris dalam keadaan bersih, jadi setelah dikurangi dengan pembayaran hutang-hutang si pewaris. Seperti apa yang telah diuraikan bahwa pembayaan hutang itu tidak boleh mendatangkan kesempitan pada ahli waris tersebut, dengan demikian tanggung jawab para ahli waris menurut hukum Islam adalah terbatas sebanyak harta peninggalan yang ia dapatkan. Sedangkan dalam KUHPerdata tanggung jawab para ahli waris tersebut, apakah ia menerima atau menolak warisan itu.
3. Dalam hukum kewarisan Islam para ahli waris tidak diwajibkan untuk menutupi kekurangan – kekurangan yang timbul karena harta peninggalan tidak cukup untuk menutupi hutang si pewaris. Sedangkan menurut KUHPerdata harta kekayaan pribadi dapat dipakai untuk mencukupi pelunasan hutang hutang si pewaris bila ia menerima warisan itu secara penuh atau tanpa syarat.

SARAN
Menggantungkan kehendak untuk mewaris seperti yang dianut oleh sistem kewarisan perdata barat dirasakan tidak sesuai dengan prinsip kekeluargaan yang ada karena terdapat kemungkinan bahwa ahli waris menolak warisan. Hal ini memungkinkan terjadinya penyalahgunaan seperti halnya yang terjadi pada kasus Soeharto (TERLAMPIR) dimana salah satu ahli warisnya yakni Hutomo Mandala Putra menolak menjadi ahli waris. Dari kasus tersebut banyak pihak yang memperkirakan bahwa itu merupakan trik Hutomo Mandala Putra untuk mengindari penyelidikan hukum atas harta yang bersangkutan terkait kasus korupsi yang melilitnya. Maka diperlukan hukum kewarisan nasional yang didalamnya tersirat kaedah hukum kewarisan Islam yang mengatur bahwa ahli waris wajib mewaris termasuk mewaris hutang pewaris tetapi terbatas atas harta warisan yang diperoleh ahli waris tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Soelistijono SH. CN, Yati dan Neng Djubaedah SH. MH. Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.
Thalib, Sajuti. Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. Jakarta: Bina Aksara, 1981.
Ali, Mohammad Daud, haji. Hukum Islam:Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.
Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa, 2003.
Zushaniaty I, Mei, “kedudukan wasiat dan hutang si mati ditinjau dari sudut hukum kewarisan islam dan kitab undang-undang hukum perdata.” Skripsi Sarjana Universitas Inonesia, Jakarta, 1986.

Peraturan Perundang-Undangan:
Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Kompilasi Hukum Islam. Disusun oleh Tim Redaksi Fokusmedia. Cet.II. Bandung: Fokusmedia, 2007.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek]. Diterjemahkan oleh R.Subekti dan R.Tjitro sudibio. Cet.VIII. Jakarta: Pradnya Paramita, 1976.


Artikel Terkait..:

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar