Kesadaran tentang hak asasi manusia (HAM), demokrasi dan globalisasi misalnya, secara umum relatif tidak menyentuh hakikat kepentingan manusia sebagai individu dan bangsa secra kolektif. Karena kesadaran itu lebih sebatas prosedur-prosedur, etika atau persepsi tentang itu semua sebagai “hukum alam” dan karenanya menjadi keharusan sejarah. Tidak ada kesadaran kritis yang melampaui “smoke screen” (HAM, demokrasi dan globalisasi sebagai contoh adalah “tabir asap”), sehingga kita bisa melihat fakta, kepentingan dan agenda tersembunyi di balik wacana itu.
Mentalitas kolektif bangsa ini yang cenderung memilih untuk menjadi konsumen dalam segala hal di satu sisi, dan mentalitas permanen yang menganggap bahwa segala sesuatu yang datang dari luar adalah lebih baik di sisi lain, juga semakin menutup peluang lahirnya kesadaran kritis itu. Lebih dari itu, ada mental inlander dan rendah diri (tidak percaya pada kekuatan diri dan lokal), sehingga selalu mengharap bantuan dari luar dan pihak luarlah yang diyakini bisa menyelesaikan konflik internal masyarakat (misalnya di dalam organisasi atau tubuh partai politik) dan bangsa (krisis ekonomi atau politik).
Di tengah hiruk-pikuk wacana globalisasi, demokrasi dan penegakkan HAM dengan berbagai tingkat persoalannya yang kompleks, mayoritas warga bangsa ini – khususnya elit politik dan kaum intelektualnya – lupa untuk mengajukan sejumlah pertanyaan kritis yang seharusnya diajukan oleh kelas terdidik dan warga bangsa merdeka. Karena lupa atau tahu tapi tidak tahu harus berbuat apa, pada akhirnya kelompok itu tidak punya pilihan lain selain mendukung dan mengusung agenda globalisasi, demokratisasi dan penegakkan HAM.
Ketika memperbincangkan globalisasi, yang diusung adalah wacana bahwa globalisasi merupakan keharusan sejarah yang tidak mungkin dilawan sebagai akibat dari pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Terintegrasinya bangsa-bangsa di dunia dalam satu pasar, pertukaran budaya dan nilai-nilai yang dianggap universal merupakan sesuatu yang sangat alamiah dan keharusan sejarah. Karenanya, globalisasi tidak mungkin “dilawan”. Siapa pun yang melawan pasti tenggelam. Sikap kritis terhadap globalisasi dianggap sebagai anti-globalisasi.
Tidak ada lagi pertanyaan kritis yang muncul, misalnya siapa yang diuntungkan (di satu sisi) dan dirugikan (di sisi lain) dalam dunia yang terintegrasi itu? Yang diasumsikan adalah nalar liberalisme bahwa dengan kompetisi yang semakin terbuka dan bebas, semua orang, kelompok masyarakat dan bangsa bisa muncul sebagai pemain dalam dunia global itu. Padahal, kompetisi yang bebas hanya akan menguntungkan mereka yang memiliki sumber informasi, modal dan teknologi yang cukup. Dan ini hanya dimiliki oleh negara-negara industri kapitalis maju. Sedangkan negara-negara berkembang seperti Indonesia, dalam globalisasi yang massif itu, hanya akan menjadi tenaga kerja murah, pasar berskala luas, konsumen, pelayan bagi kekuatan-kekuatan ekonomi global.
Liberalisasi perdagangan dan privatisasi BUMN adalah sesuatu yang masuk akal akan membuat kompetisi semakin baik. Dalam satu putaran waktu akan terasa bahwa liberalisasi dan privatisasi itu mendatangkan “kemaslahatan” bagi rakyat, sekurang-kurangnya ada pemasukan bagi APBN. Namun dalam putaran berikutnya, ketika harga barang sudah ditentukan oleh kartel internasional, madarat-lah yang akan dirasakan dan ditanggung oleh rakyat. Pada saa itu, suatu bangsa tidak lagi berdaulat dan punya harga diri, selain hanya menjalankan kepentingan-kepentingan yang tidak berasal dari dalam dirinya sendiri.
Pada kasus pelanggaran HAM nalar yang sama juga bekerja. Kita tidak pernah mampu menembus fakta pelanggaran HAM yang jauh lebih berat dan menghancurkan dalam jangka panjang, misalnya dalam bentuk pemaksaan utang, privatisasi dan liberalisasi perdagangan. Jutaan orang telah mati karena dianggap membahayakan kepentingan-kepentingan ekonomi global. Empat perlima (80%) manusia di bumi Dunia Ketiga akan sengsara hidupnya karena harus bekerja untuk kepentingan seperlima manusia (20%) di Dunia Pertama. Atau bahkan lebih dari itu, menjadi apa disebut sebagai “disposable people”.
Kita tidak pernah lagi bertanya berapa juta penduduk Papua yang dilanggar hak asasinya dan harus kehilangan masa depan yang pantas karena kekayaan alamnya tidak bisa dinikmati secara penuh oleh mereka sendiri. Begitu juga dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Kasus Tanjung Priok, Lampung, Timor Timur, Trisakti dan Semanggi adalah kasus pelanggaran HAM yang harus diselesaikan secara tuntas. Namun jangan lupa juga, bahwa ada pelanggaran yang jauh lebih berat dan potensial menghancurkan masa depan bangsa secara kolektif, yaitu apa yang bisa disebut sebagai pemaksaan agenda politik dan ekonomi neo-liberal.
Secara faktual, bangsa ini (baca: kaum elit dan kelas terdidiknya) telah kehilangan kepekaan dan kesadaran kritis untuk melihat fakta-fakta tersembunyi di balik berbagai agenda neo-liberal itu. Indonesia hari ini sesungguhnya bisa dikatakan sama dengan “Indonesia” pada awal abad ke-17, ketika kolonialisme mulai masuk dan 2% orang asing datang sebagai penjajah mengendalikan 98% orang pribumi. Secara de jure, Indonesia negara merdeka, karena pada 1945 kemerdekaan itu telah diproklamasikan dan dunia kemudian mengakuinya. Namun de facto, Indonesia tetap tidak pernah bisa secara mandiri dan percaya diri mengambil keputusan-keputusan ekonomi-politik penting menyakut hak hidup dan masa depan rakyatnya, tanpa intervensi dari pihak luar.
Kesadaran kritis yang melampaui tabir asap itu sesungguhnya bisa dibangun dengan tradisi berpikir relasional (melihat suatu masalah atau fakta tidak semata-mata dari substansinya, tetapi dalam relasinya dengan masalah dan fakta lain) dan “outward looking” (melihat masalah atau fakta di dalam negeri dalam perspektif geo-politik, geo-ekonomi dan geo-kultural dalam konteks hubungan internasional, khususnya hubungan antara negara Dunia Pertama dan Ketiga).
Soekarno dan Tan Malaka pernah mencoba membangun tradisi itu, dan gagal! KH Abdurrahman Wahid juga selalu mencobanya, meski karena uasaha tersebut mereka semua dimusuhi banyak elit yang merasa kemapanannya terancam. Mungkin kini saatnya kita membangun kembali tradisi itu, dengan belajar dari kegagalan mereka yang memiliki cita-cita agung: membangun Indonesia merdeka, berdaulat penuh dan punya harga diri sebagai bangsa!
Seyyed Hossein Nasr pernah menyatakan bahwa ilmu pengetahuan Timur (Islam) yang berlandaskan prinsip-prinsip metafisik, dapat didayagunakan untuk membangun kembali keselarasan antara manusia dan langit. Ilmu pengatahuan kita yang selama ini sangat dipengaruhi oleh tradisi barat yang teknokatis telah melahirkan banyak paradoks, anomali dan keterasingan bagi kita sendiri. Kini saatnya kita kembali kepada tradisi dengan tetap menempatkan nilai-nilai lain dalam kerangka saling melengkapi (komplementer) dengan tradisi kita sendiri. Negara-negara Amerika Latin, Jepang, Korea, Cina, Iran dan Rusia telah membuktikan bahwa mereka justeru bisa menjadi negara yang tumbuh sebagai kekuatan besar dan berdaulat justeru karena mampu mentransformasikan tradisinya. Sementara kita selama ini cenderung menjadi konsumen nilai-nilai dan gaya hidup baru yang datang dari luar dengan menganggap tradisi sebagai masa lalu yang harus ditinggalkan.
Mari kita kembali ke tradisi. Karena tanpa tradisi, bangsa ini ibarat sebuah rumah yang rapuh fondasinya. Jangankah diguncang gempa atau badai, diguyur hujan sedikit lebat saja bisa ambruk. Di samping itu, tradisi berfungsi sebagai landas pacu bagi pembangunan sosial yang kita rumuskan. Ia menjadi sumber nilai yang mengikat berbagai aspirasi, keyakinan dan nilai-nilai yang ada di tengah masyarakat dan pada saat yang sama tradisi juga menjadi sumber nilai yang menggerakkan berbagai potensi yang ada di tengah masyarakat.
Penting disadari, perubahan mendasar dalam pandangan hidup dan tradisi berpikir itu memerlukan waktu yang tidak pendek. Dibutuhkan kesabaran dan kesadaran bahwa proses itu merupakan pekerjaan jangka panjang. Karena itu, hasilnya tidak bisa dilihat dalam ukuran waktu lima atau sepuluh tahun. Dalam proses tersebut, yang diperlukan adalah membangun kondisi-kondisi kemungkinan untuk berbagai manifestasi perubahan. Dengan titik-titik pertahanan yang dibangun dari kosmopolitanisme tradisi masyarakat, maka ada banyak alternatif perubahan berdasarkan kondisi dan kebutuhan riil masyarakat. Liberalisme (ekonomi, politik dan agama) selama ini hanya menyediakan satu jalan menuju perubahan. Jalan yang monolitik. Demikian juga fundamentalisme. Monolitisme itu menyebabkan ruang dialog dan kesediaan untuk saling melengkapi menjadi semakin tertutup.
Mahasiswa sebagai kelompok yang otonom dan kekuatan moral saya kira mampu melakukan itu karena sejarah telah membuktikan bahwa perubahan tradisi berpikir suatu bangsa seringkali diubah secara mendasar oleh para mahasiswa. Seperti perubahan tradisi berpikir masyarakat Perancis yang mengalami perubahan sangat fundamental setelah ada revolusi mahasiswa pada 1968.