Hukum kewarisan Islam pada dasarnya berlaku untuk seluruh umat Islam di dunia. Sungguhpun demikian, corak suatu negara Islam dan kehidupan di negara atau daerah tersebut memberi pengaruh atas hukum kewarisan di daerah itu. Pengaruh itu terbatas pada perkara yang bukan merupakan hal pokok atau esensial dalam ketentuan waris Islam. Khusus hukum kewarisan Islam di Indonesia, ada beberapa perbedaan dikalangan para fuqaha yang pada garis besarnya terbagi menjadi dua golongan, yaitu: pertama, yang lazim disebut dengan madzhab sunny (madzhab Hanafi,Maliki, Syafi' i, dan Hambali) yang cenderung bersifat patrilineal dan kedua, ajaran Hazairin yang cenderung bilateral.
Dalam perkembangan hukum Islam di Indonesia selanjutnya lahirlah Kompilasi Hukum Islam (KHI), setelah eksistensi Peradilan Agama diakui dengan hadirnya UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. KHI adalah kitab yang merupakan himpunan atau rangkaian kitab Fiqh, serta bahan-bahan lainnya yang merupakan hukum materil PA dalam meyelesaikan masalah perkawinan, kewarisan dan wakaf. Kehadiran KHI ini dilatarbelakangi antara lain karena ketidakpastian dan kesimpangsiuran putusan PA terhadap masalahmasalah yang menjadi kewenangannya, disebabkan dasar acuan putusannya adalah pendapat para ulama yang ada dalam kitab-kitab fiqh yang sering berbeda tentang hal yang sama antara yang satu dengan lainnya. Sehingga sering terjadi putusan yang berbeda antara satu PA dengan PA lainnya dalam masalah yang sama.Tema utama penyusunan KHI ialah mempositifkan hukum Islam di Indonesia, yang dijadikan pedoman oleh para hakim dalam melaksanakan tugasnya sehingga terjamin adanya kesatuan dan kepastian hukum. Sebab untuk dapat berlakunya hukum Islam di Indonesia, harus ada antara lain hukum yang jelas dan dapat dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dan masyarakat. Dengan lahirnya KHI, semua hakim di lingkungan PA diarahkam kepada persepsi penegakan hukum yang sama. KHI terdiri atas tiga buku, yaitu: Buku I tentang Perkawinan, Buku II tentang Kewarisan dan Buku III tentang Perwakafan. Pasal pasal hukum perkawinan dalam Buku I yang terdiri dari 170 pasal, telah memuat materi hukum yang rinci. Di samping itu selain Buku I KHI juga telah ada UU lain yang mengatur tentang perkawinan, seperti UU no. 1 th. 1974 dan PP no.9 tahun 1975. Berbeda dengan hukum kewarisan dalam Buku II yang begitu singkat jika dibandingkan dengan hukum perkawinan. Hukum kewarisan hanya terdiri dari 23 pasal (pasal 171-193). Hukum perwakafan dalam Buku III juga singkat, yaitu 15 pasal, namun hukum perwakafan namun telah ada perundang-undangan lain yang mengaturnya, yaitu PP no. 28 tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik.
Dari uraian di atas tampaknya Buku II KHI ini memerlukan penjelasan lebih lanjut, karena banyak hal-hal yang tampaknya belum jelas dan belum dijelaskan. Hal ini seperti terlihat dalam perincian kelompok ahli waris, belum jelas siapa-siapa orangnya, bagaimana bagian masing-masing dan bagaimana tentang konsep pengganti ahi waris. Hal ini dikaitkan dengan tujuan dari penyusunan KHI itu sendiri, yaitu untuk terciptanya kesatuan pemahaman menuju kesatuan dan terciptanya kepastian hukum. Dalam KHI buku II ini, walaupun singkat namun memuat beberapa masalah. Selain tentang kewarisan dalam Buku II KHI ini juga diatur tentang wasiat dan hibah. Adapun dalam tulisan ini hanya dibatasi pada pembahasan yang mengatur tentang kewarisan dan halhal yang berhubungan dengan kewarisan tersebut, terutama tentang
kelompok ahli waris dan bagiannya masing-masing. Di sini juga akan dibahas tentang konsep pengganti ahli waris, hal ini karena terkait erat dengan masalah kewarisan.
Pengertian Hukum Kewarisan
Pengertian hukum kewarisan dalam KHI disebutkan pada pasal 171 ayat (a) yang berbunyi : "Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing."
Dari definisi di atas, maka hukum kewarisan menurut KHI mencakup ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
1. Ketentuan yang mengatur siapa pewaris
2. Ketentuan yang mengatur siapa ahli waris
3. Ketentuan yang mengatur tentang harta peninggalan
4. Ketentuan yang mengatur tentang akibat peralihan harta peninggalan dari pewaris kepada ahli waris
5. Ketentuan yang mengatur tentang bagian masing-masing. Dari definisi ini juga tampak unsur-unsur pewarisan, yaitu; pewaris, ahli waris dan harta warisan atau tirkah.
Pewaris
Tentang pewaris tercantum dalam pasal 171 ayat (b): "Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan beragama Islam,meniggalkan ahli waris dan harta peninggalan."
Dari redaksi di atas tampak bahwa untuk terjadinya pewarisan disyaratkan untuk pewaris adalah telah meninggal dunia, baik secara hakiki ataupun hukum. Hal ini sebagaimana telah ditentukan oleh ulama tentang syarat-syarat terjadinya pewarisan antara lain meninggalnya pewaris baik secara hakiki, hukum atau takdiri. Selain disyaratkan telah meninggal dunia, pewaris juga disyaratkan beragama Islam dan mempunyai ahli waris dan harta peninggalan. Syarat-syarat ini sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam fiqh mawaris.
Ahli Waris
Pengertian ahli waris dalam KHI disebutkan dalam pasal 171 ayat ( c ): "Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk
menjadi ahli waris"
Dari pasal 171 ayat ( c ) ini, pertama, menurut penulis perlu adanya penyempurnaan redaksi, karena jika diperhatikan redaksi tersebut seakan-akan yang meninggal itu adalah ahli waris, padahal yang dimaksud tentunya bukan demikian. Kedua, dari pengertian ahli waris di atas tidak disebutkan apakah ahli waris tersebut disyaratkan hidup atau tidak seperti telah diutarakan oleh para ulama fiqh mawaris bahwa salah satu syarat terjadinya pewarisan adalah hidupnya ahli waris saat kematian pewaris, baik secara hakiki maupun hukum. Untuk yang kedua ini perlu penjelasan, karena hal ini akan terkait dengan pasal 185 tentang ahli waris pengganti, apakah mereka mewaris karena imperatif atau sebagai alternatif untuk mencapai keadilan seperti ditempuh oleh wasiat wajibah atau secara otomatis dan seharusnya mereka mendapatkannya seperti pendapat Hazairin. Menurut penulis untuk penyempurnaan redaksi tersebut adalah:
"Ahli waris adalah orang yang masih hidup atau dinyatakan masih hidup oleh putusan pengadilan pada saat meninggalnya pewaris mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris."
Selanjutnya ahli waris yang terdapat pada KHI seperti tersebut di atas pada dasarnya sama dengan ahli waris dalam kitab-kitab fiqh Islam, dengan pengecualian laki-laki dan perempuan yang memerdekakan budak, karena di Indonesia tidak ada perbudakan, namun dimungkinkan ada penambahan ahli waris pengganti seperti cucu laki-laki maupun perempuan dari anak perempuan bersamaan anak laki-laki, di mana anak perempuan tersebut telah meninggal dunia lebih dahulu dari pewaris. Dari pasal-pasal 174. 181, 182 dan 185, dapat dilihat bahwa ahli waris tersebut terdiri atas :
1. Ahli waris laki-laki, ialah ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman, kakek dan suami.
2. Ahli waris perempuan, yaitu ibu, anak perempuan, saudara perempuan, nenek dan isteri
3. Ahli waris yang dimungkinkan sebagai ahli waris pengganti adalah seperti cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki atau perempuan.
Dari penjelasan tentang ahli waris menurut KHI ini, dapat disimpulakan bahwa syarat-syarat sebagai ahli waris adalah; mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan; beragama Islam. Tentang beragama Islam bagi ahli waris ini lebih lanjut diatur dalam pasal 172 KHI: "Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari kartu identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya."
4. Tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. Adapun tentang hidupnya ahli waris di saat meninggalnya pewaris, seperti disyaratkan oleh para fuqaha tidak tampak dalam ketentuan ini, dan menurut penulis hal ini perlu ditegaskan.
Adanya Harta Peninggalan (Tirkah).
Hal ini berarti jika pewaris tidak meninggalkan tirkah, maka tidak akan terjadi pewarisan. Adapun pengertian tirkah di kalangan para ulama ada beberapa pendapat. Ada yang menyamakan dengan pengertian maurus (harta waris) ada juga yang memisahknnya, yaitu bahwa tirkah mempunyai arti yang lebih luas dari maurus.
KHI yang merupakan intisari dari berbagai pendapat para ulama, memberi kesimpulan terhadap definisi tirkah, yaitu seperti dalam pasal 171 ayat (d) : "Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya."
Sedangkan tentang harta waris dijelaskan pada pasal 171 ayat
(e) ;"Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat."
Dari pengertian di atas, dikatakan, bahwa secara umum harta peninggalan seseorang yang telah meninggal dunia adalah berupa:
1. Harta kekayaan yang berwujud dan dapat dinilai dengan uang, termasuk piutang yang akan ditagih.
2. Harta kekayaan yang berupa hutang-hutang dan harus dibayar pada saat seseorang meninggal dunia
3. Harta kekayaan yang masih bercampur dengan harta bawaan masing-masing.
4. Harta bawaan yang tidak dapat dimiliki langsung oleh suami atau isteri, misal harta pusaka dari suku mereka yang dibawa sebagai modal pertama dalam perkawinan yang harus kembali pada asalnya, yaitu suku tersebut.
Jadi yang menjadi harta warisan ialah harta yang merupakan peninggalan pewaris yang dapat dibagi secara induvidual kepada ahli waris, yaitu harta peninggalan keseluruhan setelah dikurangi dengan harta bawaan suami atau isteri, harta bawaan dari klan dikurangi lagi dengan biaya untuk keperluan pewaris selama sakit, biaya pengurusan jenazah, pembayaran hutang si mati dan wasiat.
PEMBAHASAN
PERBANDINGAN HUKUM WARIS ISLAM DAN KUH PERDATA (BW)
1. PERSAMAAN
1. Segala harta warisan akan berpindah dari tangan orang yang meninggalkan warisan kepada semua ahli warisnya.
2. Dalam hal biaya pemakaman mayat, tidak ada perbedaan antara hukum waris Islam dan Nasional, artinya sama yaitu bahwa harta warisan yang pertama harus dimanfaatkan untuk membayar biaya pemakaman mayat tersebut.
3. Subjek hukumnya sama yaitu antara si Pewaris dan ahli waris.
4. Unsur pewarisannya sama, secara individual memberi kebebasan kepada seseorang yang memiliki harta untuk membuat testament.
5. Yang berhak mewaris pada dasarnya adalah sama, yaitu keluarga sedarah dari si Pewaris.
2. PERBEDAAN WARIS ISLAM WARIS NASIONAL
Bentuk harta warisan Pada dasarnya berpindah dari tangan yang meninggal dunia tehadap semua ahli waris berupa barang-barang peninggalan dalam keadaan bersih, artinya sudah dikurangi dengan pembayaran utang-utang dari orang yang meninggalkan warisan serta dengan pembayaran-pembayaran lain yang disebabkan oleh meninggalkanya orang yang meninggalkan warisan. Yang diwariskan kepada semua ahli waris itu tidak saja hanya masalah-masalah yang ada manfaatnya bagi mereka, akan tetapi utang-utang mereka yang meninggalkan warisan, dalam arti bahwa kewajiban membayar utang-utang itu pada kenyataannya berpindah juga kepada semua ahli warisnya.
Mewaris Hutang Dalam Kompilasi Hukum Islam buku II, bab I tentang ketentuan umum, dapat disimpulkan bahwa hukum kewarisan Islam memisahkan konsep antara harta peninggalan dan harta warisan. Yang dimaksud harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya. Sedangkan yang dimaksud mengenai harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat. Mr.Ter Haar mengatakan bahwa hanya harta peninggalan yang tinggal tak terbagi-bagilah yang harus dipergunakan untuk membayar hutang-hutang si pewaris. Titik pangkal ini mengakibatkan perumusan kaedah hukum adat yakni hanya sisa harta peninggalan dapat diwaris. Sebaliknya KUHPerdata memandang selaku hakekat, bahwa yang diwaris oleh ahli waris itu tidaklah hanya hal-hal yang bermanfaat saja bagi mereka, melainkan juga hutang dari si pewaris.
Hakekat dalam KUHPerdata bahwa hutang-hutang si pewaris beralih pula kepada ahli waris juga menentukan bahwa para ahli waris dapat menghindarkan peralihan itu dengan jalan menerima atau menolak warisan atau menerima dengan syarat, yaitu menerima tetapim dengan ketentuan ia tidak akan diwajibkan membayar hutang si pewaris yang melebihi bagiannya dalam warisan itu.
Dengan demikian KUHPerdata mengenal 3 macam sikap dari ahli waris terhadap harta warisan, yakni:
1. Ia dapat menerima harta warisan seluruhnya menurut hakekat tersebut dari KUHPerdata, termasuk seluruh hutang si pewaris.
2. Ia dapat menolak harta warisan dengan akibat bahwa ia sama sekali tidak tahu menahu tentang pengurusan harta warisan itu.
3. Ia dapat menerima harta warisan dengan syarat bahwa harus diperinci barang-barangnya dengan pengertian bahwa hutang-hutang hanya dapat ditagih sekedar harta warisan mencukupi untuk itu.
Banyaknya pembagian dari harta warisan Menurut hukum agama Islam terdapat dua golongan ahli waris, yaitu ke 1 para “asabat” yang dianggap dengan sendirinya sejak dahulu kala sebelum agama Islam menurut hukum di tanah Arab, merupakan ahli waris, dan ke orang-orang yang oleh beberapa pasal dari Kitab Al-Qur’an ditambahkan selaku ahli waris pula (koranische erfgenamen) . Hukum BW mengenal 4 golongan ahli waris yang bergiliran hak atas harta warisan, dengan pengertian apabila golongan ke 1 tidak ada, maka golongan ke 2 lah yang memiliki ha, demikianlah selanjutnya.
Kelahiran Anak di Luar Pernikahan Oleh hukum Islam ditetapkan adanya tenggang waktu, yaitu tenggang yang sekurang-kurangnya mesti ada antara waktu nikah si istri dan kelahiran anak, dan lagi suatu tenggang, yang selama-lamanya harus ada antara putusnya pernikahan atau perkawinan dengan lahirnya si anak.
Tenggang waktu yang dimaksud yaitu sekurang-kurangnya antara nikah si ibu dan kelahiran si anak adalah 6 bulan, sedang tenggang yang selama-lamanya harus ada antara putusnya tali pernikahan dan kelahiran anak yaitu tenggang iddah, ialah 4 bulan dan 10 hari. Dalam BW yang mengatur mengenai hubungan hukum tentang warisan antara si ibu dan si anak di luar pernikahan, tercantum dalam Pasal 862 s.d 873 BW.
Antara anak dan ibu baru ada hubungan hukum apabila si ibu mengakui anak itu sebagai anaknya, dimana pengakuan itu mesti dilaksanakan dengan sistem tertentu, yaitu menurut Pasal 281 BW dalam akte kelahiran si anak dalam akte pernikahan (perkawinan) bapak dan ibu di depan Pegawai Catatan Sipil (ambtenar bij de Burgelijk stand), atau dengan akta otentik tersendiri (akte notaries) atau jadi ½ dan tidak ¼ dari bagian anak sah.
Cara Penghibahan Wasiat Dalam hukum islam tidak disebutkan tentang ketentuan cara yang khusus untuk membuat keinginan terakhir dari si peninggal warisan. Cuma ditetapkan bahwa ucapan tersebut harus jelas dan tegas serta dihadiri dan disaksikan oleh orang-orang yang sekaligus bertindak sebagai saksi akan kebenaran ucapan tersebut.
Bila keinginan terakhir ini ditulis dalam sepucuk surat, maka surat hibah wasiat tersebut dianggap sah bila isinya dibacakan secara lisan kepada ahli waris dan saksi-saksi. Menurut BW ada tiga macam cara membuat hibah wasiat, yaitu:
1. Testament rahasia (geheim)
2. Testament tak rahasia (openbaar)
3. Testament tertulis sendiri (olografis),
yang biasanya bersifat rahasia ataupun tidak rahasia. Dalam ketiga cara testament ini dibutuhkan campur tangan seorang notaris.
1. Sistem Kewarisan yang berlaku di Indonesia
Di negara kita RI ini, hukum waris yang berlaku secara nasioal belum terbentuk, dan hingga kini ada 3 (tiga) macam hukum waris yang berlaku dan diterima oleh masyarakat Indonesia, yakni hulum waris yang berdasarkan hukum Islam, hukum Adat dan hukum Perdata Eropa (BW).
Hal ini adalah akibat warisan hukum yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda untuk Hindia Belanda dahulu. Kita sebagai negara yang telah lama merdeka dan berdaulat sudah tentu mendambakan adanya hukum waris sendiri yang berlaku secara nasional (seperti halnya hukum perkawinan dengan UU Nomor 2 Tahun1974), yang sesuai dengan bangsa Indonesia yang berfalsafah Pancasila dan sessuai pula dengan aspirasi yang benar-benar hidup di masyarakat. Karena itu menginggat bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam.
Yang tentunya mengharapkan berlakunya hukum Islam di Indonesia, termasuk hukum warisnya bagi mereka yang beragama Islam, maka sudah selayaknya di dalam menyusun hukum waris nasional nanti dapatlah kiranya ketentuan-ketentuan hukum waris Islam dimasukkan ke dalamnya, dengan memperhatikan pula pola budaya atau adat yang hidup di masyarakat yang bersangkutan.
II. Pembahasan tentang Hukum Waris Islam
Setiap masalah yang dihadapi oleh manusia ada hukumya (wajib, sunat, haram, mubah), di samping ada pula hikmahnya atau motif hukumnya. Namun, hanya sebagian kecil saja masalah-masalah yang telah ditunjukan oleh Al-Qur’an atau sunnah dengan keterangan yang jelas dan pasti (clear dan fix statement), sedangkan sebagian besar masalah-masalah itu tidak disinggung dalam Al-Qur’an atau sunnah secara eksplisit, atau disinggung tetapi tidak dengan keterangan yang jelas dan pasti. Hal yang demikian itu tidak berarti Allah dan Rasul-nya lupa atau lengah dalam mengatur syariat Islam tetapi justru itulah menunjukan kebijakan Allah dan Rasul-nya yang sanggat tinggi atau tepat dan merupakan blessing in disguise bagi umat manusia. Sebab masalah-masalah yang belum atau tidak ditunjukkan oleh Al-Qur’an atau sunnah itu diserahkan kepada pemerintah, ulama atau cendekiawan Muslim, dan ahlul hilli wal ‘aqdi (orang-orang yang punya keahlian menganalisa dan memecahkan masalah) untuk melakukan pengkajian atau ijtihad guna menetaplan hukumnya, yang sesuai dengan kemaslahatan masyarakat dan perkemmbangan kemajuannya.
Masalah-masalah yang menyangkut warisan seperti halnya masalah-msalah lain yang dihadapi manusia ada yang sudah dijelaskan permasalahannya dalam Al-Qur’an atau sunnah dengan keterangan yang kongkret, sehingga tidak timbul macam-macam interpretasi, bahkan mencapai ijma’ (konsensus) di kalangan ulama dan umat Islam. Misalnya kedudukan suami istri, bapak, ibu dan anak (lelaki atu perempuan) sebagai ahli waris yang tidak bisa tertutup oleh ahli waris lainnya dan juga hak bagiannya masing-masing.
Selain dari itu masih banyak masalah warisan yang dipersoalkan atau diperselisihkan. Misalnya ahli waris yang hanya terdiri dari dua anak perempuan. Menurut kebanyakan ulama, kedua anak perempuan tersebut mendapat bagian dua pertiga, sedangkan menurut Ibnu Abbas, seorang ahli tafsir terkenal, kedua anak tersebut berhak hanya setengah dari harta pusaka.
Demikian pula kedudukan cucu dari anak perempuan sebagai ahli waris, sebagai ahli waris jika melalui garis perempuan, sedangkan menurut syiah, cucu baik melalui garis lelaki maupun garis perempuan sama-sama berhak dalam warisan. Penyebab timbulnya bermacam-macam pendapat dan fatwa hukum dalam berbagai masalah waris adalah cukup banyak. Tetapi ada dua hal yang menjadi penyebab utamanya, yakni :
1. Metode dan pendekatan yang digunakan oleh ulama dalam melakukan ijtihad berbeda;
2. Kondisi masyarakat dan waktu kapan ulama melakukan ijtihad juga berbeda.
Hal-hal tersebut itulah yang menyebabkan timbulnya berbagai mazhab atau aliran dalam hukum fiqh Islam, termasuk hukum waris. Maka dengan maksud mempersatukan dan memudahkan umat Islam dalam mencari kitab pegangan hukum Islam, Ibnu Muqqafa (wafat tahun 762 M) menyarankan Khalifah Abu Ja’far al-Mansur agar disusun sebuah Kitab Hukum Fiqh Islam yang lengkap berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah,dan ra’yu yang sesuai dengan keadilan dan kemaslahatan umat. Khalifah Al-Mansur mendukung gagasan tersebut. Namun gagasan tersebut tak mendapat respon yang positif dari ulama pada waktu itu, karena ulama tak mau memaksakan pahamnya untuk diikuti umat, karena mereka menyadari bahwa hasil ijtihadnya belum tentu benar. Imam Malik juga pernah didesak oleh Khalifah Al-Mansur dan Harun al-Rasyid untuk menyusun sebuah kitab untuk menjadi pegangan umat Islam, karena setiap bangsa atau umat mempunyai pemimpin-pemimpin yang lebih tahu tentang hukum-hukum yang cocok dengan bangsa atau umatnya. Turki adalah negara Islam yang dapat dipadang sebagai pelopor menyusun UU Hukum Keluarga (1326 H) yang berlaku secara nasional, dan materinya kebanyakan diambil dari maznab Hanafi, yang dianut oleh kebanyakan penduduk Turki.
Di Mesir, pemrintah membentuk sebuah badan resmi terdiri dari para ulama dan ahli hukum yang bertugas menyusun rancangan berbagai undang-undang yang diambil dari hukum fiqh Islam tanpa terikat suatu mazhab dengan memperhatikan kemaslahatan dan kemajuan zaman. Maka dapat dikeluarkan UU Nomor. 26 tahun 1920, UU Nomor 56 tahun 1923, dan UU Nomor 25 Tahun 1929, ketiga UU tersebut mengatur masalah-masalah yang berhubungan dengan perkawinan, perceraian, nafkah, idah, nasab, mahar, pemeliharaan anak dan sebagainya. Hanya UU pertama yang masih diambil dari mazhab empat, sedangkan UU kedua dan ketiga sudah tidak terikat sama sekali dengan mazhab empat. Misal pasal tentang batas minimal usia kawin dan menjatuhkan talak tiga kali sekaligus hanya diputus jatuh sekali. Kemudian tahun 1926 sidang kabinet atau usul Menteri Kehakiman (Wazirul ‘Adl menurut istilah disana) membentuk sebuah badan yang bertugas menyusun rancangan UU tentang Al-Akhwal al-Syakhsiyyah, UU wakaf, waris, wasiat dan sebagainya. Maka keluarnya UU Nomor 77 Tahun 1942 tentang waris secara lengkap. Di dalam UU waris ini terdapat beberapa ketentuan yang mengubah praktek selama ini. Misalnya saudara si mati (lelaki atau permpuan) tidak terhalang oleh kakek, tetapi mereka bisa mewarisi bersama dengan kakek. Demikian pula pembunuhan yang tak sengaja menggugurkan hak seseorang sebagai ahli waris.
Di Indonesia hingga kini belum pernah tersusun Kitab Hukum Fiqh Islam yang lengkap tentang Al-Akhwal al- Syakhsyiyah termasuk hukum waris, yang tidak berorientasi dengan mazhab, tetapi berorientasi dengan kemaslahatan dan kemajuan bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam, baik penyusunannya itu dilakukan oleh lembaga pemerintah atau lembaga swasta ataupun olah perorangan (seorang ulama).
III. Pelaksanaan Hukum Waris Islam di Indonesia
Sejak berdirinya kerajaan-krajaan Islam di Nusantara (Demak dan sebagainya) dan juga pada zaman VOC, hukum Islam sudah dikenal dan dilaksanakan oleh umat Islam Indonesia sebagai konsekuensi iman dan penerimaan mereka terhadap agama Islam. Karena itu, pada waktu pemerintah kolonial Belanda mendirikan Pengadilan Agama. Di Jawa dan Madura pada tauhun1882 (Stb. 1882 Nomor 152) para pejabatnya telah dapat menentukan sendiri perkaraperkara apa yang menjadi wewenangnya, yakni semua perkara yang berhubungan dengan perkawinan, perceraian, mahar, nafkah, sah tidaknya anak, perwalian, kewarisan, hibah, sedekah, Baitul Mal, dan wakaf. Sekalipun wewenang Pengadilan Agama tersebut tidak ditentukan dengan jelas. Pada tahun 1937, wewenang pengadilan agama mengadili perkara waris dicabut dengan keluarnya Stb. 1937 Nomor 116 dan 610 untuk jawa dan Madura dan Stb. 1937 Nomor 638 dan 639 untuk Kalimantan Selatan.
Pengadilan Agama di luar Jawa-Madura dan Kalimantan Selatan sampai Belanda dan Jepang meninggalkan Indonesia belum terbentuk secara resmi. Namun ia (pengadilan agama) tetap menjalankan tugasnya sebagai bagian dari Pengadilan Adat atau Pengadilan Sultan. Baru pada tahun1957 diundangkan PP Nomor 45 Tahun1957 yang mengatur Pengadilan Agama di luar Jawa-Madura dan Kalimantan Selatan dengan wewenang yang lebih luas, yaitu disamping kasus-kasus sengketa tentang perkawinan juga mempunyai wewenang atas waris, hadhanah, wakaf, sedekah, dan Baitul Mal. Tetapi peraturan yang menyatakan bahwa putusan Pengadilan Agama harus dikuatkan oleh Pengadilan Umum tetap berlaku. Menurut Daniel D. Lov, seorang sarjana Amerika yang menulis buku Islamic Courts in Indonesia, hasil penelitiannya pada Pengadilan Agama di Indonesia, bahwa pengadilan agama di Jawa dan Madura sekalipun telah kehilangan kekuasaanya atas perkara waris tahun 1937, namun dalam kenyataanya masih tetap menyelesaikan perkara-perkara waris dengan cara-cara yang sangat mengesankan. Hal ini terbukti, bahwa Islam lebih banyak yang mengajukan perkara waris ke Pengadilan Agama daripada ke Pengadilan
Negeri Dan penetapan Pengadilan Agama itu sekalipun hanya berupa fatwa waris yang tidak mempunyai kekuatan hukum, tetapi kebanyakan fatwa-fatwa warisnya diterima oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Bahkan di Jawa sudah sejak lama fatwa waris Pengadilan Agama diterima oleh notaris dan para hakim Pengadilan Negeri sebagai alat pembuktian yang sah atas hak milik dan tuntutan yang berkenaan dengan itu. Demikian pula halnya dengan pejabat pendaftaran tanah di Kantor Agraria.
Pada tahun 1977/1978 Badan Pembinaan Hukum Nasional bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universita Indonesia mengadakan penelitian di lima daerah, yakni D.I. Aceh, Jambi, Palembang, DKI Jaya, dan Jawa Barat. Dan hasilnya antara lain adalah sebagai berikut :
1. Masyarakat Islam di lima daerah tersebut yang menghendaki berlakunya hukum waris Islam untuk mereka sebanyak 91,35%, sedang yang menghendaki berlakunya hukum waris adat sebanyak 6,65%
2. Kalau terjadi sengketa waris, maka mereka yang memilih Pengadilan Agama 77,16%, sedangkan yang memilih Pengadilan Negeri 15,5%
Kemudian kedua lembaga tersebut di atas mengadakan penelitian pada tahun 1978/1979 di Sembilan daerah, yakni : Jakarta Barat, Kota Cirebon, Kota Serang, Kota Pekalongan, Kota emarang, Kota Surabaya, Kota Malang, Kota Mataram dan sekitarnya, N.T.B., dan Kota Banjarmasin. Dan hasilnya antara lain adalah sebagai berikut :
1. Masyakarat Islam di sembilan daerah tersebut yang menghendaki berlakunya hukum waris Islam untuk mereka sebanyak 82,9%, sedangkan yang menghendaki berlakunya hukum waris adat bagi mereka hanya 11,7%
2. Kalau terjadi sengketa waris, maka mereka yang memilih Pengadilan Agama mengadili kasus warisnya sebanyak 68,3%, sedangkan yang memilih Pengadilan Negeri sebanyak 27,7%.
Karena itu apabila sengketa warus yang terjadi antara orang Islam diajukan ke Pengadilan Negeri, maka seharusnya diputus menurut hukum waris Islam sesuai dengan agama yang bersangkutan berdasarkan isi pasal 131 dan juga Keputusan Mahkamah Agung Nomor 109K/Sip/1960 tanggal 20-9-1960, yang menyatakan bagi golongan pribumi berlaku hukum adat, sedangkan hukum faraid (hukum waris Islam) diberlakuka sebagai hukum adat, karena merupakan the living law dan menjadi cita-cita moral dan hukum bangsa Indonesia. Karena itu, patut disesalkan apabila kasus-kasus warisan keluarga Muslim seperti kasus warisan H. Subhan Z.E. diputus oleh Pengadilan Negeri menurut hukum adat pada tanggal 16 Maret 1973 (Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) dengan pertimbangan antara lain, “Walupun pewaris/almarhum H. Mas Subhan adalah seorang tokoh Islam di Indonesia tidak berarti dapat diberlakukan hukum waris Islam oleh karena almarhum/pewaris berasal dan tempat tinggal di Jawa”. Jlaslah, bahwa hakim Pengadilan Negeri yang mengadili kasus H. Subhan Z.E. tersebut masih menganut teori resepsi yang telah “usang” itu. Sebab UUD 1945 sebagai konstitusi RI dengan sendirinya telah menghapus Indische Staatsregeling sebagai konstitusi yang dibuat pemerintah kolonial Belanda untuk Hindia Belanda dahulu. Sebagai salah satu fakta yang menunjukkan teori resepsi telah ditinggalkan, ialah UU Perkawinan Nomor 1/1974. Sebab di dalamnya terdapat beberapa pasal dan penjelasannya yang menunjukkan peranan agama untuk sahnya perkawinan dan perjanjian perkawinan dan sebagainya tanpa ada embel-embel “yang telah diterima oleh hukum adat”.
2. Contoh penyelesaian kasus kewarisan menurut Sistem Kewarisan yang berlaku di Indonesia.
Contoh Prinsip Kesepakatan dalam Pembagian Waris
Pembagian waris dengan prinsip kekeluargaan sesungguhnya didasarkan padakeyakinan para ulama fiqh bahwa masalah waris adalah hak individu di mana yang mempunyai hak boleh menggunakan atau tidak menggunakan haknya, atau menggunakan haknya dengan cara tertentu selama tidak merugikan pihak lain sesuai aturan standar yang berlaku dalam situasi biasa. Hal ini berbeda dengan hak Allah (atau disebut juga hak umum), seperti aturan tentang larangan mencuri, berzina, membunuh, di mana hukum terhadap pelanggaran-pelanggaran tersebut sudah jelas dan harus ditegakkan. Dalam hal ini manusia tidak mempunyai hak untuk memberi toleransi dan pemaafan. Penjelasan menarik dan tuntas mengenai masalah ini, di antaranya diberikan oleh oleh Prof. Satria Effendi M. Zein (alm), guru besar ushul fiqh Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, ketika melakukan analisis yurisprudensi terhadap putusan Mahkamah Agung Nomor 184 K/ AG / 1995 tanggal 30 September 1996 yang membatalkan putusan Pengadilan Agama Pekalongan Nomor 820/G/1991 tanggal 27 Januari 1992 dan putusan Pengadlilan Tinggi Agama Semarang Nomor 69/G/1992 tanggal 29 Desember 1994 mengenai gugat waris yang dianggap oleh penggugat telah dilakukan secara tidak islami.
Sebagai dasar hukum positif yang memiliki kekuatan legal, Kompilasi Hukum Islam menegaskan hal ini dalam pasal 183 yang berbunyi, Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masingmasing menyadari bagiannya. Dengan demikian, penyelesaian masalah waris dengan menggunanakan prinsip kesepatakan ini bukanlah sesuatu yang tidak mempunyai pijakan doktrinal dalam sistem hukum Islam.
Sebagaimana dikutip Prof. Satria, Abu Zahrah, seorang ulama usul fiqh kenamaan menegaskan kemungkinan pembagian warisan secara kekeluargaan ini. Namun demikian, persyaratan paling utama yang harus dipenuhi adalah adanya kesepakatan dan kerelaan dari para ahli waris. Lebih jauh, ahli waris tersebut juga dapat menggugurkan haknya untuk tidak mendapatkan hak waris dan memberikannya kepada ahli waris yang lain. Sebaliknya, bila para ahli waris, atau di antara ahli waris tidak setuju atau tidak rela harta warisan tersebut dibagi secara kekeluargaan, maka sistem pembagiannya dilakukan sesuai aturan faraid yang telah dijelaskan oleh Al-Qur’an dan Sunnah, atau dalam konteks Indonesia, sesuai peraturan perundang-undangan yang telah menjelaskan hal itu. Pembagian waris dengan cara kekeluargaan itu, bisa jadi didorong oleh pertimbangan perbedaan kondisi ekonomi sebagian ahli waris yang lebih baik disbanding ahli waris yang lain sehingga diharapkan warisan tersebut bisa lebih membantu kondisi kehidupan mereka. Alasan lain boleh jadi adalah karena pertimbangan para ahli waris bahwa seorang atau lebih di antara mereka lebih banyak terlibat dalam pengurusan pewaris dan seterusnya. Dengan demikian menjadi logis bila mereka mendapat bagian yang lebih selama para pihat tersebut menyepakati prinsip tersebut dan telah mengetahui hak mereka masing-masing.
Daftar Pustaka
1. Rahman, Fatchur, Ilmu Waris, Bandung: Al-Ma’arif, 1971, Cet. Ke-4.
2. Bustanul Arifin, “Pelaksanaan Hukum Islam di Indonesia”, Al-Mizan, Nomor 3 Tahun I, 1983.
3. Bustanul Arifin, “Pelaksanaan Hukum Islam di Indonesia”, Al-Mizan, Nomor 3 Tahun I, 1983.
4. Moch. Koesnoe, Perbandingan antara Hukum Islam, Hukum Eropa dan Hukum Adat. Seminar Pembinaan Kurikulum Hukum Islam di Perguruan Tinggi, Badan Kerjasama PTIS, Kaliurang, 1980.