Sebelum
kita membahas jauh tentang phedofilia kita perlu mengetahui dulu apa itu
phedofilia. Secara harfiah phedofilia berasal dari bahasa yunani yaitu
paidohilia yang artinya adalah kondisi yang mempunyai ketertarikan atau hasrat
seksual terhadap anak-anak yang belum memasuki remaja, istilah ini sering
ditujukan kepada orang-orang dewasa yang memiliki kondisi ini[1].
Dalam bidang kesehatan pedofilia diartikan sebagai kelainan seksual berupa
hasrat ataupun fantasi impuls seksual yang melibatkan anak dibawah umur, orang
dengan pedofilia umurnya harus di atas 16 tahun, sedangkan anak-anak yang
menjadi korban berumur 13 tahun atau lebih muda (anak pre-pubertas).[2]
Pedofilia masih sering dikacaukan
pengertiannya, ada tidaknya unsur kekerasan fisik masih sering dijadikan
kriteria untuk mengkategorikan tindak pelecehan seksual terhadap anak sebagai bentuk kejahatan atau
tidak. Pelecehan seksual terhadap anak sendiri masih cenderung disempitkan
artinya, terbatas pada bentuk kontak seksual dengan menafikan bentuk pelecehan
nonkontak seksual, seperti exhibitionism dan pornografi. Ada tidaknya unsur paksaan sebenarnya tidak
signifikan dalam kasus kejahatan seksual terhadap anak karena adanya
kesenjangan pemahaman tentang seks antara orang dewasa dan anak-anak. Bentuk
manipulasi genital yang dilakukan anak-anak, meski mengakibatkan orgasme, tidak
bisa serta-merta disamakan dengan bentuk masturbasi yang dilakukan orang
dewasa. Keluguan dan rasa ingin tahu yang kuat terhadap kehidupan seksualitas
yang menjadi ciri khas anak-anak inilah yang dimanfaatkan pelaku pedofilia
(pedophile) untuk menjerat korbannya. Karena itu, dalam kasus pedofilia,
penekanannya lebih pada bentuk eksploitasi dan manipulasi yang muncul sebagai
akibat ketidakseimbangan power (imbalance of power) antara pelaku dan anak-anak
yang menjadi korbannya.[3]
Sebagai bentuk kejahatan, pedofilia
memiliki beberapa karakteristik yang khas yang membedakannya dengan kejahatan
seksual lannya terhadap anak hal ini diungkapkan oleh Ron O’Grady yaitu[4]:
a) Pedofilia
bersifat obsesif, dimana perilaku menyimpang ini menguasai hampir semua aspek
kehidupan pelakunya, dari pekerjaan, hobi, bacaan, pakaian, bahkan sampai
desain rumah dan perabotannya.
b) Pedofilia
bersifat predatori, dalam arti pelakunya akan berupaya sekuat tenaga dengan
beragam upaya dan cara untuk memburu korban yang diinginkannya. Lamanya usaha
untuk mendapatkan korban tidak sekedar dalam hitungan hari, minggu, atau bulan.
Pelaku bisa melakukan pendekatan pada anak dan orang tuanya selama
bertahun-tahun sebelum dia melakukan kejahatannya.
c) Kemudian
kaum pedofilia cenderung menyimpan dokumentasi korbannya dengan rapi, seperti
foro, video, catatan, atau rekaman percakapan dengan korban.
Pedofila sendiri mempunyai beberapa
jaringan Internasional dan yang pernah di bongkar seperti Orchid Club tahun
1998 dan Wonderland Club tahun 2001 keduanya berbasis di amerika. Terbukti para
pedofilia secara intensif melakukan diskusi dan studi perbandingan hukum
perlindungan anak dan penegakannya di berbagai Negara.[5]
Di Indonesia kasus pelecehan seksual
terhadap anak-anak di bawah umur sering terjadi, salah satu kasus yang paling
menghebohkan adalah kasus Robot Gedek yang terbukti melakukan sodomi terhadap
anak-anak di bawah umur. Indonesia
menjadi salah satu tempat favorit bagi kaum pedofilia terutama bali karena
merupakan tempat pariwisata yang sangat terkenal sehingga banyak kaum pedofilia
dari luar yang berdatangan.
[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Pedofilia,
Di akses pada 13 Mei 2007
[3] Muhrisun
Afandi,, artikel: Pedofilia, Belajar dari Kasus Mantan Diplomat,
[5] Op Cit