Hukum yang ada di Indonesia (minus
hukum adat) sebagian besar masih didominasi oleh hukum peninggalan kolonial
Belanda melalui produk-produknya yang sekarang masih berlaku dengan berbagai
modifikasi, dilengkapi dengan undang-undang baru untuk mengatur bidang yang
baru muncul kemudian. Tidak dapat disangkal bahwa pada masa kolonial,
hukum tidak digunakan dalam fungsinya yang positif, dalam pengertian tidak
digunakan untuk tujuan hukum itu sendiri yaitu memberi keadilan tetapi lebih tepat disebut sebagai alat penjajah untuk
memperkuat posisinya dan mendapatkan legitimasi dalam menghukum para pejuang
kemerdekaan.
Hukum menjadi sub sistem dari sistem
penjajahan sehingga hukum tidak mempunyai otonomi. Hukum dalam tahap ini
menurut pandangan Nonet dan Selznick masih berada dalam tahap hukum
represif atau jika dipandang dari teorinya Roscou Pound hukum dipandang
sebagai alat penguasa (baik dalam fungsinya sebagai social control
maupun as a tool as social engineering) yang bertujuan untuk
mengkooptasi rakyat Indonesia agar tidak melakukan tindakan yang merugikan
penjajah.
Pandangan hukum
dari penjajah adalah pandangan hukum Austin yang imperatif.
Kehidupan hukum yang demikian oleh Rudolf von Jhering dipandang terlalu
sibuk dengan konsep-konsep sehingga ilmu hukum untuk kepentingan sosial sehingga
hukum menjadi mandul apabila dipisahkan dari lingkungannya.
Austin
berpendapat hukum merupakan suatu proses sosial untuk mendamaikan
perselisihan-perselisihan dan menjamin adanya ketertiban dalam
masyarakat. Tugas ilmu pengetahuan hukum adalah untuk mempelajari dan
berusaha untuk menjelaskan sifat hakekat dari hukum, perkembangan hukum serta
hubungan hukum dengan masyarakat. Ilmu hukum (science of jurisprudence) mengani hukum
positif atau laws strictly so called tidak memperhatikan apa hukum itu baik
atau tidak. Semua hukum positif berasal dari satu pembuat undang-undang
yang terang, tertentu dan berdaulat (soverign)
Ketertiban bagi penjajah merupakan hal yang sangat penting. Hal ini
berkaitan dengan kegiatan bisnis mereka agar tidak terganggu dan uang hasil
penjualan rempah-rempah dan cengkeh tidak dihamburkan untuk biaya perang
sehingga keuntungan yang diperoleh bisa diangkut ke Belanda.
Bangsa Indonesia sebagai negara
terjajah atau sebagai negara pinggiran tidak memiliki peran yang berarti dalam
kehidupan hukum. Peran pinggiran bangsa Indonesia antara lain dapat
dilihat dalam diskusi dan debat mengenai perlakuan terhadap hukum adat.
Bangsa Indonesia sama sekali tidak diberi kesempatan untuk berbicara mengenai
suatu permasalahan besar yang menyangkut dirinya dan hanya menjadi penonton dan
obyek kontrol oleh hukum. Sebagai negara pinggiran maka segala
keputusan dan siasat ditentukan dari Den Haag.
Sesudah Indonesia merdeka, hukum
masih juga dipandang sebagai alat penguasa, ini terbukti dengan adanya UU No.
19/1964 yang menentukan bahwa hukum merupakan alat revolusi pancasila menuju
masyarakat sosialis Indonesia. Sekali lagi ini menjadi bukti bahwa
kekuasaan yudikatif tidak berdaya menghadapi kekuatan eksekutif sehingga
mekanisme check and balance tidak berjalan, Perubahan dari negara
pinggiran ke negara sebagai pelaku penuh dalam kehidupan hukum tidak
dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh bangsa Indonesia malahan mewarisi sikap
kolonial yang tidak memajukan hukum sebagai instrumen membangun bangsa.
Memasuki orde baru Indonesia mulai
melakukan industrialisasi. Pemanfaatan tenaga manusia mulai
ditinggalkan dan diganti dengan mesin-mesin modern. Modernisasi dalam
indutrialisasi membawa dampak yang tidak sedikit pada masyarakat. Jika
modernisasi dipandang sebagai transisi menuju masyarakata modern, waktu dan
pentahapan modernisasi seringkali dilalaikan. Bukti historis dan
komparatif jelas mengungkap bahwa modernisasi tidak dapat berlangsung dua kali
melalui cara yang sama. Variasi waktu dan pentahapan dapat dipengaruhi
misalnya oleh inisiatif dan perencanaan pemerintah, oleh persaingan dan
peniruan, oleh difusi kebudayaan dan ideologi.
Sebenarnya
hukum Indonesia perkembangannya sudah menuju pada hukum yang modern, ditandai
dengan diterimanya hukum sebagai alat rekayasa sosial, sebagai sarana kebijakan
negara. Diterimanya hukum sebagai sarana rekayasa sosial memperkuat
pemahaman bahwa hukum adalah buatan manusia, sebagai keputusan politik hukum
sangat diwarnai oleh tujuan-tujuan, kepentingan-kepentingan dan selektivitas
serta dipengaruhi oleh konteks seperti kondisi-kondisi sosial, ekonomi,
politik, budaya, hukum dan hankam serta struktur-struktur yang ada.
Dalam bidang
ilmu pengetahuan hukum, pemerintah orde baru tidak peduli dengan hal ini.
Pemerintah terlalu sibuk dengan memanfaatkan hukum untuk kepentingannya.
Justru yang dikembangkan adalah usaha mengganti produk undang-undang
peninggalan kolonial tetapi subtansi dari peraturan itu kadang-kadang tidak
sesuai dengan apa yang ada di Indonesia. Sebagai parameternya adalah
berapa undang-undang atau peraturan kolonial yang telah diganti.