Jumat, 18 Mei 2012

Nuansa Kolonial Dalam Negara Nasional


Hukum yang ada di Indonesia (minus hukum adat) sebagian besar masih didominasi oleh hukum peninggalan kolonial Belanda melalui produk-produknya yang sekarang masih berlaku dengan berbagai modifikasi, dilengkapi dengan undang-undang baru untuk mengatur bidang yang baru muncul kemudian.  Tidak dapat disangkal bahwa pada masa kolonial, hukum tidak digunakan dalam fungsinya yang positif, dalam pengertian tidak digunakan untuk tujuan hukum itu sendiri yaitu memberi keadilan tetapi lebih tepat disebut sebagai alat penjajah untuk memperkuat posisinya dan mendapatkan legitimasi dalam menghukum para pejuang kemerdekaan.
Hukum menjadi sub sistem dari sistem penjajahan sehingga hukum tidak mempunyai otonomi.  Hukum dalam tahap ini menurut pandangan Nonet dan Selznick masih berada dalam tahap hukum represif atau jika dipandang dari teorinya Roscou Pound hukum dipandang sebagai alat penguasa (baik dalam fungsinya sebagai social control maupun as a tool as social engineering) yang bertujuan untuk mengkooptasi rakyat Indonesia agar tidak melakukan tindakan yang merugikan penjajah.
Pandangan hukum dari penjajah adalah pandangan hukum Austin yang imperatif.  Kehidupan hukum yang demikian oleh Rudolf von Jhering dipandang terlalu sibuk dengan konsep-konsep sehingga ilmu hukum untuk kepentingan sosial sehingga hukum menjadi mandul apabila dipisahkan dari lingkungannya. 
Austin berpendapat hukum merupakan suatu proses sosial untuk mendamaikan perselisihan-perselisihan dan menjamin adanya ketertiban dalam masyarakat.  Tugas ilmu pengetahuan hukum adalah untuk mempelajari dan berusaha untuk menjelaskan sifat hakekat dari hukum, perkembangan hukum serta hubungan hukum dengan masyarakat.  Ilmu hukum (science of jurisprudence) mengani hukum positif atau laws strictly so called tidak memperhatikan apa hukum itu baik atau tidak.  Semua hukum positif berasal dari satu pembuat undang-undang yang terang, tertentu dan berdaulat (soverign)  Ketertiban bagi penjajah merupakan hal yang sangat penting.  Hal ini berkaitan dengan kegiatan bisnis mereka agar tidak terganggu dan uang hasil penjualan rempah-rempah dan cengkeh tidak dihamburkan untuk biaya perang sehingga keuntungan yang diperoleh bisa diangkut ke Belanda.
Bangsa Indonesia sebagai negara terjajah atau sebagai negara pinggiran tidak memiliki peran yang berarti dalam kehidupan hukum.  Peran pinggiran bangsa Indonesia antara lain dapat dilihat dalam diskusi dan debat mengenai perlakuan terhadap hukum adat.  Bangsa Indonesia sama sekali tidak diberi kesempatan untuk berbicara mengenai suatu permasalahan besar yang menyangkut dirinya dan hanya menjadi penonton dan obyek kontrol oleh hukum.  Sebagai negara pinggiran maka segala keputusan dan siasat ditentukan dari Den Haag.
Sesudah Indonesia merdeka, hukum masih juga dipandang sebagai alat penguasa, ini terbukti dengan adanya UU No. 19/1964 yang menentukan bahwa hukum merupakan alat revolusi pancasila menuju masyarakat sosialis Indonesia.  Sekali lagi ini menjadi bukti bahwa kekuasaan yudikatif tidak berdaya menghadapi kekuatan eksekutif sehingga mekanisme check and balance tidak berjalan,  Perubahan dari negara pinggiran ke negara sebagai pelaku penuh dalam kehidupan hukum tidak dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh bangsa Indonesia malahan mewarisi sikap kolonial yang tidak memajukan hukum sebagai instrumen membangun bangsa.
Memasuki orde baru Indonesia mulai melakukan industrialisasi.  Pemanfaatan tenaga manusia mulai ditinggalkan dan diganti dengan mesin-mesin modern.  Modernisasi dalam indutrialisasi membawa dampak yang tidak sedikit pada masyarakat.  Jika modernisasi dipandang sebagai transisi menuju masyarakata modern, waktu dan pentahapan modernisasi seringkali dilalaikan.  Bukti historis dan komparatif jelas mengungkap bahwa modernisasi tidak dapat berlangsung dua kali melalui cara yang sama.  Variasi waktu dan pentahapan dapat dipengaruhi misalnya oleh inisiatif dan perencanaan pemerintah, oleh persaingan dan peniruan, oleh difusi kebudayaan dan ideologi.
Sebenarnya hukum Indonesia perkembangannya sudah menuju pada hukum yang modern, ditandai dengan diterimanya hukum sebagai alat rekayasa sosial, sebagai sarana kebijakan negara.  Diterimanya hukum sebagai sarana rekayasa sosial memperkuat pemahaman bahwa hukum adalah buatan manusia, sebagai keputusan politik hukum sangat diwarnai oleh tujuan-tujuan, kepentingan-kepentingan dan selektivitas serta dipengaruhi oleh konteks seperti kondisi-kondisi sosial, ekonomi, politik, budaya, hukum dan hankam serta struktur-struktur yang ada.
Dalam bidang ilmu pengetahuan hukum, pemerintah orde baru tidak peduli dengan hal ini.  Pemerintah terlalu sibuk dengan memanfaatkan hukum untuk kepentingannya.  Justru yang dikembangkan adalah usaha mengganti produk undang-undang peninggalan kolonial tetapi subtansi dari peraturan itu kadang-kadang tidak sesuai dengan apa yang ada di Indonesia.  Sebagai parameternya adalah berapa undang-undang atau peraturan kolonial yang telah diganti.


Artikel Terkait..:

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar