Dalam teori hukum perburuhan
terdapat dua jenis hukum perburuhan yaitu hokum perburuhan otonom dan hukum
perburuhan heteronom. Pembedaan dua jenis hukum perburuhan ini lebih
dikarenakan adanya periodisasi hukum perburuhan yang mengakibatkan perubahan
dan pergeseran status hukum perburuhan dalam cabang ilmu hukum.
Oleh Van Der Ven (Van Der Ven
dalam Soeharnoko 1976:8) periodisasi hokum perburuhan ini dibagi menjadi tiga periode.
Dalam periode pertama yang menjadi awal mula diakuinya hukum perburuhan adalah
periode hukum perburuhan kuno. Periode ini digambarkan sebagai sebuah tahapan
di mana hubungan kerja antara majikan dan buruh dianggap sebagai hubungan yang
bersifat privat dengan posisi buruh yang sangat lemah. Buruh diposisikan
sebagai rechts object bukan sebagai rechts subject. Dengan kata lain buruh
hanya menjadi benda atau modal hidup
Hubungan kerja yang bersifat
privat adalah segala hal yang terkait dengan kesepakatan kerja antara majikan
dan buruh diserahkan oleh kedua belah pihak. Artinya adalah ketentuan yang
mengatur hubungan kerja didasarkan oleh kesepakatan majikan dan buruh tanpa ada
campur tangan dari pihak ketiga atau ketentuan lainnya. Keadaan ini menempatkan
hukum perburuhan sebagai bagian dari hukum privat. Pada prakteknya hubungan
kerja dengan sifat yang sangat individual ini sangat didominasi oleh majikan
sebagai pihak yang memiliki kekuatan baik dari aspek modal maupun kekuasaan.
Pada tahap ini terdapat
kecenderungan para majikan menempatkan buruh sebagai pihak yang lemah bahkan
dalam tataran yang ekstrim banyak terdapat praktek perbudakan semu
(pseudo-slavery) dengan mengatasnamakan hubungan kerja. Posisi pemerintah
sebagai penguasa bukan sebagai pihak yang ikut campur tangan dalam rangka
menjaga keselarasan atau keharmonisan hubungan kerja antara majikan dan buruh.
Pemerintah hanya memiliki kepentingan bahwa hubungan kerja yang timbul akibat
perjanjian kerja tersebut tidak mengganggu ketertiban umum. Tidak menjadi
persoalan apakah hubungan kerja itu merugikan atau menguntungkan salah satu
pihak atau kedua belah pihak. Hal ini mengingatkan kita pada konsep “negara
penjaga malam” yang hanya memiliki kepentingan untuk menjaga ketertiban semata
tanpa memperhatikan aspek lain dari kehidupan masyarakatnya.
Periode ini sangat didominasi
oleh usaha dari sektor pertanian sebagai sector yang sangat dominan dalam
menentukan kemajuan sebuah Negara atau wilayah. Periode kedua adalah periode
hukum perburuhan modern yang merupakan kelanjutan dari periode hukum perburuhan
kuno yang ditandai dengan revolusi industri yang muncul di Inggris beberapa
saat setelah ditemukannya teknologi revolusioner saat itu, mesin uap.
Revolusi industri memunculkan
berbagai perusahaan manufaktur yang menyerap tenaga kerja begitu banyak dan
terkonsentrasi di daerah perkotaan. Begitu banyaknya perusahaan yang menyerap
tenaga kerja sehingga menimbulkan solidaritas kaum pekerja sebagai lapisan yang
memiliki nasib dan perjuangan yang sama. Maka karakter “komunal” pada periode
ini sangat menonjol. Karena bersifat komunal inilah maka hubungan kerja antara
buruh dan majikan semakin kompleks dan tidak mungkin secara mandiri diserahkan
kepada para pelaku dalam dunia hubungan kerja (majikan dan buruh) untuk membuat
ketentuan yang melibatkan begitu banyak pekerja. Alasan utamanya adalah dengan
semakin kompleksnya hubungan kerja maka jika pengaturan diserahkan seluruhnya
kepada pihak terkait akan menimbulkan banyak persoalan. Banyaknya jumlah
pekerja dan karakternya yang komunal mau tidak mau telah membentuk konfigurasi
tertentu yang mengakibatkan bertambah kuatnya posisi pekerja dalam membuat
perjanjian kerja yang,walaupun tidak murni, sering disebut contractvrijheid
(Soeharnoko 1976:19) dengan hubungan kerja.
Hubungan kerja antara majikan dan pekerja yang
sudah mulai kuat akan berpotensi untuk memunculkan konflik akibat dari gesekan
kepentingan dari masing-masing pihak. Gesekan kepentingan ini jika dibiarkan
diselesaikan oleh masing-masing pihak maka akan sangat sulit penyelesaiannya
bahkan ada kecenderungan akan memperbesar konlfik yang sudah ada. Pendek kata dibutuhkan
pihak yang memiliki kekuasaan penuh yang dipatuhi oleh pihak terkait rangka
menjaga keselarasan hubungan kerja. Pihak tersebut adalah pemerintah. Periode
ini ditandai juga dengan adanya campur tangan pemerintah secara pasif dalam
mengurus masalah hubungan kerja. Artinya pemerintah sudah mulai membuat
berbagai aturan yang terkait dengan hubungan kerja. Hanya saja, dalam
implementasinya tetap diserahkan oleh pihak yang bersangkutan langsung dengan
masalah hubungan kerja. Dengan demikian peran dalam pelaksanaan tetap ada pada
buruh dan majikan. Dalam periode ini hukum perburuhan masuk dalam cabang hukum
administrasi Negara.
Dengan demikian pada periode ini
terdapat dua jenis sumber hukum perburuhan yaitu hukum perburuhan yang berasal
dari pemerintah yaitu segala ketentuanyang dibuat oleh pemerintah yang mengatur
masalah hubungan kerja yang sering dikenal dengan hukum perburuhan heteronom.
Dan hukum perburuhan yang berasal dari para pelaku hubungan kerja melalui
perjanjian kerja yang sering dikenal dengan hukum perburuhan otonom.
Periode yang ketiga adalah
periode hukum perburuhan idealistik. Periode ini merupakan dampak dari
perubahan filosofi pembentukan negara yang pada awalnya Negara dibentuk dalam
rangka menjaga ketertiban umum dan stabilitas keamanan bergeser dengan sebuah
filosofi bahwa negara dibentuk dalam rangka mensejahterakan rakyat (welfare
state).
Periode ini terjadi setelah
perang dunia kedua yang ditandai dengan bermunculan Negara-negara menyatakan
kemerdekaannya baik atas inisiatif sendiri maupun yang diberikan oleh negara
yang pernah menjajahnya. Dengan filosofi negara memiliki fungsi untuk
mensejahterakan rakyatnya, maka campur tangan negara dalam berbagai aspek
kehidupan rakyatnya menjadi konsekuensi logis atas adanya negara tersebut. Dikaitkan
dengan periodisasi hukum perburuhan maka dalam periode ini pemerintah turut
campur tangan secara aktif dalam arti dalam mengatur hubungan kerja pemerintah
membuat ketentuan sekaligus melaksanakan ketentuan tersebut.
Pada periode ini hukum perburuhan
menjadi cabang ilmu hukum yang berdiri sendiri. Periode ini hukum perburuhan
memiliki karakter yang khas yaitu bersumber dari ketentuan pemerintah (hukum
perburuhan heteronom) dan yang dibuat oleh pelaku hubungan kerja (hukum
perburuhan otonom).
Hukum perburuhan heteronom dan
otonom Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, pemerintah atau penguasa yang
ikut campur tangan dalam hubungan kerja telah memunculkan dua jenis hukum
perburuhan yaitu hukum perburuhan heteronom yang dibuat langsung oleh
pemerintah yang berbentuk peraturan perundang-undangan perburuhan baik yang
berbentuk undang-undang, peraturan pemerintah dan berbagai aturan teknis
lainnya dan hukum perburuhan otonom yang dibuat oleh buruh dan majikan yang
biasanya berbentuk perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama dan peraturan
perusahaan. Persoalan yang kemudian timbul adalah bagaimana posisi antara hokum
perburuhan heteronom dan hukum perburuhan otonom? Lebih tinggi manakah hukum
perburuhan heteronom dengan hukum perburuhan otonom? Hukum perburuhan yang
manakah yang wajib ditaati lebih dahulu? Untuk menjawab berbagai persoalan itu
maka perlu dijelaskan tentang posisi danfungsi dari hukum perburuhan heteronom
dan hukum perburuhan otonom terlebih dahulu.
Pada dasarnya hukum perburuhan
heteronom dibuat dalam rangka memberikanpengaturan dasar atas segala hal yang
terkait dengan obyek pengaturan tersebut yang wajib ditaati oleh semua pihak.
Ketentuan ini pada dasarnya menjadi pedoman utama dalam rangka membuat hukum
perburuhan otonom yang dilakukan oleh buruh dan majikan.
Maksud pemerintah membentuk hukum
perburuhan heteronom ini agar para pelaku hubungan kerja yang jumlahnya sangat
banyak ini tidak membuat ketentuan yang berpotensi menimbulkan konflik
sekaligus dapat dijadikan sebagai alat ukur utama dalam meverifikasi apakah
hukum perburuhan otonom yang dibuat sudah seuai dengan standar normatif atau
tidak. Standar normatif ini tidak dimaksudkan agar setiap pelaku hubungan kerja
dalam membuat hukum perburuhan otonom harus selalu sama persis dengan hokum perburuhan
heteronom walaupun juga tidak boleh dibawah norma dari hokum yang bersangkutan.
Artinya hukum perburuhan
heteronom menjadi standar minimal yang harus dipatuhi dalam membuat hukum
perburuhan otonom. Bahkan sesungguhnya pembuatan hukum perburuhan otonom
menjadi “tidak perlu” apabila isinya sama dengan hukum heteronom, karena
sesungguhnya akan terjadi duplikasi yang tidak perlu antara hukum perburuhan
otonom dan hukum perburuhan heteronom. Dengan posisinya yang di bawah hukum
perburuhan heteronom maka hokum perburuhan otonom tidak boleh bertentangan
dengan hukum perburuhan heteronom dan dianggap tidak berlaku sehingga yang
berlaku adalah ketentuan yang dikemas dalam hukum perburuhan heteronom. Sebaliknya,
hukum perburuhan otonom baru berlaku manakala isi dari ketentuan itu diatas
atau minimal dengan norma hukum perburuhan heteronom. Artinya, isi hukum
perburuhan otonom memiliki kualitas di atas hukum perburuhan heteronom. Apabila
dibuat tata urutan ketentuan perburuhan yang mengkombinasikan hokum perburuhan
heteronom dan hukum perburuhan otonom maka akan didapat komposisi sebagai
berikut:
1.
Hukum perburuhan heteronom sesuai dengan tata urutan peraturan perundang-undangan.
2.
Hukum perburuhan otonom dengan tata urutan sebagai berikut:
a.
Perjanjian Kerja Bersama
b.
Perjanjian kerja
c.
Peraturan Perusahaan
Komposisi tersebut di atas dapat
diterangkan bahwa kualitas peraturan perusahaan tidak boleh lebih rendah
daripada kualitas perjanjian kerja. Kualitas perjanjian kerja tidak boleh lebih
rendah dari pada kualitas perjanjian kerja bersama dan kualitas perjnajian
kerja bersama tidak boleh lebih rendah dari pada kualitas hukum perburuhan
heteronom. Dengan demikian hukum perburuhan otonom baru berlaku manakala
kualitasnya lebih tinggi atau minimal sama dengan dengan kualitas hukum
perburuhan heteronom. Dengan demikian pula apabila kualitas hukum perburuhan
otonom lebih rendah dari hukum perburuhan heteronom maka secara otomatis hokum perburuhan
otonom tersebut telah bertentangan dengan hukum perburuhan heteronom dan
dianggap tidak berlaku.
Sekilas memang persoalan posisi
hukum perburuhan heteronom dan hokum perburuhan otonom tidak terlalu
dipersoalkan. Namun masalah ini akan muncul ketika terjadi perselisihan antara
pekerja atau serikat pekerja dengan perusahaan yang menyangkut tentang isi dari
hukum perburuhan otonom. Pada kasus perjanjian kerja bersama, misalnya,
semestinya tidak perlu dipermasalahkan prioritas pemberlakuan peraturan
perundang-undangan atau perjanjian kerja bersama karena kedua-duanya bisa
berlaku secara bersama-sama Artinya adalah peraturan perundang-undangan harus
dijadikan dasar untuk melaksanakan hubungan kerja ketika isi perjanjian kerja
bersama tertentu kualitasnya di bawah peraturan perundang-undangan
(bertentangan) namun perjanjian kerja bersama tertentu akan menjadi prioritas
untuk diberlakukan manakala kualitas isi dari perjanjian kerja bersama tersebut
di atas peraturan perundang-undangan (kualitas dan isinya lebih tinggi) atau
atau isinya sama dengan peraturan perundang-undangan (kualitas dan isinya sama)
Dengan demikian fungsi dari hukum perburuhan otonom selain mengisi kekosongan
hukum yang belum dibuat oleh hukum perburuhan heteronom, juga memiliki fungsi
sebagai pranata untuk meningkatkan kualitas hubungan kerjaantara perusahaan dan
pekerja.
Kesimpulan
Pada dasarnya hukum perburuhan heteronom
dibentuk dalam rangka menetapkan standar normatif yang dijadikan sebagai
pedoman minimal bagi hukum perburuhan otonom agar dibuat dengan kualitas
minimal seperti kualitas hukum perburuhan heteronom.
Apabila hukum perburuhan otonom
dibuat dengan kualitas lebih tinggi dari pada hukum perburuhan heteronom maka
yang berlaku adalah hukum perburuhan otonom. Doktrin ini didasarkan atas pemikiran bahwa fungsi dari hokum perburuhan
otonom selain mengisi kekosongan hukum yang belum dibuat oleh hukum perburuhan
heteronom juga memiliki fungsi sebagai pranata untuk meningkatkan kualitas
hubungan kerja antara perusahaan dan pekerja.
Artikel Terkait..:
hukum
- Jenis - Jenis Perlindungan Kerja (Hukum Perdata)
- Bentuk - Bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga
- Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
- POKOK-POKOK UPAYA HUKUM PERDATA
- Pengertian Monopoli dan Persaingan Curang
- Ruang Lingkup Hukum Antimonopoli
- Tinjauan Yuridis tentang Tenaga Kerja
- Delik (Tindak Pidana) Phedofilia
- Akibat-akibat yang Timbul Dari Perjanjian Pengangkutan Barang Melalui Kapal Laut
- Terjadinya Perjanjian Pengangkutan Barang Melalui Kapal Laut
- Hukum dan Perubahan Sosial
- Pengertian Perjanjian dan Perjanjian Kredit
- Asas-Asas Dalam Perjanjian
- Dasar - Dasar Pidana dan Pemidanaan
- Anak dan Defenisinya dalam Hukum Pidana
- Delik (Tindak Pidana) Pencurian
- Unsur-Unsur Delik (Tindak Pidana)
- Pengertian Delik (tindak pidana)
- Hukum Perburuhan dan Perkembangan Masyarakat
- PEMAHAMAN DASAR TENTANG HUKUM DAN HUKUM PERBURUHAN
- Masyarakat Madani dan HAM
- Bahasa Hukum Indonesia dan Permasalahannya
- PENGERTIAN BERBAGAI TERMINOLOGI HUKUM
- STRUKTUR DAN ANATOMI AKTA KONTRAK.
- PROSES PENYELESAIAN PERKARA DI PERADILAN MILITER
hadir pagi di sini kawan :)
BalasHapusfollback sukses, salam kenal
ok thans kawan
BalasHapus