Asas
legalitas yang dikenal dalam hukum pidana modern muncul dari lingkup sosiologis
Abad Pencerahan yang mengagungkan doktrin perlindungan rakyat dari perlakuan
sewenang-wenang kekuasaan. Sebelum datang Abad Pencerahan, kekuasaan dapat
menghukum orang meski tanpa ada peraturan terlebih dulu. Saat itu, selera
kekuasaanlah yang paling berhak menentukan apakah perbuatan dapat dihukum atau
tidak. Untuk menangkalnya, hadirlah asas legalitas yang merupakan instrumen
penting perlindungan kemerdekaan individu saat berhadapan dengan negara. Dengan
demikian, apa yang disebut dengan perbuatan yang dapat dihukum menjadi otoritas
peraturan, bukan kekuasaan.
Menurut para ahli hukum, akar gagasan asas legalitas berasal
dari ketentuan Pasal 39 Magna Charta (1215) di Inggris yang menjamin adanya
perlindungan rakyat dari penangkapan, penahanan, penyitaan, pembuangan, dan
dikeluarkannya seseorang dari perlindungan hukum/undang-undang, kecuali ada
putusan peradilan yang sah. Ketentuan ini diikuti Habeas Corpus Act (1679) di
Inggris yang mengharuskan seseorang yang ditangkap diperiksa dalam waktu
singkat. Gagasan ini mengilhami munculnya salah satu ketentuan dalam
Declaration of Independence (1776) di Amerika Serikat yang menyebutkan, tiada
seorang pun boleh dituntut atau ditangkap selain dengan, dan karena tindakan-tindakan
yang diatur dalam, peraturan perundang-undangan.
Salah satu keberhasilan kekuasaan Napoleon Bonaparte adalah dia berhasil mengokupasi beberapa wilayah Eropa di
sekitar Perancis, termasuk Nederland. Napoleon menjadikan Nederland sebagai
daerah persemakmuran Perancis dengan nama Republik Bataaf. Republik ini
diserahkan kepada adik Napoleon (Napoleon III).
Konsekuensi logis dari okupasi ini adalah Nederland harus
mengikuti ketentuan hukum yang berlaku di Perancis, termasuk Code Penal
Perancis. Ketika penjajahan Perancis di Nederland sudah berakhir, Belanda
mengadopsi ketentuan asas legalitas dalam Pasal 1 Wetboek van Stafrecht
Nederland 1881. Karena berlakunya asas konkordansi anatara Nederland dan Hindia
Belanda, maka masuklah ketentuan asas legalitas dalam Pasal 1 Wetboek van Stafrecht
Hindia Belanda 1918. Selanjutnya
asas umum dalam semua hukum menyatakan bahwa undang-undang hanya mengikat apa
yang terjadi dan tidak mempunyai kekuatan surut. Hal ini sesuai dengan
ketentuan Pasal 6 Algemene Bepalingen van wetgeving voor Nederlands Indie (AB)
Staatsblad 1847 Nomor 23. Ketentuan yang bisa menyatakan suatu
undang-undang/aturan berlaku surut hanyalah ketentuan yang secara hirarki
tingkatannya lebih tinggi dari undang-undang itu sendiri (undang-undang
dasar/konstitusi).
Artinya suatu undang-undang tidak bisa menyimpangi ketentuan
non retroaktif, apabila konstitusi tidak memberikan kewenangan untuk
penyimpangan itu. Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, Indonesia mengalami
perubahan hukum, dari hukum kolonial berubah menjadi hukum nasional. Perubahan
ini juga ditandai dengan diundangkannya Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 pada 18 Agustus 1945, yang selanjutnya akan dijadikan
pijakan dalam penyusunan undang-undang di bawahnya.
Selain akan dibentuk aturan-atauran hukum baru, dalam
undang-undang dasar ini juga berlaku ketentuan peralihan, Pasal II Aturan
Peralihan UUD 1945 (sebelum amandemen) menyatakan, “Segala badan negara dan
peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru
menurut Undang-Undang Dasar ini.” Ini berarti peraturan perundang-undangan yang
ada pada masa kolonial masih akan tetap berlaku, sebelum dikeluarnya ketentuan
baru menurut UUD 1945. Termasuk di dalamnya ketentuan Pasal 1 KUHPidana
(Wetboek van Stafrecht), yang menegaskan berlakuanya asas legalitas dan non
retroaktif.
Mengapa ketentuan ini kemudian perlu dibicarakan? Sebab
aturan-aturan yang ada dalam Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum amandeman),
tidak ada satu pasal pun yang menyatakan secara tegas dan eksplisit tentang
berlakunya asas legalitas dan non retroaktif. Berarti, secara teoritis UUD 1945
(sebelum amandemen) memberi kesempatan untuk melakukan penyimpangan terhadap
ketentuan asas legalitas, karena tidak ada pasal-pasalnya yang merumuskan ketentuan
asas legalitas.
Sesaat setelah pembubaran Republik Indonesia Serikat (RIS)
pada 17 Agustus 1950, Indonesia menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara 1950,
sebagai pengganti Konstitusi RIS, dan menunggu disusunnya undang-undang dasar
baru. Dalam ketentuan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 dicantumkan ketentuan
berlakunya asas legalitas, ketentuan ini terdapat dalam Pasal 14 ayat (2) yang
berbunyi, “Tidak seorang juapun boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi
hukuman, kecuali karena suatu aturan hukum yang sudah ada dan berlaku
terhadapnya.” Kemudian untuk melindungi ketentuan hukum pidana adat, yang tidak tertulis, agar tetap berlaku, serta menjunjung
tinggi ketentuan asas legalitas, maka dikeluarkan ketentuan dalam Pasal 5 ayat
(3b) Undang-Undang Darurat No. 1 Tahun 1951, yang berbunyi: ”Hukum materiil sipil dan untuk
sementara waktu pun hukum materiil pidana sipil yang sampai kini berlaku untuk
kaula-kaula daerah Swapraja dan orang-orang yang dahulu diadili oleh Pengadilan
Adat, ada tetap berlaku untuk kaula-kaula dan orang itu, dengan pengertian :
bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan
pidana, akan tetapi tiada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka
dianggap diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara
dan/atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana
hukuman adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak terhukum dan penggantian
yang dimaksud dianggap sepadan oleh hakim dengan besar kesalahan yang terhukum,
bahwa, bilamana hukuman adat yang dijatuhkan itu menurut fikiran hakim
melampaui padanya dengan hukuman kurungan atau denda yang dimaksud di atas,
maka atas kesalahan terdakwa dapat dikenakan hukumannya pengganti setinggi 10
tahun penjara, dengan pengertian bahwa hukuman adat yang menurut faham hakim
tidak selaras lagi dengan zaman senantiasa mesti diganti seperti tersebut di
atas, dan bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap
perbuatan pidana dan yang ada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang sama
dengan hukuman bandingnya yang paling mirip kepada perbuatan pidana itu.”
Pada perjalanan selanjutnya ternyata Indonesia tidak mampu
membentuk undang-undang dasar baru. Dewan Konstituante hasil Pemilu 1955, yang
diberi tugas menyusun undang-undang dasar baru tidak mampu menyelesaikan
tugasnya secara cepat, sebagai akibat dari pertentangan kepentingan
partai-partai, yang tidak pernah menemukan titik temu. Akhirnya pada tanggal 5
Juli 1959, Presiden Sukarno, melalui Dekrit Presiden menyatakan pembubaran
Dewan Konstituante, penggunaan kembali Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak
berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Namun ketentuan dalam Pasal 5
ayat (3b) Undang-undang Darurat No. 1 Tahun 1951, dinyatakan tetap berlaku,
walaupun ketentuan UUDS 1950 sudah tidak berlaku lagi.
Seiring dengan berlakunya kembali UUD 1945 (asli), maka
berarti pula ketentuan yang mengatur tentang berlakunya asas legalitas dalam
hukum Indonesia tidak ada lagi. Meskipun pada kenyataannya ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berada di bawah Undang-Undang Dasar 1945, tidak ada
yang menyimpangi ketentuan asas legalitas dan non retroaktif. Hal ini
dikarenakan UUD 1945 tidak secara tegas juga menyebutkan adanya ketentuan yang
memperbolehkan penyimpangan terhadap asas legalitas dan non retroaktif.
Masa Orde Lama di bawah rezim Sukarno, banyak menawarkan
konsep-konsep baru di luar UUD 1945, seperti halnya MANIPOL USDEK, NASAKOM, dan
beberapa gagasan baru, yang boleh dikatakan menyimpang dari ketentuan
undang-undang dasar. Pada akhirnya kekuasaan Sukarno tumbang, dan digantikan
oleh rezim Orde Baru pimpinan Suharto, belajar dari pengalaman masa sebelumnya
yang banyak melakukan penyimpangan terhadap konstitusi, maka tema besar
pemerintahan Orde Baru adalah menjalankan Pancasila dan UUD 1945 secara murni
dan konsekuen. Akan tetapi terminologi secara murni
dan konsekuen yang terlalu dipaksakan, akibatnya malah membuat undang-undang
dasar terkesan kaku, UUD 1945 dianggap sebagai sesuatu yang sakral dan tidak
boleh diganggu gugat. Perkembanganya UUD 1945 malah dijadikan dalih dalam
melegalkan tindakan represifitas penguasa yang sewenang-wenang. UUD 1945
dijadikan alat untuk memupuk kekuatan ekonomi bagi sekelompok masyarakat
tertentu. Model pembangunan rezim Suharto yang menganut ideologi
developmentalism mensyaratkan adanya stabilitas politik dan keamanan yang kuat
sebagai harga mati. Akibatnya memungkinakan rezim untuk mengabaikan hak-hak politik
rakyat dan Hak Asasi Manusia.
Di tingkat global, wacana globalisasi mulai diusung sejak
pertengahan 80-an. Konsekuensi dari kemenangan kelompok kanan baru (new right)
ini ialah, ditempatkannya isu demokratisasi pada bagian penting, dalam
pergerakan modal internasional. Secara khusus, sistem kapitalisme negara yang
dijalankan di Indonesia, tidak lagi efektif bagi perputaran modal. Kemudian
muncullah tuntutan bagi rezim untuk membuka diri terhadap desakan liberalisasi
politik dan ekonomi.
Di beberapa belahan negara Dunia Ketiga, inilah awal
dimulainya proyek redemokratisasi, yang ditandai oleh kejatuhan rezim-rezim
otoriter. Akhirnya, pada 21 Mei 1998 rezim neo-fasis militer Orde Baru runtuh.
Konsekuensi dari tumbangnya rezim Suharto adalah adanya upaya untuk mencapai
sistem politik yang mengarah pada demokrasi subtansial. Artinya bagaimana
kemudian sistem demokrasi yang selama ini kita anut bisa mencapai substansi
dari sistem demokrasi itu sendiri. Penyelenggaraan Pemilu 1999 menjadi proses
penting dalam upaya tersebut. Tidak ingin mengulangi pengalaman pahit dimasa
yang lampau, yaitu munculnya penguasa despotis, yang melegitimasi dirinya
dengan naskah-naskah suci konstitusi, segeralah muncul suara-suara untuk
melakukan amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Sidang amandemen pertama
berhasil diputuskan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat pada tanggal 19 Oktober
1999. Selanjutnya berlangsung hingga empat kali proses amandemen. Rapat
paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat guna memutuskan perubahan ke empat UUD
1945 berlangsung pada 10 Agustus 2002. Empat kali proses amandemen UUD 1945
membuat ketentuan pasal-pasal yang ada menjadi lebih rinci dan memberikan
kepastian hukum. Mengenai pencantuman asas legalitas dan prinsip non
retroaktif, untuk lebih menjamin adanya kepastian hukum bagi warga negara, UUD 1945 pascaamandemen kembali memasukkan ketentuan tersebut dalam
pasal-pasalnya. Ketentuan yang mengatur pengakuan terhadap asas legalitas dan
prinsip non retroaktif diatur dalam BAB XA Tentang Hak Asasi Manusia Pasal 28 I
ayat (1).
Dengan masuknya ketentuan ini dalam Undang-Undang Dasar
1945, berarti UUD 1945 tidak memberikan peluang lagi untuk melakukan
penyimpangan terhadap asas legalitas dan prinsip non retroaktif, karena sudah
dengan jelas tersurat dalam pasal tersebut menyatakan “, hak untuk diakui
sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum
yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun.” Kata-kata yang tidak dapat dikurangi dalam keadaaan apapun
memberikan penegasan bagi ketentuan pasal tersebut, bahwa konstitusi tidak lagi
memberikan peluang bagi berlakunya suatu aturan yang menganut prinsip berlaku
surut (retroaktif). Bambang
Purnomo mengatakan, untuk melakukan penyimpangan asas legalitas dan
memperlakukan suatu undang-undang berlaku surut harus dibuat suatu peraturan
khusus yang mengatur hal tersebut, dan undang-undang dasar membolehkan untuk
itu. Hal itu boleh dilakukan pun apabila keadaan kepentingan umum dibahayakan
dan hanya terhadap perbuatan-perbuatan yang menurut sifatnya membahayakan
kepentingan umum.
Artikel Terkait..:
hukum
- Jenis - Jenis Perlindungan Kerja (Hukum Perdata)
- Bentuk - Bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga
- Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
- POKOK-POKOK UPAYA HUKUM PERDATA
- Pengertian Monopoli dan Persaingan Curang
- Ruang Lingkup Hukum Antimonopoli
- Tinjauan Yuridis tentang Tenaga Kerja
- Delik (Tindak Pidana) Phedofilia
- Akibat-akibat yang Timbul Dari Perjanjian Pengangkutan Barang Melalui Kapal Laut
- Terjadinya Perjanjian Pengangkutan Barang Melalui Kapal Laut
- Hukum dan Perubahan Sosial
- Pengertian Perjanjian dan Perjanjian Kredit
- Asas-Asas Dalam Perjanjian
- Dasar - Dasar Pidana dan Pemidanaan
- Anak dan Defenisinya dalam Hukum Pidana
- Delik (Tindak Pidana) Pencurian
- Unsur-Unsur Delik (Tindak Pidana)
- Pengertian Delik (tindak pidana)
- Hukum Perburuhan dan Perkembangan Masyarakat
- PEMAHAMAN DASAR TENTANG HUKUM DAN HUKUM PERBURUHAN
- Masyarakat Madani dan HAM
- Bahasa Hukum Indonesia dan Permasalahannya
- PENGERTIAN BERBAGAI TERMINOLOGI HUKUM
- STRUKTUR DAN ANATOMI AKTA KONTRAK.
- PROSES PENYELESAIAN PERKARA DI PERADILAN MILITER
kalau ngomongin hukum masih ngerasa gak adil aja sama hukum yg ada di Indonesia..-____-
BalasHapussemoga nanti semakin baik lah hukum di negri ini..:)
salam EPICENTRUM
mampir jg ya..:)
hmmm... betul sob... semangat untuk para penegak hukum
BalasHapus