Sesuai dengan pokok
persoalannya, ragam bahasa Indonesia yang digunakan dalam bidang hukum disebut
bahasa hukum Indonesia. Manurut Mahadi (1983:215), bahasa hukum Indonesia
adalah bahasa Indonesia yang corak penggunaan bahasanya khas dalam dunia hukum.
Perhatian yang besar terhadap pemakaian bahasa hukum Indonesia sudah dimulai
sejak diadakan Kongres Bahasa Indonesia II tanggal 28 Oktober –2 November 1954
di Medan. Bahkan, dua puluh tahun kemudian, tahun 1974, Badan Pembinaan Hukum
Nasional (BPHN) menyelenggarakan simposium bahasa dan hukum di kota yang sama,
Medan. Simposium tahun 1974
tersebut menghasilkan empat konstatasi berikut (Mahadi dan Ahmad 1979 dalam
Sudjiman 1999).
1.
Bahasa hukum Indonesia (BHI) adalah bahasa Indonesia yang dipergunakan
dalam bidang hukum, yang mengingat fungsinya mempunyai karakteristik
tersendiri; oleh karena itu bahasa hukum Indonesia haruslah memenuhi
syarat-syarat dan kadiah-kaidah bahasa Indonesia.
2. Karakteristik bahasa hukum terletak
pada kekhususan istilah, komposisi, serta gayanya.
3. BHI sebagai bahasa Indonesia
merupakan bahasa modern yang penggunaannya harus tetap, terang, monosemantik,
dan memenuhi syarat estetika.
4. Simposium melihat adanya
kekurangsempurnaan di dalam bahasa hukum yang sekarang dipergunakan, khususnya
di dalam semantik kata, bentuk, dan komposisi kalimat.
Terungkapnya
kekurangsempurnaan di dalam bahasa hukum, seperti terdapat dalam
konstatasi keempat di atas, yang tercermin dalam penulisan
dokumen-dokumen hukum dapat ditelusuri dari sejarahnya. Sejarah membuktikan
bahwa bahasa hukum Indonesia, terutama bahasa undang-undang, merupakan produk
orang Belanda. Pakar hukum Indonesia saat itu banyak belajar ke negeri Belanda
karena hukum Indonesia mengacu pada hukum Belanda. Para pakar banyak
menerjemahkan langsung pengetahuan dari bahasa Belanda ke dalam bahasa
Indonesia tanpa mengindahkan struktur bahasa Indonesia (Adiwidjaja dan Lilis
Hartini 1999:1—2). Di samping itu, ahli hukum pada masa itu lebih
mengenal bahasa Belanda daripada bahasa asing lainnya (Inggris, Perancis, atau
Jerman) karena bahasa Belanda wajib dipelajari, sedangkan bahasa Indonesia
tidak tercantum di dalam kurikulum sekolah (Sudjiman 1999).
Menurut Mahadi
(1979:31), hukum mengandung aturan-aturan, konsepsi-konsepsi, ukuran-ukuran
yang telah ditetapkan oleh penguasa pembuat hukum untuk:
a)
disampaikan kepada masyarakat
b)
dipahami/disadari maksudnya, dan
c)
dipatuhi.
Namun, kenyataannya
sebagai sarana komunikasi, bahasa Indonesia di dalam dokumen-dokumen hukum
sulit dipahami oleh masyarakat awam. Pemakaian bahasa Indonesia dalam bidang
hukum masih perlu disempurnakan (Mahadi 1979:39). Banyak istilah asing (Belanda
atau Inggris) yang kurang dipahami maknanya dan belum konsisten, diksinya belum
tepat, kalimatnya panjang dan berbelit-belit (lihat Mahadi 1979).
Senada dengan Mahadi,
Harkrisnowo (2007) menambahkan bahwa kalangan hukum cenderung
a)
merumuskan atau menguraikan sesuatu dalam kalimat yang panjang dengan anak
kalimat;
b)
menggunakan istilah khusus hukum tanpa penjelasan;
c)
menggunakan istilah ganda atau samar-samar;
d)
menggunakan istilah asing karena sulit mencari padanannya dalam bahasa
Indonesia;
e)
enggan bergeser dari format yang ada (misalnya dalam akta notaris). Hal-hal
tersebut menempatkannya dalam dunia tersendiri seakan terlepas dari dunia bahasa
Indonesia umumnya.
Tidak heran jika dokumen
hukum, seperti peraturan perundang-undangan, surat edaran lembaga, surat
perjanjian, akta notaris, putusan pengadilan, dan berita acara pemeriksaan,
sulit dipahami masyarakat awam.
Akan tetapi, sebagian
orang menganggap semua itu merupakan karakteristik bahasa hukum dalam hal
kekhususan istilah, kekhususan komposisi, dan kekhususan gaya bahasa. Meskipun
diakui bahasa hukum Indonesia memiliki karakteristik tersendiri dalam hal istilah,
komposisi, dan gaya bahasanya, bukan berarti hanya dapat dimengerti oleh ahli
hukum atau orang-orang yang berkecimpung di dalam hukum (Natabaya 2000:301).
Bahkan, sebetulnya di
kalangan praktisi hukum sendiri masih timbul perbedaan penafsiran terhadap
bahasa hukum (lihat Murniah 2007). Begitu penting peran bahasa dalam pembuatan dokumen hukum ditekankan pula
oleh Suryomurcito (2009). Ia mengatakan bahwa banyak layanan produk hukum yang
berbasis bahasa, seperti korespondensi dengan klien atau dengan ditjen HKI,
surat teguran/somasi, iklan peringatan, laporan polisi, gugatan,
permohonan pendaftaran (merek, hak cipta, paten, dan
sebagainya), dan penerjemahan jenis barang/jasa, draf perjanjian.
Jika bahasa hukum
membingungkan masyarakat, tentu saja masyarakat akan dirugikan padahal
merekalah yang terikat dan terbebani kewajiban untuk mematuhi dokumen hukum
yang dihasilkan (Murniah 2007). Karena semua itu ditujukan untuk dimanfaatkan
dan diinformasikan kepada masyarakat umum, sudah selayaknya penulisannya dalam
bahasa Indonesia yang baik dan benar mendapat perhatian besar. Putusan
simposium 1974 waktu itu sudah tepat: memasukkan bahasa Indonesia dalam
kurikulum di fakultas hukum dan melibatkan ahli bahasa Indonesia di dalam
penyusunan rancangan peraturan-peraturan hukum. Dengan kata lain, dibutuhkan
penulis dokumen hukum yang memahami ketentuan perundang-undangan yang
menjadi landasannya, tetapi juga yang memiliki keterampilan dan pengetahuan
menulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Bahasa Hukum Indonesia sebagai Bahasa Tulis Ilmiah
Tidak berbeda
dengan bidang ilmu lainnya, bahasa hukum Indonesia memiliki ciri-ciri
bahasa keilmuan (Moeliono 1974 dalam Natabaya 2000), yakni
1. lugas dan eksak karena menghindari
kesamaran dan ketaksaan
2. objektif dan menekan prasangka pribadi
3. memberikan
definisi yang cermat tentang nama, sifat, dan kategori yang diselidiki untuk menghindari kesimpangsiuran
4. tidak beremosi dan menjauhi tafsiran
yang bersensasi
5.
membakukan makna kata-katanya, ungkapannya, dan gaya paparannya berdasarkan
konvensi
6. bercorak hemat, hanya kata yang
diperlukan yang dipakai
7. bentuk, makna, fungsi
kata ilmiah lebih mantap dan stabil daripada yang dimiliki kata biasa.
Bahasa hukum Indonesia
dalam surat-menyurat khususnya, menurut Suryomurcito (2009), perlu
memperhatikan tata bahasa yang benar, istilah yang tepat, kosakata yang
beragam, kalimat yang singkat dan jelas, kalimat yang mengandung satu pokok
pikiran, dan tanda baca yang benar. Dengan kata lain, supaya masyarakat lebih
mudah memahaminya, disarankan untuk menghindari kalimat yang bertele-tele,
jangan mengulang-ulang, jangan menggunakan istilah yang tidak sesuai dengan
yang digunakan di dalam undang-undang, jangan salah menggunakan tanda baca, dan
jangan salah ketik. Seperti hanya bahasa tulis ilmiah dalam bidang ilmu
lainnya, dalam dokumen hukum dibutuhkan penulisan bahasa Indonesia yang baik
dan benar yang menunjukkan intelektualitas penulisnya dalam menyampaikan aturan
hukum di dalam ejaan yang tepat dan benar serta rangkaian pesan yang tersusun
dalam kalimat yang efektif.
Kalimat efektif, menurut
Alwi (2001:38), adalah kalimat yang memperlihatkan bahwa proses penyampaian
oleh penulis dan pembaca berlangsung sempurna sehingga isi atau maksud yang
disampaikan oleh penulis tergambar lengkap dalam pikiran pembaca. Kalimat yang
efektif dapat dilihat dari ciri-ciri berikut: memiliki keutuhan atau
keterkaitan makna antarunsur di dalam kalimat; mempunyai kesejajaran struktur
klausa dan kesejajaran makna/informasi; memfokuskan unsur-unsur dengan
mengulang bagian-bagian yang ditekankan; menunjukkan penghematan dalam kata. Tulisan ini akan menyajikan
pemakaian bahasa hukum di dalam surat perjanjian kredit (2003), surat
perjanjian kerja (2006), dan surat perjanjian pemberian pinjaman (2008). Dengan
menganalisisnya secara kualitatif, yaitu dengan memerikan gejala pemakaian
bahasa hukum, tulisan ini akan mengungkap penggunaan bahasa hukum yang sebenarnya.
Surat Perjanjian
Surat perjanjian adalah
surat yang dibuat oleh dua pihak yang telah sepakat untuk suatu urusan. Jenis
surat perjanjian ada bermacam-macam, misalnya perjanjian jual beli,
perjanjian sewa beli, perjanjian sewa-menyewa, perjanjian kerja, dan
perjanjian pinjaman uang. Surat perjanjian dibuat sebagai bukti autentik adanya
ikatan kedua belah pihak dan untuk menghindari persengketaan di kemudian hari.
Anatomi surat perjanjian terdiri dari
a) judul,
b) pembukaan,
c) komparisi,
d) premis/dasar pertimbangan,
e) isi perjanjian,
f) penutup, dan
g) tanda tangan dan lampiran (Widjaja
2004).
Temuan dan Pembahasan
Untuk mengungkap
pemakaian bahasa hukum dalam ketiga surat perjanjian, ditemukan beberapa
pemakaian bahasa yang tidak benar, yang meliputi pemakaian ejaan dan tanda
baca, pemakaian bentuk jamak diikuti pengulangan kata, pemakaian kata yang
bersinonim, pengaruh unsur bahasa Inggris, pemakaian kata yang bersinonim,
pemakaian bahwa di depan Subjek, pemakaian bentuk kata yang tidak
sejajar, pemakaian kalimat yang panjang, dan pemakaian Dalam Hal dan Maka.
Pemakaian Ejaan dan Tanda baca
Bahasa ilmiah hendaknya
memperhatikan penulisan ejaan dan tanda baca yang benar. Penulisan ejaan dan
tanda baca yang benar menandakan penulis memperhatikan kaidah-kaidah kebahasaan
dan mampu menggunakannya secara tepat untuk menyatakan maksudnya. Kadang kala pemakaian tanda baca
yang tidak tepat dapat mengakibatkan makna yang disampaikan berubah. Salah satu
tanda baca yang sering digunakan di dalam bahasa hukum, khususnya di dalam
surat perjanjian adalah titik koma.Terlepas dari struktur kalimatnya,
perhatikan contoh (1) berikut. Bahwa Para Pihak masing-masing dalam
kedudukannya sebagaimana tersebut di atas terlebih dahulu menerangkan hal-hal
sebagai berikut:
Bahwa Pihak Pertama
merupakan perusahaan yang bergerak dibidang asuransi jiwa;
Dalam kaidah bahasa
Indonesia, tanda titik dua diganti titik satu pada kalimat
lengkap yang diikuti perincian berupa kalimat lengkap pula, dan perincian
diakhiri tanda titik (Utorodewo, Felicia N. dkk. 2004). Oleh karena itu, pada
kalimat pertama bukan titik dua yang mengakhiri kalimat, melainkan titik
satu karena perincian berikutnya, yaitu kalimat kedua, merupakan kalimat
yang sudah lengkap pula (mengandung unsur
Subjek-Predikat-Pelengkap).
Di samping titik dua,
penulisan di agaknya juga masih belum diperhatikan oleh penulisnya. Di- ditulis menyambung jika kata yang mengikutinya merupakan
verba (kata kerja). Kata berimbuhan di- sebagai awalan dapat diubah ke
dalam bentuk kalimat aktif. Contoh: divonis-memvonis. Jika tidak
berdampingan dengan verba, di ditulis terpisah, misalnya di
pengadilan, di atas. Dengan demikian, kalimat kedua pada contoh (1) dibidang
diperbaiki menjadi di bidang.
Contoh pemakaian tanda
titik dua yang kurang tepat masih dapat dilihat pada (2) berikut ini.
(2) Tanpa
persetujuan tertulis dari BANK, selama kredit belum lunas DEBITUR tidak
diperkenankan untuk:
a. Menerima Kredit
dari Bank lain,
b.
Mengikatkan diri sebagai penjamin (borg) terhadap pihak ketiga.
Tanda baca titik dua
seharusnya tidak muncul pada unsur-unsur yang masih merupakan bagian dari
kalimat yang bukan memberi penjelasan. Karena masih merupakan bagian dari
kalimat, setelah titik dua tidak perlu diawali dengan huruf kapital
layaknya awal kalimat. Juga kata lain di dalam kalimat yang bukan awal kalimat
atau nama orang/tempat, tidak perlu ditulis huruf kapital; begitu pula
kata-kata dari bahasa asing sebaiknya ditulis dengan huruf miring. Berikut
perbaikan contoh (2).
(2a) Tanpa persetujuan
tertulis dari bank, selama kredit belum lunas, debitor tidak diperkenankan
untuk
a. menerima
kredit dari bank lain,
b. mengikatkan diri
sebagai penjamin (borg) terhadap pihak ketiga.
Pemakaian bentuk jamak diikuti pengulangan kata
Tidak seperti dalam
bahasa Inggris, untuk menyatakan bentuk jamak di dalam bahasa Indonesia
digunakan kata bermakna jamak, seperti beberapa, para, semua, atau kata
bilangan. Ketika bentuk jamak itu digunakan, nomina yang yang menyertainya
tidak lagi diulang katanya.
(3) a. Selalu mentaati
dan melaksanakan semua peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk
tetapi tidak terbatas kepada, seluruh ketentuan-ketentuan yang berlaku
serta sesuai standar profesionalisme, etika kerja dan kode etik yang lazim
sebagai Tenaga Pemasaran di Indonesia.
(4) DEBITUR dengan ini
berjanji dan mengikat diri untuk mensahkan semua tindakan-tindakan hukum…
Dalam contoh (3), selain
kesalahan ejaan mentaati, yang seharusnya menaati,
ditemukan seluruh ketentuan-ketentuan dan contoh (4) semua
tindakan-tindakan. Supaya lebih hemat penggunaan katanya, diperbaiki
masing-masing menjadi seluruh ketentuan dan semua tindakan.
Pemakaian kata yang bersinonim
Dalam surat perjanjian
kredit ditemukan pemakaian kata yang makna dan fungsinya sama, seperti adalah
merupakan, seperti terlihat pada contoh berikut.
(5)Daftar pembayaran
berikut perubahan-perubahannya adalah merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan dari perjanjian kredit ini.
Sebaiknya, kalimat (5)
diperbaiki dengan menggunakan salah satu di antara kedua kata tersebut,
yaitu adalah atau merupakan.
Pengaruh unsur bahasa Inggris
Pengaruh bahasa Inggris
dalam bahasa hukum marak ditemukan. Hal tersebut dapat disebabkan penulisnya
seorang dwi/multibahasawan. Pengaruh bahasa Inggris tampak dalam penggunaan
kata which dan where, yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dimana,
yang mana. Kedua kata terjemahan tersebut bukan berperilaku konjungsi
seperti halnya which dan where. Untuk itu, kata-kata tersebut
sebaiknya tidak digunakan atau diganti dengan kata lain (lihat 6a) untuk (6)
atau meniadakan kata mana dalam (7) dan menambahkan tersebut
(7a).
(6) Para Pihak sepakat
bahwa untuk pelaksanaan Perjanjian ini, Pihak Pertama akan membuka rekening
khusus pada Bank yang disepakati bersama oleh Para Pihak, yang mana
rekening tersebut akan digunakan oleh Para Pihak untuk mengelola dana masuk dan
dana keluar sehubungan dengan pelaksanaan Perjanjian ini (“Rekening
Khusus”).
(7) Apabila DEBITUR
terlambat membayar angsuran (pokok dan/atau bunga) sesuai jadwal yang
ditetapkan diatas, maka DEBITUR dikenakan denda sebesar 0,17% (nol koma tujuh
belas persil) per hari atas jumlah angsuran yang harus dibayar. Denda mana
harus dibayar secara sekaligus dan tunai bersamaan dengan angsuran yang
tertunggak.
(6a) Para pihak sepakat
bahwa untuk pelaksanaan perjanjian ini, Pihak Pertama akan membuka rekening
khusus pada bank yang disepakati bersama oleh para pihak. Rekening tersebut
akan digunakan oleh para pihak untuk mengelola dana masuk dan dana keluar
sehubungan dengan pelaksanaan perjanjian ini (“Rekening Khusus”).
(7a) […] Denda tersebut
harus dibayar secara sekaligus dan tunai bersamaan dengan angsuran yang
tertunggak.
Pemakaian bahwa di depan Subjek
Konjungsi bahwa (dari
bahasa Inggris whereas) merupakan konjungsi yang banyak digunakan
sebagai awal dari pernyataan hukum. Akan tetapi, perlu diperhatikan tidak semua
awal pernyataan dapat diawali dengan bahwa. Perhatikan
contoh (8) berikut.
(8) Bahwa Para Pihak masing-masing
dalam kedudukannya sebagaimana tersebut di atas terlebih dahulu menerangkan
hal-hal sebagai berikut:
Di dalam kalimat pasif kata bahwa
merupakan penanda bahwa unsur yang menyertainya adalah anak kalimat pengisi
subjek, seperti Bahwa dia tidak bersalah//telah dibuktikan (Sugono
2009:46-47). Kalimat itu dapat dipermutasi menjadi Telah dibuktikan
bahwa dia tidak bersalah. Bahwa juga merupakan penanda subjek yang berupa
anak kalimat pada kalimat yang menggunakan adalah, merupakan, atau ialah,
seperti Bahwa percobaan itu gagal//merupakan risiko dia. Oleh karena
itu, penggunaan bahwa pada (8) sebaiknya ditiadakan sehingga
dengan tegas kalimat itu menampakkan Subjek, yaitu Para Pihak masing-masing
dalam kedudukannya sebagaimana tersebut di atas (lihat 8a).
(8a) Para Pihak masing-masing dalam kedudukannya
sebagaimana tersebut di atas// terlebih dahulu menerangkan hal-hal sebagai
berikut.
Pemakaian bentuk kata yang tidak sejajar
Kesejajaran bentuk
mengacu pada kesejajaran unsur-unsur di dalam kalimat sehingga memudahkan
pemahaman pengungkapan pikiran (Alwi 2001). Bentuk kata yang sejajar lazim
muncul pada kalimat yang membutuhkan rincian/penjelasan; setiap rincian
menggunakan bentuk atau pola kata yang sama. Perhatikan contoh (9).
(9) Perjanjian ini akan
berakhir secara otomatis bilamana:
a.
Berakhirnya jangka waktu Perjanjian ini.
b. Para Pihak
setuju dan sepakat bersama-sama untuk mengakhiri Perjanjian ini.
c. Pihak Pertama
sudah tidak lagi beroperasi dan atau menjalankan kegiatan usaha utamanya, atau
Pihak Pertama dinyatakan pailit/bangkrut oleh Pengadilan, atau Pihak Pertama
dibubarkan oleh keputusan rapat pemegang saham Pihak Pertama.
Pada awal setiap rincian
terlihat bentuk atau pola yang tidak sama. Rincian a tidak diawali dengan
Subjek seperti halnya b dan c yang mempunyai unsur Subjek: Para Pihak
dan Pihak Pertama. Oleh karena itu, rincian dalam a perlu ditambahkan
Subjek. Selain itu, jika masing-masing rincian a—c sudah berbentuk kalimat, hal
itu berarti kalimat pengantar ke rincian, yaitu Perjanjian ini akan berakhir
secara otomatis bilamana: juga harus merupakan kalimat yang lengkap. Agar
sempurna sebagai kalimat, perbaikan yang sesuai, misalnya sebagai berikut.
(9a) Perjanjian ini akan
berakhir secara otomatis bilamana terjadi kondisi-kondisi berikut.
a. Jangka waktu
perjanjian ini// berakhir.
b. Para Pihak//
setuju dan sepakat bersama-sama untuk mengakhiri perjanjian ini.
c. Pihak
Pertama// sudah tidak lagi beroperasi dan atau menjalankan kegiatan usaha
utamanya, atau Pihak Pertama dinyatakan pailit/bangkrut oleh pengadilan, atau
Pihak Pertama dibubarkan oleh keputusan rapat pemegang saham Pihak Pertama.
Pemakaian kalimat yang panjang
Kalimat yang panjang
sehingga sulit dipahami maknanya terjadi karena ada beberapa gagasan di
dalam satu kalimat yang ditumpuk-tumpuk, seperti tampak pada contoh berikut.
(10)
1. Selama
Kredit tersebut diatas belum lunas, maka barang jaminan tersebut harus
dipertanggungkan oleh DEBITUR terhadap bahaya kebakaran, kerusakan, kecurian
atau bahaya lainnya yang dianggap perlu oleh BANK pada maskapai asuransi yang
disetujui oleh BANK, untuk jumlah dan dengan syarat-syarat yang dianggap baik oleh
BANK, dengan ketentuan bahwa premi asuransi dan biaya lain yang berkenaan
dengan penutupan asuransi tersebut dipikul oleh DEBITUR dan dalam polis
asuransi BANK ditunjuk sebagai pihak yang berhak untuk menerima segala
pembayaran berdasarkan asuransi itu (Banker’s Clause).
2. […]
3. Apabila perpanjangan asuransi sebagaimana
dimaksud butir 2 di atas diurus oleh DEBITUR, maka DEBITUR wajib telah
mengajukan permohonan perpanjangan asuransi selambat-lambatnya dalam jangka
waktu 1 (satu) bulan sebelum tanggal jatuh tempo polis asuransi, dan polis
perpanjangan asuransi harus telah diserahkan oleh DIBITUR kepada BANK
selambat-lambatnya pada tanggal jatuh tempo polis asuransi yang diperpanjang,
demikian dengan ketentuan bahwa apabila pada tanggal jatuh tempo polis asuransi
tersebut, DEBITUR tidak/belum menyerahkan polis perpanjangan asuransi,
maka DEBITUR dengan ini memberi kuasa kepada BANK, tanpa BANK berkewajiban
untuk melaksanakannya, untuk memperpanjang asuransi tersebut di atas biaya
DEBITUR.
Kalimat 1. di atas
berjumlah 80 kata. Ada beberapa gagasan yang dikemukakan di dalam kalimat itu,
yaitu
barang jaminan dipertanggungkan oleh debitor terhadap bahaya kebakaran,
kerusakan, kecurian, atau bahaya lainnya pada maskapai asuransi yang disetujui
oleh bank,
ketentuan pertanggungan adalah premi asuransi dan biaya lain berkenaan dengan
penutupan asuransi dipikul oleh debitor;
di dalam polis asuransi terdapat klausul tentang hak bank untuk menerima segala
pembayaran berdasarkan asuransi itu.
Seperti kalimat 1 yang
cukup panjang, kalimat 3 di atas terdiri dari 91 kata. Dalam satu kalimat itu
ada beberapa pokok pikiran yang ingin disampaikan penulisnya, yaitu
(1) debitor wajib
mengajukan permohonan perpanjangan asuransi paling lambat satu bulan sebelum
jatuh tempo polis asuransi;
(2) polis perpanjangan
asuransi harus diserahkan debitor kepada bank paling lambat pada tanggal jatuh
tempo polis asuransi yang diperpanjang;
(3) apabila pada tanggal
jatuh tempo, debitor belum/tidak menyerahkan polis perpanjangan asuransi,
debitor memberi kuasa kepada bank untuk melakukan perpanjangan;
(4) bank diberi kuasa,
tetapi tidak berkewajiban melaksanakannya;
(5) biaya perpanjang
asuransi ditanggung oleh debitor.
Sebuah kalimat,
kendatipun panjang jika kaitan antarkalimatnya jelas, tidak akan menyulitkan
untuk mencerna isinya. Kalimat 1 dan 3 pada contoh (10) menunjukkan ada
kecenderungan untuk menghubungkan antargagasan dengan konjungsi dan, padahal
tidak semestinya setiap gagasan digabungkan dengan dan. Berikut
perbaikan yang disarankan untuk (10).
(10a)
1. Selama kredit
tersebut di atas belum lunas, barang jaminan tersebut harus dipertanggungkan
oleh debitor terhadap bahaya kebakaran, kerusakan, kecurian, atau bahaya
lainnya yang dianggap perlu oleh bank pada maskapai yang disetujui oleh bank.
Biaya premi asuransi dan lainnya yang berkenaan dengan penutupan asuransi
tersebut dibebankan pada debitor. Bank berhak menerima segala pembayaran
berdasarkan asuransi itu (banker’s clause).
2. […]
3. Apabila perpanjangan asuransi sebagaimana
dimaksud butir 2 di atas diurus oleh debitor, debitor wajib telah
mengajukan perpanjangan asuransi selambat-lambatnya 1 (satu) bulan
sebelum tanggal jatuh tempo polis asuransi. Polis perpanjangan asuransi harus
telah diserahkan kepada bank selambat-lambatnya pada tanggal jatuh tempo polis
asuransi yang diperpanjang. Apabila pada tanggal jatuh tempo polis asuransi
tersebut debitor tidak/belum menyerahkan polis perpanjangan asuransi, debitor
memberi kuasa kepada bank, tetapi bank tidak berkewajiban untuk
melaksanakannya, untuk memperpanjang asuransi tersebut di atas dengan
biaya debitor.
Pemakaian Dalam Hal dan Maka
Sugono (2009:215)
mengatakan bahwa di dalam kenyataan penggunaan bahasa, terdapat sejumlah kalimat
yang cukup berhasil dalam penyampaian informasi, tetapi dilihat dari segi
kaidah, kalimat-kalimat itu tidak memenuhi syarat kalimat yang benar. Kalimat
yang dimaksud adalah kalimat majemuk bertingkat yang tidak jelas unsur-unsurnya
mana yang merupakan inti kalimat (induk kalimat) dan mana yang anak kalimat
(penjelas induk kalimat). Anak kalimat lazim didahului oleh konjungsi dan induk
kalimat tidak didahului oleh konjungsi.
Dalam contoh (11) di
bawah ini, dalam hal berperilaku sebagai konjungsi, yang sebenarnya
menyatakan suatu kondisi atau keadaan yang belum tentu terjadi. Maknanya hampir
mirip dengan jika, apabila. Adanya konjungsi itu menandakan ada anak
kalimat. Anak kalimat tersebut diikuti dengan maka sesudah koma, yang
juga sebagai anak kalimat karena diawali konjungsi maka. Oleh karena
itu, kalimat (11) tidak dapat disebut kalimat majemuk bertingkat karena tidak
ada informasi yang diutamakan sebagai induk kalimat.
(11) Dalam hal
terjadi perbedaan penafsiran antara versi bahasa Inggris dan bahasa Indonesia,
maka yang berlaku adalah bahasa Indonesia.
Perbaikan untuk (11)
adalah dengan meniadakan salah satu konjungsi, misalnya maka (11a).
(11a) Dalam hal
terjadi perbedaan penafsiran antara versi bahasa Inggris dan bahasa Indonesia,
yang berlaku adalah bahasa Indonesia.
Simpulan
Dari dokumen surat-surat
perjanjian yang diamati terbukti bahwa penulis dokumen hukum belum menguasai
kaidah bahasa Indonesia. Bahasa hukum Indonesia di dalam surat perjanjian yang
diamati masih menunjukkan kesalahan yang klise, seperti ketidaktepatan dalam
penggunaan ejaan, tanda baca, dan kalimat. Karena bahasa hukum merupakan produk
yang diperuntukkan bagi masyarakat dari kalangan mana pun, bukan hanya orang
dari kalangan hukum, seharusnya penyusun dokumen hukum lebih menyederhanakan
penyampaian pesan atau maksud dari aturan atau pernyataan di dalam
pasal-pasalnya sehingga pembaca lebih mudah dan cepat mencerna isinya.
Penyampaian isi yang efektif perlu didukung oleh kaidah ejaan bahasa Indonesia
yang benar. Penulis menyarankan agar ahli hukum adalah juga pemerhati bahasa
Indonesia.
Daftar Pustaka
Adiwidjaya, Soelaeman B.
dan Lilis Hartini. 1999. Bahasa
Indonesia Hukum. Bandung: Pustaka.
Alwi, Hasan. 2001. Bahan
Penyuluhan Bahasa Indonesia: Kalimat. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Harkrisnowo,
Harkristuti. 2007. Bahasa Indonesia sebagai Sarana Pengembangan Hukum Nasional.
Http://www.legalitas.org/?q=node/67.
Mahadi dan Sabaruddin
Ahmad. 1979. Pembinaan Bahasa Hukum Indonesia. Badan Pembinaan Hukum
Nasional Departemen Kehakiman. Jakarta: Binacipta.
--------. 1983. Bahasa Hukum Adat dalam Peta Bumi Bahasa-Hukum Nasional.
Dalam Hukum dan Pembangunan
No. 3 Tahun XIII Mei.
Murniah. 2007. Bahasa Hukum Rumit dan
Membingungkan. Wawasan, 30 November.
Nasucha, Yakub, Muhammad
Rohmadi, dan Agus Budi Wahyudi. 2009. Bahasa Indonesia untuk Penulisan Karya Tulis Ilmiah. Surakarta:
Media Perkasa.
Natabaya, H.A.S. 2000.
Dalam Hasan Alwi, Dendy Sugono, Abdul Rozak Zaidan (Ed.). Bahasa Indonesia
dalam Era Globalisasi:Pemantapan Peran Bahasa sebagai Sarana Pembangunan
Bangsa. Jakarta: Depdiknas.
Sudjiman, Panuti. 1999.
Ragam Bahasa Hukum Indonesia: Lahan Bahasa yang Belum Tergarap. Atma nan
Jaya. Jakarta: Lembaga Penelitian Atma Jaya.
Sugono, Dendy. 2009. Mahir
Berbahasa Indonesia dengan Benar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Suryomurcito, Gunawan. 2009. Berbahasa Indonesia yang Baik
dan Benar? Capek Deh! Good English? Capek Banget Deh! Makalah dalam Seminar
HKI, 15 April di Unika Atma Jaya.
Utorodewo, Felicia N., Lucy R. Montolalu, L. Pamela Kawira. 2004. Diktat
Bahasa Indonesia Sebuah Pengantar Penulisan Ilmiah. Depok. Program
PDPT Universitas Indonesia.
Widjaja, I.G. Rai. 2004. Merancang Suatu Kontrak (Contract Drafting) Teori dan
Paktik. Bekasi: Megapoin.
Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu No. 001/KK-HRD/12/2006.
Perjanjian Kredit No.:
52/2003.
Perjanjian Pemberian
Pinjaman No. 006/HT-P/HKM/I/2008.