Dalam
filsafat dibedakan antara esensia dan eksistensia. Esensia membuat benda,
tumbuhan, binatang dan manusia. Oleh esensia, sosok dari segala yang ada
mendapatkan bentuknya. Oleh esensia, kursi menjadi kursi. Pohon mangga menjadi
pohon mangga. Harimau menjadi harimau. Manusia menjadi manusia. Namun, dengan
esensia saja, segala yang ada belum tentu berada. Kita dapat membayangkan
kursi, pohon mangga, harimau, atau manusia. Namun, belum pasti apakah semua itu
sungguh ada, sungguh tampil, sungguh hadir. Di sinilah peran eksistensia.
Eksistensia membuat yang ada dan bersosok jelas bentuknya, mampu
berada, eksis. Oleh eksistensia kursi dapat berada di tempat. Pohon mangga
dapat tertanam, tumbuh, berkembang. Harimau dapat hidup dan merajai hutan.
Manusia dapat hidup, bekerja, berbakti, dan membentuk kelompok bersama manusia
lain. Selama masih bereksistensia, segala yang ada dapat ada, hidup, tampil,
hadir. Namun, ketika eksistensia meninggalkannya, segala yang ada menjadi tidak
ada, tidak hidup, tidak tampil, tidak hadir. Kursi lenyap. Pohon mangga menjadi
kayu mangga. Harimau menjadi bangkai. Manusia mati. Demikianlah penting peranan
eksistensia. Olehnya, segalanya dapat nyata ada, hidup, tampil, dan berperan.
Adapun tanpa eksistensia, segala sesuatu tidak nyata ada, apalagi hidup dan
berperan.
Eksistensialisme adalah aliran filsafat
yang menekankan eksistensia. Para pengamat eksistensialisme tidak mempersoalkan
esensia dari segala yang ada. Karena memang sudah ada dan tak ada persoalan.
Kursi adalah kursi. Pohon mangga adalah pohon mangga. Harimau adalah harimau.
Manusia adalah manusia. Namun, mereka mempersoalkan bagaimana segala yang ada
berada dan untuk apa berada. Oleh karena itu, mereka menyibukkan diri dengan
pemikiran tentang eksistensia. Dengan mencari cara berada dan eksis yang
sesuai, esensia pun akan ikut terpengaruhi. Dengan pengolahan eksistensia
secara tepat, segala yang ada bukan hanya berada, tetapi berada dalam keadaan
optima. Untuk manusia, ini berarti bahwa dia tidak sekadar berada dan eksis,
tetapi berada dan eksis dalam kondisi ideal sesuai dengan kemungkinaan yang
dapat dicapai. Dalam kerangka pemikiran itu, menurut kaum eksistensialis, hidup
ini terbuka. Nilai hidup yang paling tinggi adalah kemerdekaan. Dengan
kemerdekaan itu, keterbukaan hidup dapat ditanggapi secara baik. Segala sesuatu
yang menghambat, mengurangi, atau meniadakan kemerdekaan harus dilawan. Tata
tertib, peraturan, hukum harus disesuaikan atau, bila perlu, dihapus dan
ditiadakan. Karena adanya tata tertib, peraturan, hukum dengan sendirinya sudah
tak sesuai dengan hidup yang terbuka dan hakikat kemerdekaan. Semua itu membuat
orang terlalu melihat ke belakang dan mengaburkan masa depan, sekaligus membuat
praktik kemerdekaan menjadi tidak leluasa lagi.
Dalam hal etika, karena hidup ini terbuka,
kaum eksistensialis memegang kemerdekaan sebagai norma. Bagi mereka, manusia
mampu menjadi seoptima mungkin. Untuk menyelesaikan proyek hidup itu,
kemerdekaan mutlak diperlukan. Berdasarkan dan atas norma kemerdekaan, mereka
berbuat apa saja yang dianggap mendukung penyelesaian proyek hidup. Sementara
itu, segala tata tertib, peraturan, hukum tidak menjadi bahan pertimbangan.
Karena adanya saja sudah mengurangi kemerdekaan dan isinya menghalangi
pencapaian cita-cita proyek hidup. Sebagai ganti tata-tertib, peraturan, dan
hukum, mereka berpegang pada tanggung jawab pribadi. Mereka tak mempedulikan
segala peraturan dan hukum, dan tidak mengambil pusing akan sanksi-sanksinya.
Yang mereka pegang adalah tanggung jawab pribadi dan siap menanggung segala
konsekuensi yang datang dari masyarakat, negara, atau lembaga agama.
Satu-satunya hal yang diperhatikan adalah situasi. Dalam menghadapi perkara
untuk menyelesaikan proyek hidup dalam situasi tertentu, pertanyaan pokok
mereka adalah apa yang paling baik yang menurut pertimbangan dan tanggung jawab
pribadi seharusnya dilakukan dalam situasi itu. Yang baik adalah yang baik
menurut pertimbangan norma mereka, bukan berdasarkan perkaranya dan norma
masyarakat, negara, atau agama.
Segi positif yang sekaligus merupakan kekuatan dan daya
tarik etika eksistensialis adalah pandangan tentang hidup, sikap dalam hidup,
penghargaan atas peran situasi, penglihatannya tentang masa depan. Berbeda
dengan orang lain yang berpikiran bahwa hidup ini sudah selesai, yang harus
diterima seperti adanya, dan tak perlu diubah, etika eksistensialis berpendapat
bahwa hidup ini belum selesai, tidak harus diterima sebagai adanya, dan dapat
diubah, bahkan harus diubah. Ini berlaku untuk hidup manusia sebagai pribadi,
masyarakat, bangsa, dan dunia seanteronya. Dalam arti itulah hidup dimengerti
sebagai proyek. Orang yang memandang hidup sebagai sudah selesai, mempunyai
sikap pasrah dan "menerima", sementara kaum eksistensialis yang
memahami hidup sebagai belum selesai mempunyai sikap berusaha dan berjuang.
Hidup ini perlu dan harus diperbaiki. Faktor penting untuk perbaikan hidup itu
adalah tanggung jawab. Setiap orang harus bertanggungjawab atas hidupnya dan
dengan sungguh-sungguh berupaya untuk mengembangkannya. Bagi orang yang merasa
hidup sudah jadi, situasi hidup menjadi sama saja. Tidak ada situasi penting,
mendesak, atau genting. Karena hidup selalu berjalan normal. Namun, bagi kaum
eksistensialis yang memahami hidup belum selesai, setiap situasi membawa akibat
untuk kemajuan kehidupan. Oleh karena itu, setiap situasi perlu dikendalikan,
dimanfaatkan, diarahkan sehingga menjadi keuntungan bagi kemajuan hidup.
Akhirnya, bagi orang yang menerima hidup sudah sampai titik dan puncak
kesempurnaannya, masa depan tidak amat berperan karena masa depan pun
keadaannya akan sama saja dengan masa yang ada sekarang. Namun, bagi kaum
eksistensialis yang belum puas dengan hidup yang ada dan yang merasa perlu
untuk mengubahnya, masa depan merupakan faktor yang penting. Karena hanya
dengan adanya masa depan itu, perbaikan hidup dimungkinkan dan pada masa depan
pula hidup baik itu terwujud. Dengan demikian, gaya hidup kaum eksistensialis
menjadi serius, dinamis, penuh usaha, dan optimis menuju ke masa depan.
Namun, oleh pandangan-pandangan yang terkandung di dalam
dirinya, segi-segi positif etika eksistensialis itu menjadi berkurang
positifnya. Kelemaham-kelemahan etika eksistensialis dapat disebut beberapa. Pertama, etika eksistensialis
terperosok ke dalam pendirian yang individualistis. Dengan pendirian itu, di
bawah nama melaksanakan proyek hidup, bisa-bisa para pengikut aliran
eksistensialis hanya mencari dan mengejar kepentingan diri. Karena yang baik
ditentukan sendiri, bukan berdasarkan norma, maka yang dianggap baik bukanlah
kebaikan sejati, melainkan baik menurut dan bagi diri mereka sendiri. Cara
memandang kebaikan yang individualistis itu dapat merugikan sesama, masyarakat
dan dunia.
Kedua, dengan
mengabaikan tata tertib, peraturan, hukum, kaum eksistensialis menjadi manusia
yang anti-sosial. Tidak dapat disangkal bahwa ada norma masyarakat yang sudah
usang. Namun, menyatakan segala norma tak berlaku sungguh melawan akal sehat.
Karena norma masyarakat merupakan hasil perjalanan pencarian yang tidak begitu
saja mudah ditiadakan. Jika tidak dapat dipergunakan sepenuhnya, paling sedikit
masih dapat bermanfaat sebagai bahan pertimbangan dan titik tolak pencarian
nilai hidup lebih lanjut. Kecuali itu, sikap para penganut aliran
eksistensialis yang asosial merugikan usaha perbaikan hidup dan dunia. Karena
usaha itu merupakan usaha raksasa sehingga tidak dapat diselesaikan secara
perorangan, melainkan harus digarap bersama seluruh masyarakat.
Ketiga, dengan
mengambil sikap bebas merdeka, kaum eksistensialis memandang kemerdekaan
sebagai tidak terbatas. Padahal, dalam hidup ini tidak ada kemerdekaan yang
tanpa batas. Karena dalam perwujudannya selalu akan dibatasi. Pembatasan itu
berasal dari si pelaksana sendiri dan masyarakat. Seberapa
"hebat"-nya manusia, tidak mungkinlah dia mampu mewujudkan
kemerdekaannya secara penuh. Pembatasan juga datang dari masyarakat. Selama
orang hidup dakam masyarakat, pelaksanaan kemerdekaan akan selalu dibatasi oleh
pelaksanaan kebebasan orang lain. Mau tidak mau, dalam hidup masyarakat orang
harus mau "memberi" dan "menerima", alias berkompromi.
Keempat, kaum eksistensialis amat memperhitungkan situasi. Namun, situasi
itu mudah goyah. Kelemahan ini masih diperkuat oleh sikap individualistis yang
dipegang kaum eksistensialis. Bila orang bersandar pada situasi dan diri
sendiri saja, pandangannya menjadi terbatas, lingkup perbuatannya dipersempit,
dan pendiriannya rapuh. Begitulah, etika eksistensialis memiliki unsur-unsur
kebaikan yang positif. Namun, bila tak mengurangi dan melepaskan kelemahan-kelemahannya,
eksistensialisme akan melemahkan arti dan sumbangan-sumbangannya yang memang
berharga.
Nama
"eksistensialisme" memang hanya disenangi oleh Jean-Paul Sartre.
Filsuf-filsuf lain dari aliran ini lebih senang disebut
"filsuf-eksistensi". Di antara mereka adalah S. Aabye Kierkegaard
(1813-1855), Friedrich Nietzsche (1844-1900), Karl Jaspers (1883-1969), Martin
Heidegger (1889-1976), Gabriel Marcel (1889-1973) dan M. Merleau-Ponty
(1908-1961).