Rabu, 13 Juni 2012

Masyarakat Madani dan HAM


Tiadanya tatanan sosial yang mapan bisa menghancurkan kehidupan berbangsa, menghancurkan demokrasi dan menghilangkan keadilan, kemerdekaan, persamaan serta hak asasi lainnya. Pengalamn perjalanan sejarah Bangsa Indonesia selama lebih setengah abad menunjukkan ketiadaan seperti yang dimaksudkan. Oleh karena itu, upaya penataan kembali sistem kehidupan berbagsa secara mendasar perlu dilakukan dengan mencari rumusan baru yang diharapkan bisa menjamin tegaknya demokrasi, keadilan, HAM, toleransi serta pluralisme. Diantara sumber utama rumusan itu, agama (Islam) menjadi rujukan yang sangat penting untuk di apresiasi lebih jauh dan mendalam.
 Setelah sekian lama ada keengganan menjadikan agama sebagai rujukan validitas pandangan hidup  sosial politik. Oleh karena itu, dalam persoalan penting yang menjadi penekanan bukan membicarakan penyikapan agama terhadap konsep “masyarakat madani” tetapi mencoba memaparkan dasar-dasar teologis-filosofis tentang elemen utama masyrakat madani, yang ada dalam wawasan sosial Islam dan juga pengalaman praktis dalam sejarah masyrakat Muslim.
Karena itu sikap budaya (cultural attitude) dan sikap keagamaan (religions attitude) serta pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia (human rights) merupakan usur utama yang sangat penting untuk dibicarakan. Selain itu, aspek penting lainnya yang juga perlu dibicaralkan mengenai wawasan Islam tentang politik yang memberikan nilai-nilai dasar dalam kehidupan berdemokrasi. Semua elemen ini menjadi pilar penting tegaknya institusi sosial yang menjamin munculnya masyrakat madani.
Diakui maupun tidak konsep masyrakat madani dewasa ini adalah telah mengambil peran sebagai sebuah agenda cita-cita masyarakat yang modern Indonesia baru. Sekalipun masyarakat madani telah tiada secara fakta saat ini, akan tetapi hikmah-hikmahnya tetap masih menyinari aspek-aspek masyarakat modern. Sebagaiman contoh yang diungkapkan oleh Nurcholis Madjid, bahwa contoh yang paling mudah dideteksi adalah konsep tentang hak asasi manusia yang dari segi pelaksanaan misi suci beliau, puncak karier Nabi Muhammd Saw. ialah terselenggaranya “pidato perpisahan” yakni khutbah (al-wada). Dalam pidato itulah pertama kalinya manusia diperkenalkan dengan konsep “hak-hak asasi”, dengan inti titik tolak kesucian “hidup, harta, dan martabat kemanusian (addima’ wa al-amwal wa al-a’radh), yang apabila dibahasa Inggriskan akan terbaca: “life, property, and dignitiy atau life, fortune, and sacred honor”.
            Dalam pidato itulah menurut penulis, Nabi Muhammad Saw. menegaskan tentang tugas suci beliau untuk menyeru umat manusia kepada jalan Tuhan yang Maha Esa dan menghormati apa yang menjadi hak-hak suci sesama manusia, baik laki-laki dan perempuan. Kemudian pondasi hak-hak asasi manusia ini, diperkuat oleh dekrit Tuhan, dari pembunuhan pertama sesama manusia (oleh Qabil terhadap Habil) yang dijelaskan dalam al-Qur’an, s. al-Maidah: 27-21, “Barang siapa yang membunuh seorang manusia, maka karena orang itu (membunuh) orang lain, maka seakan-akan dia telah membunuh, manusia seluruhnya, dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya”.
            Keagungan konsep hak-hak asasi manusia dengan martabatnya yang tinggi, konon kata Nurcholis Madjid menyebar ke Barat melalui falsafah kemanusian Giovani Pico Della Mirandilla dan sebagian melalui filsafat John Locke. Maka dari itu, jika kita menginginkan negara kita ini maju menjadi masyarakat modern, ada baiknya jika kita merenungkan lebih mendalam bagaimana keindahan dan ketajaman hikmah-hikmah pidato perpisahan Nabi Muhammad dalam membangun hak-hak manusia secara universal.
            Sehingga selajutnya ikatan batin yang mendalam pada hak-hak asasi manusia tidak akan mungkin terwujud jika tidak dipandang dan ditarik pada segmen sebagai sebuah pandangan hidup (way of life). Oleh karena itu, kesadaran tentang hak-hak asasi manusia menuntut kemampuan pribadi yang bersangkutan untuk menerima, meyakini dan menghayati, sebagai bagian dari rasa makna dan tujuan (sense of meaning and purpose) hidup pribadinya. Karena itu masalah-maslah hak-hak asasi bersangkutan dengan “perkara pungkasan” (the problem of ultimacy), yaitu perkara yang menjadi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mendasar: siapa manusia itu? apa makna dan tujuan kelahirannya di dunia ini? Dan bagaimana seharusnya pola-pola hubungan yang benar antara dia dan sesamanya, dia dan lingkungan yang lebih luas dan seterusnya. Jawaban atas pertanyaan-pertanyan serupa itu biasanya disediakan oleh sebuah sistem kepercayaan dan ideologi, termasuk diantaranya adalah agama-agama.
            Adalah menjawab makna dan tujuan kemanusian perlu ditegaskan, bahwa rasa kemanusian haruslah berlandaskan pada rasa ke-Tuhan-an. Maka kemanusian sejati hanya dapat terwujud jika dilandasi dengan rasa ke-Tuhan-an itu. Sebab rasa kemanusian ataupun antroposentrisme yang lepas dari rasa ke-Tuhan-an atau teosentrisme akan mudah terancam untuk tergelincir kepada praktek-praktek pemutlakan sesama manusia, sebagaimana yang pernah didemonstrasikan oleh eksperimen-eksperimen Komunis (yang “ateis”). Dari sinilah kemudian hak  asasi manusia sebagai elemen utama masyarakat madani, yang harus didasarkan pada nilai dasar kemanusian yang universal itu.
            Bertolak dari nilai kemanusian, maka hakekatnya hak-hak asasi manusia ialah membangun kebebasan yang manusiawi. Termasuk kebebasan berpendapat. Jhon Stuart Mill  seorang Filosof “kebebasan” menyatakan bahwa melahirkan pendapat dengan bebas harus dibolehkan asalkan dengan cara yang tidak keras, dan tidak melampaui batas-bats kewajaran. Kebebasan yang dimaksudkan dalam arti adalah pelepasan diri dari hegemonik kekuasan dan doktrin-doktrin manusia yang telah menjadi absolut. Seperti pengalaman hidup manusia di zaman Nabi Muhammad Saw. dimana perempuan dianggap tidak ada nilainya untuk sebuah harga diri bagi kehidupan bersuku, akibatnya setiap bayi perempuan lahir harus dikubur hidup-hidup. Dan kondisi masyarakat Arab sewaktu Islam muncul, yang sarat dengan perbudakan, memberikan suatu pemahaman bahwa secara sistematis makna bebas(hurr) yang dimaksud oleh Islam itu berlawanan dengan budak(‘abad)
            Memahami hubungan penguasa dengan masyarakat(rakyat) maka harus didasarkan pada suatu ketentuan hukum. Di mana dalam prinsipnya, baik otoritas seorang penguasa maupun ketaatan secara tunduk pasif warga negara tidaklah bersifat absolut dan tak terbatas. Kedua belah pihak tunduk di bawah hukum. Dengan hukum inilah aturan-aturan sekitar hubungan antara mereka ditata dengan baik, dibatasi dan ditetapkan. Seorang penguasa Muslim bisa jadi dan biasanya seorang otokrat. Tapi ia bukanlah seorang despot. Pemerintahannya, dan masa jabatannya atas pemerintahannya tersebut, ditetapkan dan diatur oleh hukum. Dengan hukum itulah ia diikat tidak kuran dari ikatan yang mengatur rakyat jelata  yang paling hina sekalipun. Artinya dalam kepemimpinan yang di contohkan dalam Islam, bahwa posisi pemerintah dengan rakyat jelata di mata hukum adalah sama.
            Sehingga prinsip utama hak-hak asasi manusia dalam masyarakat madani adalah mensosialisasikan doktrin Qur’ani tentan persamaan manusia yang dituntun dalam garis keterbukaan dan hukum, yaitu “wahai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling kenal-mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia disisi Tuhan adalah orang yang palin takwa diantara kalian”,(al-Hujarat:13). Implikasinya seluruh perintah Tuhan bila diperaktekkan dengan baik oleh manusia akan membawa kepada kebahagian hakiki. Dalam Islam ibadah kepada Tuhan merupakan tugas hidup manusia, malahan penciptaan manusia didasarkan pada suatu hikmah  agar manusia melakukan ibadah kepada Tuhan dan berbuat baik.


Artikel Terkait..:

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar