Tiadanya
tatanan sosial yang mapan bisa menghancurkan kehidupan berbangsa, menghancurkan
demokrasi dan menghilangkan keadilan, kemerdekaan, persamaan serta hak asasi
lainnya. Pengalamn perjalanan sejarah Bangsa Indonesia selama lebih setengah
abad menunjukkan ketiadaan seperti yang dimaksudkan. Oleh karena itu, upaya
penataan kembali sistem kehidupan berbagsa secara mendasar perlu dilakukan
dengan mencari rumusan baru yang diharapkan bisa menjamin tegaknya demokrasi,
keadilan, HAM, toleransi serta pluralisme. Diantara sumber utama rumusan itu,
agama (Islam) menjadi rujukan yang sangat penting untuk di apresiasi lebih jauh
dan mendalam.
Setelah sekian lama ada keengganan menjadikan
agama sebagai rujukan validitas pandangan hidup
sosial politik. Oleh karena itu, dalam persoalan penting yang menjadi
penekanan bukan membicarakan penyikapan agama terhadap konsep “masyarakat madani” tetapi mencoba
memaparkan dasar-dasar teologis-filosofis tentang elemen utama masyrakat madani,
yang ada dalam wawasan sosial Islam dan juga pengalaman praktis dalam sejarah
masyrakat Muslim.
Karena
itu sikap budaya (cultural attitude) dan
sikap keagamaan (religions attitude) serta
pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia (human
rights) merupakan usur utama yang sangat penting untuk dibicarakan. Selain
itu, aspek penting lainnya yang juga perlu dibicaralkan mengenai wawasan Islam tentang
politik yang memberikan nilai-nilai dasar dalam kehidupan berdemokrasi. Semua
elemen ini menjadi pilar penting tegaknya institusi sosial yang menjamin
munculnya masyrakat madani.
Diakui
maupun tidak konsep masyrakat madani dewasa ini adalah telah mengambil peran
sebagai sebuah agenda cita-cita masyarakat yang modern Indonesia baru.
Sekalipun masyarakat madani telah tiada secara fakta saat ini, akan tetapi
hikmah-hikmahnya tetap masih menyinari aspek-aspek masyarakat modern. Sebagaiman
contoh yang diungkapkan oleh Nurcholis Madjid, bahwa contoh yang paling mudah
dideteksi adalah konsep tentang hak asasi manusia yang dari segi pelaksanaan
misi suci beliau, puncak karier Nabi Muhammd Saw. ialah terselenggaranya “pidato perpisahan” yakni khutbah
(al-wada). Dalam pidato itulah pertama kalinya manusia diperkenalkan dengan
konsep “hak-hak asasi”, dengan inti titik tolak kesucian “hidup,
harta, dan martabat kemanusian (addima’
wa al-amwal wa al-a’radh), yang apabila dibahasa Inggriskan akan terbaca: “life, property, and dignitiy atau life,
fortune, and sacred honor”.
Dalam pidato itulah menurut penulis,
Nabi Muhammad Saw. menegaskan tentang tugas suci beliau untuk menyeru umat
manusia kepada jalan Tuhan yang Maha Esa dan menghormati apa yang menjadi
hak-hak suci sesama manusia, baik laki-laki dan perempuan. Kemudian pondasi
hak-hak asasi manusia ini, diperkuat oleh dekrit Tuhan, dari pembunuhan pertama
sesama manusia (oleh Qabil terhadap Habil) yang dijelaskan dalam al-Qur’an, s.
al-Maidah: 27-21, “Barang siapa yang membunuh seorang manusia, maka karena
orang itu (membunuh) orang lain, maka seakan-akan dia telah membunuh, manusia
seluruhnya, dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia maka
seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya”.
Keagungan konsep hak-hak asasi
manusia dengan martabatnya yang tinggi, konon kata Nurcholis Madjid menyebar ke
Barat melalui falsafah kemanusian Giovani
Pico Della Mirandilla dan sebagian melalui filsafat John Locke. Maka dari itu, jika kita menginginkan negara kita ini
maju menjadi masyarakat modern, ada baiknya jika kita merenungkan lebih
mendalam bagaimana keindahan dan ketajaman hikmah-hikmah pidato perpisahan Nabi
Muhammad dalam membangun hak-hak manusia secara universal.
Sehingga selajutnya ikatan batin
yang mendalam pada hak-hak asasi manusia tidak akan mungkin terwujud jika tidak
dipandang dan ditarik pada segmen sebagai sebuah pandangan hidup (way of life). Oleh karena itu,
kesadaran tentang hak-hak asasi manusia menuntut kemampuan pribadi yang bersangkutan
untuk menerima, meyakini dan menghayati, sebagai bagian dari rasa makna dan
tujuan (sense of meaning and purpose)
hidup pribadinya. Karena itu masalah-maslah hak-hak asasi bersangkutan dengan “perkara
pungkasan” (the problem of ultimacy),
yaitu perkara yang menjadi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mendasar: siapa
manusia itu? apa makna dan tujuan kelahirannya di dunia ini? Dan bagaimana
seharusnya pola-pola hubungan yang benar antara dia dan sesamanya, dia dan
lingkungan yang lebih luas dan seterusnya. Jawaban atas pertanyaan-pertanyan
serupa itu biasanya disediakan oleh sebuah sistem kepercayaan dan ideologi,
termasuk diantaranya adalah agama-agama.
Adalah menjawab makna dan tujuan
kemanusian perlu ditegaskan, bahwa rasa kemanusian haruslah berlandaskan pada
rasa ke-Tuhan-an. Maka kemanusian sejati hanya dapat terwujud jika dilandasi
dengan rasa ke-Tuhan-an itu. Sebab rasa kemanusian ataupun antroposentrisme
yang lepas dari rasa ke-Tuhan-an atau teosentrisme akan mudah terancam untuk
tergelincir kepada praktek-praktek pemutlakan sesama manusia, sebagaimana yang
pernah didemonstrasikan oleh eksperimen-eksperimen Komunis (yang “ateis”). Dari sinilah kemudian hak asasi manusia sebagai elemen utama masyarakat
madani, yang harus didasarkan pada nilai dasar kemanusian yang universal itu.
Bertolak dari nilai kemanusian, maka
hakekatnya hak-hak asasi manusia ialah membangun kebebasan yang manusiawi.
Termasuk kebebasan berpendapat. Jhon
Stuart Mill seorang Filosof
“kebebasan” menyatakan bahwa melahirkan pendapat dengan bebas harus dibolehkan
asalkan dengan cara yang tidak keras, dan tidak melampaui batas-bats kewajaran.
Kebebasan yang dimaksudkan dalam arti adalah pelepasan diri dari hegemonik
kekuasan dan doktrin-doktrin manusia yang telah menjadi absolut. Seperti
pengalaman hidup manusia di zaman Nabi Muhammad Saw. dimana perempuan dianggap
tidak ada nilainya untuk sebuah harga diri bagi kehidupan bersuku, akibatnya
setiap bayi perempuan lahir harus dikubur hidup-hidup. Dan kondisi masyarakat
Arab sewaktu Islam muncul, yang sarat dengan perbudakan, memberikan suatu
pemahaman bahwa secara sistematis makna bebas(hurr) yang dimaksud oleh Islam itu berlawanan dengan budak(‘abad)
Memahami hubungan penguasa dengan
masyarakat(rakyat) maka harus
didasarkan pada suatu ketentuan hukum. Di mana dalam prinsipnya, baik otoritas
seorang penguasa maupun ketaatan secara tunduk pasif warga negara tidaklah
bersifat absolut dan tak terbatas. Kedua belah pihak tunduk di bawah hukum.
Dengan hukum inilah aturan-aturan sekitar hubungan antara mereka ditata dengan
baik, dibatasi dan ditetapkan. Seorang penguasa Muslim bisa jadi dan biasanya
seorang otokrat. Tapi ia bukanlah
seorang despot. Pemerintahannya, dan
masa jabatannya atas pemerintahannya tersebut, ditetapkan dan diatur oleh
hukum. Dengan hukum itulah ia diikat tidak kuran dari ikatan yang mengatur
rakyat jelata yang paling hina sekalipun.
Artinya dalam kepemimpinan yang di contohkan dalam Islam, bahwa posisi
pemerintah dengan rakyat jelata di mata hukum adalah sama.
Sehingga prinsip utama hak-hak asasi
manusia dalam masyarakat madani adalah mensosialisasikan doktrin Qur’ani tentan persamaan manusia yang
dituntun dalam garis keterbukaan dan hukum, yaitu “wahai manusia sesungguhnya
kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan
kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya yang paling mulia disisi Tuhan adalah orang yang palin takwa
diantara kalian”,(al-Hujarat:13).
Implikasinya seluruh perintah Tuhan bila diperaktekkan dengan baik oleh manusia
akan membawa kepada kebahagian hakiki. Dalam Islam ibadah kepada Tuhan
merupakan tugas hidup manusia, malahan penciptaan manusia didasarkan pada suatu
hikmah agar manusia melakukan ibadah
kepada Tuhan dan berbuat baik.