Menurut mitologi,
sebelum kedatangan Tomanurung di tempat yang kemudian menjadi bagian dari
wilayah kerajaan Gowa, sudah terbentuk sembilan pemerintahan otonom yang
disebut Bate Selapang atau Kasuwiyang Salapang (gabungan/federasi). Sembilan
pemerintahan otonom tersebut adalah Tombolo, Lakiung, Parang-Parang, Data,
Agang Jekne, Bissei, Kalling dan Serro. Pada awalnya, kesembilan pemerintahan
otonom ini hidup berdampingan dengan damai, namun, lama kelamaan, muncul perselisihan
karena adanya kecenderugnan untuk menunjukkan keperkasaan dan semangat
ekspansi. Untuk mengatasi perselisihan ini, kesembilan pemerintahan otonom ini
kemudian sepakat memilih seorang pemimpin di antara mereka yang diberi gelar
Paccallaya. Ternyata rivalitas tidak berakhir dengan kesepakan ini, karena
masing-masing wilayah berambisi menjadi ketua Bate Selapang. Di samping itu,
Paccallaya ternyata juga tidak mampu menyelesaikan permasalahan yang terjadi.
Hingga suatu ketika, tersiar kabar bahwa di suatu tempat yang bernama Taka
Bassia di Bukit Tamalate, hadir seorang putri yang memancarkan cahaya dan
memakai dokoh yang indah.
Mendengar ada
seorang putri di Taka Basia, Paccallaya dan Bate Salapang mendatangi tempat
itu, duduk tafakkur mengelilingi cahaya tersebut. Lama-kelamaan, cahaya
tersebut menjelma menjadi wanita cantik, yang tidak diketahui nama dan
asal-usulnya. Oleh karena itu, mereka menyebutnya Tomanurung. Lalu, Paccallaya
bersama Kasuwiyang Salapang berkata pada Tomanurung tersebut, “kami semua
datang kemari untuk mengangkat engkau menjadi raja kami, sudilah engkau menetap
di negeri kami dan sombaku lah yang merajai kami”. Setelah permohonan mereka
dikabulkan, Paccallaya bangkit dan berseru, “Sombai Karaeng Nu To Gowa
(sembahlah rajamu wahai orang-orang Gowa).
Tidak lama
kemudian, datanglah dua orang pemuda yang bernama Karaeng Bayo dan
Lakipadada, masing-masing membawa sebilah kelewang. Paccallaya dan kasuwiyang
kemudian mengutarakan maksud mereka, agar Karaeng Bayo dan Tomanurung dapat dinikahkan
agar keturunan mereka bisa melanjutkan pemerintahan kerajaan Gowa. Kemudain
semua pihak di situ membuat suatu ikrar yang intinya mengatur hak, wewenang dan
kewajiban orang yang memerintah dan diperintah. Ketentuan tersebut berlaku
hingga Tomanurung dan Karaeng Bayo menghilang, ketika anak tunggal mereka
Tumassalangga Baraya lahir. Anak tunggal inlah yang selanjutnya mewarisi
kerajaan Gowa.
Kerajaan Gowa
mencapai puncak keemasannya pada abad XVI yang lebih populer dengan sebutan
kerajaan kembar “Gowa-Tallo” atau disebut pula zusterstaten (kerajaan
bersaudara). Kerajaan Dwi-Tunggal ini terbentuk pada masa pemerintahan Raja
Gowa IX, Karaeng Tumaparissi Klonna (1510-1545), dan ini sangat sulit
dipisahkan karena kedua kerajaan telah menyatakan ikrar bersama, yang terkenal
dalam pribahasa “Rua Karaeng Na Se’re Ata” (“Dua Raja tetapai satu
rakyat”). Oleh karena itu, kesatuan dua kerajaan itu disebut Kerajaan Makassar.
Masa kejayaan
Kerajaan Gowa tidak terlepas dari peran yang dimainkan oleh Karaeng Patingalloang,
Mangkubumi Kerajaan yang berkuasa 1639-1654. Nama lengkapnya adalah I
Mangadicinna Daeng Sitaba Sultan Mahmud, putra Raja Tallo VII, Mallingkaang
Daeng Nyonri Karaeng Matowaya. Sewaktu Raja Tallo I Mappaijo Daeng
Manyuru diangkat menjadi raja Tallo, usianya baru satu tahun. Karaeng
Pattingalloang diangkat untuk menjalankan kekuasaannya sampai I Mappoijo cukup
usia. Oleh karena itu dalam beberapa catatan disebutkan bahwa Karaeng
Pattingalloang adalah Raja Tallo IX.
Karaeng
Pattingalloang diangkat menjadi sebagai Mengkubumi Kerajaan Gowa-Tallo pada
tahun 1639-1654, mendampingi Sultan Malikussaid, yang memerintah pada tahun
1639-1653. Karaeng Pattingalloang, dilantik menjadi Tumabbicara Butta
Kerajaan pada hari Sabtu, tanggal 18 Juni 1639. Jabatan itu didapatkannya
setelah ia menggantikan ayahnya Karaeng Matowaya. Pada saat ini menjabat
Mangkubumi, Karajaan Makassar telah menjadi sebuah kerajaan terkenal dan banyak
mengundang perhatian negeri-negeri lainnya.
Karaeng
Pattingalloang adalah putra Gowa yang kepandaiannya atau kecakapannya melebihi
orang-orang Bugis Makassar pada umumnya. Dalam usia 18
tahun ia telah menguasai banyak bahasa, di antaranya bahasa Latin, Yunani,
Itali, Perancis, Belanda, Arab, dan beberapa bahasa lainnya. Selain itu juga
memperdalam ilmu falak. Pemerintah Belanda melalui wakil-wakilnya di Batavia di
tahun 1652 menghadiahkan sebuah bola dunia (globe) yang khusus dibuat di negeri
Belanda, yang diperkirakan harganya f 12.000. Beliau meninggal pada tanggal 17
September 1654 di Kampung Bontobiraeng. Sebelum meninggalnya ia telah
mempersiapkan 500 buah kapal yang masing-masing dapat memuat 50 awak untuk
menyerang Ambon.
Karaeng
Pattingolloang adalah juga seorang pengusaha internasional, beliau bersama
dengan Sultan Malikussaid berkongsi dengan pengusaha besar Pedero La Matta,
Konsultan dagang Spanyol di Bandar Somba Opu, serta dengan seorang pelaut ulung
Portugis yang bernama Fransisco Viera dengan Figheiro, untuk berdagang di dalam
negeri. Karaeng
Pattingalloang berhasil mengembangkan/meningkatkan perekonomian dan perdagangan
Kerajaan Gowa. Di kota Raya Somba Opu, banyak diperdagangkan kain sutra,
keramik Cina, kain katun India, kayu Cendana Timor, rempah-rempah Maluku, dan
Intan Berlian Borneo.
Pada pedagang-pedagang Eropa yang datang ke Makassar
biasanya membawa buah tangan yang diberikan kepada para pembesar dan
bangsawan-bangsawan di Kerajaan Gowa. Buah tangan itu kerap kali juga
disesuaikan dengan pesan yang dititipkan ketika mereka kembali ke tempat
asalnya. Karaeng Pattingalloang ketika diminta buah tangan apa yang
diinginkannya, jawabnya adalah buku. Oleh karena itu tidak mengherankan jika
Karaeng Pattingalloang memiliki banyak koleksi buku dari berbagai bahasa.
Karaeng Pattingalloang adalah sosok cendikiawan yang
dimiliki oleh Kerajaan Makassar ketika itu. Karena itu pedulinya terhadap ilmu
pengetahuan, sehingga seorang penyair berkebangsaan Belanda yang bersama Joost
van den Vondel, sangat memuji kecendikiawannya dan membahasakannya dalam sebuah
syair sebagai berikut:
“Wiens
aldoor snuffelende brein
Een gansche werelt valt te klein”
Een gansche werelt valt te klein”
Yang artinya sebagai berikut:
“Orang
yang pikirannya selalu dan terus menerus mencari sehingga seluruh dunia rasanya
terlalu sempit baginya”.
Karaeng
Patingalloang tampil sebagai seorang cendekiawan dan negarawan di masa
lalu. Sebelum beliau meninggal dunia, beliau pernah berpesan untuk generasi
yang ditinggalkan antara lain sebagai berikut:
Ada lima penyebab runtuhnya suatu kerajaan besar, yaitu:
- Punna taenamo naero nipakainga’ Karaeng Mangguka,
- Punna taenamo tumanggngaseng ri lalang Pa’rasangnga,
- Punna taenamo gau lompo ri lalang Pa’rasanganga,
- Punna angngallengasemmi soso’ Pabbicaraya, dan
- Punna taenamo nakamaseyangi atanna Mangguka.
Yang artinya sebagai berikut :
- Apabila raja yang memerintah tidak mau lagi dinasehati atau diperingati,
- Apabila tidak ada lagi kaum cerdik cendikia di dalam negeri,
- Apabila sudah terlampau banyak kasus-kasus di dalam negeri,
- Apabila sudah banyak hakim dan pejabat kerajaan suka makan sogok, dan
- Apabila raja yang memerintah tidak lagi menyayangi
rakyatnya.
Beliau wafat ketika ikut dalam barisan Sultan Hasanuddin
melawan Belanda. Setelah wafatnya, ia kemudian mendapat sebutan “Tumenanga ri
Bonto Biraeng”.
Dari sudut pandang terminologi, belum ada kesempatan
(konsensus) arti kata Gowa yang menjelaskan secara utuh asal-usul kata
serapan Gowa. Arti yang ada hanyalah asumsi dan perkiraan antara lain:
pertama, kata Gowa berasal dari “goari”, yang berarti kamar atau
bilik/perhimpun; kedua, berasal dari kata “gua”, yang berarti liang yang
berkait dengan tempat kemunculan awal Tomanurung ri Gowa (Raja Gowa I)
di gua/perbukitan Taka Bassia, Tamalate (dalam bahasa Makassar artinya tidak
layu) yang kemudian secara politik kata Gowa dipakai untuk
mengintegrasikan kesembilan kasuwiang (Bate Salapang) yang
bersifat federasi di bawah paccallaya, yang kemudian menjadi kekuasaan
tunggal Tomanurung, sehingga leburlah Bate Salapang menjadi
Kerajaan “Gowa” yang diperkirakan berdiri pada abad XIII (1320).
Sampai masa kekuasaan Raja Gowa VIII I Pakere’ Tau
Tunnijallo ri Passukki, pemerintahan kerajaan dipusatkan di Taka Bassia
(Tamalate) sebagai istana Raja Gowa I. Kemudian istana raja ini dipindahkan ke
Somba Opu oleh Raja Gowa IX Daeng Mantare Karaeng Mengunungi yang bergelar
Tumapa’risi Kallonna karena dianggap lebih menguntungkan dan strategis sebagai
kerajaan yang maju di bidang ekonomi dan politik. Pada masa inilah Kerajaan
Gowa mulai memperluas kekuasaannya dan menaklukkan berbagai daerah sekitarnya
termasuk menjalin hubungan kerjasama dan perjanjian dengan kerajaan-kerajaan
lain. Hal ini berlangsung sampai Raja Gowa XII, I Manggorai
Daeng Mammeta Karaeng Bonto Langkasa (1565-1590). Ambisi itulah yang menjadikan
Kerajaan Gowa-Tallo menjadi kerajaan besar. Bandar yang dimilikinya menjadi
bandar persinggahan niaga dunia yang sangat maju karena telah memiliki berbagai
fasilitas sebagaimana layaknya negara-negara besar lain di abad XVI dan XVII.
Pada waktu itu pemerintah menjalankan sistem politik terbuka berdasarkan teori Mare
Leberum (laut bebas) yang memberi jamina usaha para pedagang asing. Akan
tetapi, ambisi itu pula yang menciptakan persaingan yang bersifat terselubung
(laten) ketika ingin memegang hegomoni dan zuserenitas di Sulewasi,
terutama persaingannya dengan Kerajaan Bone. Ketika persaingan itu memuncak,
Belanda memanfaatkan situasi tersebut dengan melancarkan politik devide et
impera (pecah belah dan kuasai) serta menerapkan sistem monopoli yang
sangat bertentangan dengan prinsip mare liberum hingga meletusnya perang
Makassar (1666-1669).
Di sisi lain,
agama Islam salah satu alasan perlawanan Bone ketika Gowa berusaha
mengintroduksi agama Islam. Usaha itu diprakarsai oleh Raja Gowa XV I
Mangerangi Daeng Manrabbia Karaeng Lakiung bergelar Sultan Alauddin Tumenanga
ri Gaukanna (1593-1639) yang menjadi muslim pada tanggal 9 Jumadil 1051 H
atau 20 September 1605. Beliau berusaha mewujudkan penyatuan Sulawesi tetapi
tidak terealisir sampai masa pemerintahan Sultan Hasanuddin (1653-1669) yang
berakhir dengan Pernjanjian Bungaya pada tanggal 18 November 1667 setelah
Perang Makassar.