BAB I
PENDHULUAN
A.Latar Belakang
Hukum Pengungsi internasional adalah turunan dari salah satu pengaturan hukum internasional. Hukum pengungsi internasional lahir demi menjamin keamanan dan keselamatan pengungsi internasional di negara tujuan mengungsi. Selain memberikan perlindungan dinegara tujuan, pengungsi internasional juga dilindungi oleh negara-negara yang dilewatinya dalam perjalanan ke negara tujuan mengungsi.
Dalam dunia internasional yang mengalami perkembangan baik dari segi informasi, teknologi serta juga dalam bidang hukum internasional. Hal ini pun terjadi dibidang hukum pengungsi internasional. Pengunsi internasional,
terjadi
dinegara-negara dunia tentu saja diakibatkan oleh kondisi-kondisi yang membuat
seseorang lebih memilih untuk berpidah (mengungsi) dari negara asalnya kenegara
lain. Kondisi-kondisi yang dimaksud, adalah kondisi yang tidak aman bagi
seseorang atau kelompok, apabila tetap berada pada wilayah negara tertentu,
jadi demi keamanan dan keselamatan orang, kelompok tersebut memilih untuk
berpindah kewilyah negara yang lebih aman bagi mereka.A.Latar Belakang
Hukum Pengungsi internasional adalah turunan dari salah satu pengaturan hukum internasional. Hukum pengungsi internasional lahir demi menjamin keamanan dan keselamatan pengungsi internasional di negara tujuan mengungsi. Selain memberikan perlindungan dinegara tujuan, pengungsi internasional juga dilindungi oleh negara-negara yang dilewatinya dalam perjalanan ke negara tujuan mengungsi.
Dalam dunia internasional yang mengalami perkembangan baik dari segi informasi, teknologi serta juga dalam bidang hukum internasional. Hal ini pun terjadi dibidang hukum pengungsi internasional. Pengunsi internasional,
Namun pada perkembangan dunia internasional perluh kiranya diketahui bahwa tidak semua orang, kelompok yang berpindah dari satu wilayah negara ke wilayah negara lainnya dengan serta merta dikategorikan sebagai pengungsi internasional. Banyak dari orang, kelompok yang berpindah dari negaranya dengan cara illegal. Illegal disini maksudnya dengan menjadi imigran gelap atau memasuki wilayah suatu negara dengan cara yang tidak sesuai dengan aturan internasional.
Selain dengan cara menjadi imigran gelap, ada pula yang dilakukan dengan mengajukan permintaan suaka kepada negara tujuan sesuai dengan aturan dan kategori untuk mendapatkan suaka. Agar jelas perbedaan dari pengungsi internasional dengan cara-cara lain yang dilakukan dalam memasuki wilayah suatu negara maka penulis menengahkan rumusan masalah seperti dibawah ini.
B.Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang diangkat dalam penulisan ilmiah ini adalah sebagai berikut:
1.Bagaimana keadaan seseorang bisa dikatakan sebagai pengungsi dan Bagaimana peran UNHCR di indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
1.Kedudukan Pengungsi Internasional dan Peran UNHCR di Indonesia
Pada rumusan masalah telah di ketengahkan bahwa bukan hanya dengan cara menjadi pengungsi internasional, orang, kelompok dapat melakukan perpindahan dari negara asal ke negara tujuan. Banyak cara yang bisa dilakukan oleh orang, kelompok untuk melakukan perpindahan ke wilayah negara tujuan.
Cara yang dilakukan oleh orang, kelompok untuk berpindah ke wilayah negara tujuan menentukan sikap negara tujuan dalam menangani orang, kelompok tersebut. Hal ini menjadi penting karena tentunya penanganan oleh negara tujuan sesuai dengan aturan internasional yang menjadi aturan yang disepakati oleh negara-negara didunia.
Migrasi yang dilakukan oleh orang, kelompok tersebut berkaitan erat dengan Hak Asasi manusia (HAM), terutama mengenai Suaka dan Pengungsi Internasional. Hal ini pun mendapat perhatian oleh pemerintah Negara Republik Indonesia. Direktorat Jenderal Imigrasi Indonesi bekerjasama dengan UNHCR melaksanakan Program Peningkatan Kapasitas dalam bentuk 15 (lima belas) kegiatan workshop yang terkait dengan masalah pengungsi yaitu “Workshop Antar Instansi Pemerintah mengenai Hukum Pengungsi Internasional dan Peran UNHCR di Indonesia”di Hotel Santosa Resort, Lombok Nusa Tenggara Barat, 20-21 Juli 2010.
Rencana Hak Asasi Manusia (Ranham) 2004-2009 yang akan diperbarui pada RANHAM 2010-2014 . Pada prinsipnya permasalahan pengungsi dan pencari suaka merupakan hal yang erat hubungannya dengan pertimbangan kemanusian dan hak asasi manusia. Permasalahan pengungsi sangat rentan dengan adanya kejahatan-kejahatan lintas negara, seperti penyelundupan manusia (people smuggling) dan perdagangan manusia (trafficking in persons).
Dalam sambutannya Haryo Sasongko, mengharapkan bahwa dalam workshop ini para peserta dapat melakukan peningkatan koordinasi kerja untuk melakukan pengembangan dan pertukaran data, informasi dan analisa antar negara regional. Sehingga dapat mencegah terjadinya kejahatan-kejahatan lintas negara, seperti penyelundupan manusia (people smuggling) dan perdagangan manusia (trafficking in persons) dan juga adanya tumpangan kepentingan dari tujuan migrasi para pencari suaka dan pengungsi .
Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia menjadi negara tujuan bagi para pemohon Suaka dan Pengungsi internasional. Menurut data United Nations High Commissioner for Refugee (UNHCR), hingga bulan Juni 2009 tercatat ada 1.928 orang migran masuk ke Indonesia. Dari data tersebut terdapat 441 orang sebagai pengungsi dan 1.478 orang pencari suaka. Lebih lanjut, UNHCR mencatat lima negara asal pencari suaka dan pengungsi yang masuk ke Indonesia ialah Afghanistan (1.200 orang), Myanmar (300 orang), Irak (282 orang) dan sisanya dari negara Sri Lanka dan Somalia. Pusat penyebaran mereka pun terdapat di beberapa daerah seperti Jakarta (908 orang), Aceh (265 orang), Bogor (254 orang), Mataram (174 orang) dan di daerah lainnya 100 orang. Dari data tersebut, dapat kita asumsikan bahwa Indonesia merupakan tempat strategis, baik sebagai tempat mengungsi maupun sebagai tempat transit para pengungsi. Hal ini yang melatarbelakangi adanya kebutuhan yang penting dan mendesak yang perlu diakomodir oleh pemerintah, karena sampai saat ini Indonesia belum meratifikasi Konvensi Wina 1951 tenang Status Pengungsi .
Walaupun Indonesia belum meratifikasi Konvensi Wina 1951, Setidaknya terdapat tiga peraturan yang bersifat administratif dan teknis yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah terkait \ dengan persoalan pengungsi, walaupun tanpa menggunakan atau mendefinisikan istilah “pengungsi” sebagaimana dipahami berdasarkan hukum internasional. Instrumen nasional, pertama adalah Surat Edaran Perdana Menteri No.11/RI/1956 tanggal 7 September 1956 tentang Perlindungan Pelarian Politik. Yang kedua adalah Keputusan Presiden No.38 Tahun 1979 tentang Koordinasi Penyelesaian Masalah Pengungsi Vietnam. Dan yang ketiga adalah Keputusan Presiden No.3 Tahun 2001 tentang Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi .
Dari ketiga aturan tersebut jelas bahwa Indonesia sangat antusias mengenai perluhnya meratifikasi Konvensi Wina 1951 sebagai instrument hukum internasional bagi pengungsi internasional.
Untuk menentukan seseorang adalah pengungsi internasional rujukan yuridisnya adalah Konvensi Wina 1951 tentang Status Pengungsi pada Pasal 1 bagian A poin 2, yang berbunyi :
Sebagai akibat peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum 1 Januari 1951 dan dikarenakan ketakutan yang beralasan akan disiksa karena alasan-alasan ras, agama, kewarganegaraan, keanggotaan dari suatu kelompok sosial tertentu atau pendapat politik, ada di luar negara kewarganegaraannya dan tidak dapat, atau karena ketakutan tersebut tidak mau memanfaatkan kesempatan untuk memperoleh perlindungan dari negara yang bersangkutan, atau yang karena tidak mempunyai kewarganegaraan dan karena berada di luar negara bekas tempat tinggalnya, scbagai akibat peristiwa-peristiwa tersebut, tidak memungkinkan atau, dikarenakan ketakutan tersebut, tidak mau kembali ke bekas tempat tinggalnya itu .
Dari pasal ini dapat ditarik beberapa poin yang berkaitan dengan status orang, kelompok yang kemudian dapat dikatakan Pengunsi Internasional. Poin itu adalah karena alasan-alasan ras, agama, kewarganegaraan, keanggotaan dari suatu kelompok sosial tertentu atau pendapat politik. Namun poin yang paling menentukan seseorang bisa dikategorikan sebagai pengungsi adalah mengenai ancaman terhadap jiwa mereka apabila tetap berada di negara asal mereka. Pasal ini berkaitan dengan jaminan Hak Asasi Manusia yang sangat dijunjung tinggi negara Indonesia.
Pengungsi internasional dikalangan awan hampir memiliki arti yang sama dengan Suaka internasional. Dalam kaitannya dengan suaka, perlu dibedakan perbedaan antara pencari suaka dan pengungsi, Perbedaan itu ada pada status suakanya. Pada dasarnya kedua pihak adalah orang yang terpaksa memutuskan hubungan dengan negara asalnya karena rasa takut yang mendasar dan tidak mungkin untuk kembali lagi. Akan tetapi kedudukan dari seorang pencari suaka dikatakan demikian apabila dalam pengajuan suakanya pada negara lain yang bersangkutan belum diakui status suakanya atau apabila suakanya itu ditolak sementara pengungsi adalah status kelanjutan keberadaannya di luar negeri apabila status suakanya itu diterima oleh negara lain dengan mengacu pada ketentuan hukum internasional yang ada.
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Dari pembahasan diatas penulis menarik kesimpulan bahwa sangat penting perlindungan dilakukan terhadap para pengungsi internasional baik oleh negara tujuan, atau negara-negara yang menjadi negara persinggahan sebelum para pengungsi sampai pada negara tujuan, mengingat kondisi para pengungsi yang sangat riskan menjadi sasaran kejahatan dikarenakan para pengungsi internasional selalu melakukan perjalanannya dengan persiapan yang kurang baik.
B.Saran
Sebagai bangsa yang menjujung tinggi penghormatan dan penegakan hak asasi manusia, hendaknya rejim pengaturan secara legal terhadap pengungsi dan pencari suaka di negara ini bisa diciptakan lebih komprehensif, baik mekanisme hukum dan kelembagaannya. Salah satu langkah strategis ialah dengan meratifikasi Konvensi Wina 1951 tentang Status Pengungsi dan Protokolnya. Memang kebijakan luar negeri belum menjadi hal yang populer dan menjual pada masa kampanye saat ini. Kebijakan soal hak asasi manusia seringkali dilihat hanya sesempit masalah perut, namun sebenarnya terdapat banyak ancaman terhadap martabat manusia, termasuk masalah pengungsi dan pencari suaka. Sebagaimana Arendt berpendapat bahwa human rights are not a given of human nature; they are the always tenuous results of a politics that seeks to establish them, a vigorous politics intent on constituting relatively secure spaces of human freedom and dignity. Jadi, sebagai negara bangsa, Indonesia justru jangan menjadi pengahalang terhadap ‘pencarian’ martabat manusia dengan hanya mengakui hak suaka dalam konstitusi, namun lebih melihat ini sebagai the fundamental deprivation of human rights.