I. PENDAHULUAN
Berbicara mengenai lembaga negara
berarti berbicara mengenai alat kelengkapan yang ada dalam sebuah negara. Alat
kelengkapan negara berdasarkan teori klasik hukum negara meliputi, kekuasaan
eksekutif, dalam hal ini bisa Presiden atau Perdana Menteri atau Raja;
kekuasaan legislatif, dalam hal ini bisa disebut parlemen atau dengan nama lain
seperti Dewan Perwakilan Rakyat; dan kekuasaan yudikatif seperti Mahkamah Agung
atau supreme court. Setiap alat kelengkapan negara tersebut bisa memiliki
organ-organ lain untuk membantu melaksanakan fungsinya.
Kekuasaan eksekutif, misalnya,
dibantu oleh menteri-menteri yang biasanya memiliki suatu depertemen tertentu.
Meskipun demikian, dalam kenyataanya,
tipe-tipe lembaga yang diadopsi setiap
negara berbeda-beda sesuai dengan perkembangan sejarah politik kenegaraan dan
juga sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam negara yang bersangkutan. Secara
konseptual, tujuan diadakan lembaga-lembaga negara atau alat kelengkapan negara
adalah selain untuk menjalankan fungsi negara, juga untuk menjalankan fungsi
pemerintahan secara aktual.
Lembaga-lembaga negara harus
membentuk suatu kesatuan proses yang satu sama lain saling berhubungan dalam
rangka penyelengaraan fungsi negara atau istilah yang digunakan Prof. Sri
Soemantri adalah actual governmental process. Jadi, meskipun dalam praktiknya
tipe lembaga-lembaga negara yang diadopsi setiap negara bisa berbeda, secara
konsep, lembaga-lembaga tersebut harus bekerja dan memiliki relasi sedemikian
rupa sehingga membentuk suatu kesatuan untuk merealisasikan secara praktis
fungsi negara dan ideologis mewujudkan tujuan negara jangka panjang.
Dalam negara hukum yang demokratik,
hubungan antara infra struktur politik (Socio Political
Sphere) selaku pemilik kedaulatan (Political Sovereignty)
dengan supra struktur politik (Governmental Political Sphere) sebagai pemegang
atau pelaku kedaulatan rakyat menurut hukum (Legal Sovereignty),
terdapat hubungan yang saling menentukan
dan saling mempengaruhi. Oleh karena itu, hubungan antar dua komponen
struktur ketatanegaraan tersebut ditentukan dalam UUD, terutama supra struktur
politik telah ditentukan satu sistem, bagaimana kedaulatan rakyat sebagai dasar
kekuasaan tertinggi negara itu dibagi-bagi dan dilaksanakan oleh lembaga-
lembaga negara.
Untuk memahami kedudukan dan
hubungan lembaga negara terlebih dahulu harus memahami konteks sejarah dan
suasana politik yang terjadi. Kedudukan lembaga negara dapat dilihat dari
konteks negara dan konteks masyarakat. Lembaga negara dalam konteks negara
dapat diketahui melalui sistem dan mekanisme
penyelenggaraan pemerintahan yang berlaku sebagaimana yang
dianut dalam UUD NRI 1945. dalam konteks masyarakat dapat dilihat dari kerja
Infra Struktur Politik masyarakat yang meliputi partai politik (political
party), golongan kepentingan (interest group), golongan penekan (pressure
group), alat komunikasi politik (media political communication), dan tokoh
politik (political figure) dalam mempengaruhi dan mengarahkan kebijakan-
kebijakan penyelenggara negara.
II. LEMBAGA NEGARA DALAM SISTEM KETATANEGARAAN
Lembaga negara merupakan lembaga pemerintahan negara yang berkedudukan di pusat yang fungsi, tugas, dan kewenangannya diatur secara tegas dalam UUD. Secara keseluruhan UUD 1945 sebelum perubahan mengenal enam lembaga tinggi/tertinggi negara, yaitu MPR sebagai lembaga tertinggi negara; DPR, Presiden, MA, BPK, dan DPA sebagai lembaga tinggi negara. Namun setelah perubahan, lembaga negara berdasarkan ketentuan UUD adalah MPR, DPR, DPD, Presiden, BPK, MA, MK, dan KY tanpa mengenal istilah lembaga tinggi atau tertinggi negara.
UUD 1945 mengejawantahkan prinisip
kedaulatan yang tercermin dalam pengaturan penyelenggaraan negara. UUD 1945
memuat pengaturan kedaulatan hukum, rakyat, dan negara karena didalamnya mengatur
tentang pembagian kekuasaan yang berdasarkan pada hukum, proses penyelenggaraan
kedaulatan rakyat, dan hubungan antar Negara RI dengan negara luar dalam
konteks hubungan internasional.
Untuk mengetahui bagaimana proses
penyelenggaraan negara menurut UUD, maka Prinsip pemisahan dan pembagian
kekuasaan perlu dicermati karena sangat mempengaruhi hubungan dan mekanisme
kelembagaan antar lembaga negara. Dengan penegasan
prinsip tersebut, sekaligus untuk menunjukan ciri
konstitusionalisme yang berlaku dengan maksud untuk menghindari adanya
kesewenang-wenangan kekuasaan.
Adanya pergeseran prinsip pembagian ke pemisahan kekuasaan yang dianut dalam
UUD 1945 telah membawa implikasi pada pergeseran kedudukan dan hubungan tata
kerja antar lembaga negara dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, baik
dalam kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Perubahan prinsip yang
mendasari bangunan pemisahan kekuasaan antar lembaga negara adalah adanya
pergeseran kedudukan lembaga pemegang kedaulatan rakyat yang semula ditangan
MPR dirubah menjadi dilaksanakan menurut UUD.
Dengan perubahan tersebut, jelas
bahwa UUD yang menjadi pemegang kedaulatan rakyat dalam prakteknya dibagikan
pada lembaga-lembaga dengan pemisahan kekuasaan yang jelas dan tegas. Di bidang
legislatif terdapat DPR dan DPD; di bidang eksekutif terdapat Presiden dan
Wakil Presiden yang dipilih oleh rakyat; di bidang yudikatif terdapat Mahkamah
Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial; di bidang pengawasan keuangan
ada BPK. Namun demikian, dalam pembagian kekuasaan antar lembaga negara
terdapat kedudukan dan hubungan tata kerja antar lembaga negara yang
mencerminkan adanya kesamaan tujuan dalam penyelenggaraan negara.
A. Majelis
Permusyawaratan Rakyat
Sebelum Perubahan UUD 1945, kedaulatan
berada di tangan rakyat dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat. MPR memiliki tugas dan wewenang yang
sangat besar dalam praktek penyelenggaraan negara, dengan
kewenangan dan posisi yang demikian penting, MPR disebut sebagai “lembaga
tertinggi negara”, yang juga berwenang mengeluarkan ketetapan-ketetapan yang
hierarki hukumnya berada di bawah Undang-Undang Dasar dan di atas
undang-undang.
Setelah Perubahan UUD 1945,
kedaulatan rakyat tidak lagi dilaksanakan oleh MPR, tetapi dilaksanakan
“menurut undang-undang dasar”. Dengan demikian, kedaulatan dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan Undang- Undang Dasar dan diejawantahkan oleh semua lembaga
negara yang disebutkan di dalam Undang-Undang Dasar sesuai dengan tugas dan
wewenang masing-masing. Dengan perubahan tugas dan fungsi MPR dalam sistem
ketatanegaraan, saat ini, semua lembaga negara memiliki kedudukan yang setara
dan saling mengimbangi.
Saat ini, MPR terdiri atas anggota
DPR dan anggota DPD yang semuanya dipilih oleh rakyat dalam pemilu, bukan
lembaga DPR dan lembaga DPD. Komposisi keanggotaan tersebut
sesuai dengan prinsip demokrasi perwakilan yaitu “perwakilan
atas dasar pemilihan” (representation by election).
Dengan ketentuan baru ini secara
teoritis berarti terjadi perubahan fundamental dalam sistem ketatanegaraan,
yaitu dari sistem yang vertikal hierarkis dengan prinsip supremasi MPR menjadi
sistem yang horizontal- fungsional dengan prinsip saling mengimbangi dan saling
mengawasi antarlembaga negara.
MPR tidak lagi menetapkan garis-garis besar haluan negara, baik yang berbentuk
GBHN maupun berupa peraturan perundang-undangan, serta tidak lagi memilih dan
mengangkat Presiden dan Wakil Presiden. Hal ini berkaitan dengan perubahan UUD
1945 yang menganut sistem pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung
oleh rakyat yang memiliki program yang ditawarkan langsung kepada rakyat. Jika
calon Presiden dan Wakil Presiden itu menang maka program itu menjadi program
pemerintah selama lima tahun. Berkaitan dengan hal itu, wewenang MPR adalah
melantik Presiden atau Wakil Presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat.
Dalam hal ini MPR tidak boleh tidak melantik Presiden dan/ atau Wakil Presiden
yang sudah terpilih.
Wewenang MPR berdasarkan Pasal 3 dan
Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) UUD Tahun 1945 adalah:
- mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar;
- melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden;
- memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar;
- memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya;
- memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya berhenti secara bersamaan dalam masa jabatannya, dari dua pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.
B. Dewan Perwakilan Rakyat
Dewan Perwakilan Rakyat merupakan lembaga negara yang memegang kekuasaan
legislatif sebagaimana tercantum pada Pasal 20 ayat (1) UUD 1945. Dalam UUD
1945 secara eksplisit dirumuskan tugas, fungsi, hak, dan wewenang DPR yang
menjadi pedoman dalam pola penyelenggaraan negara.
Anggota DPR dipilih melalui
pemilihan umum. Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk mewujudkan asas kedaulatan
rakyat yang secara implisit menjiwai Pembukaan UUD 1945, dengan demikian tidak
ada lagi anggota DPR yang diangkat. Hal itu sesuai dengan paham demokrasi
perwakilan yang mendasarkan keberadaannya pada prinsip perwakilan atas dasar
pemilihan (representation by election). Melalui rekruitmen anggota DPR dalam
pemilu, diharapkan demokrasi semakin berkembang dan legitimasi DPR makin kuat.
Dengan pengaturan secara eksplisit
dalam UUD 1945 bahwa DPR sebagai lembaga pemegang kekuasaan legislatif akan
lebih memberdayakan DPR dan mengubah peranan DPR yang sebelumnya hanya bertugas
membahas dan memberikan persetujuan terhadap rancangan undang-undang yang
dibuat oleh Presiden (kekuasaan eksekutif).
Pergeseran kewenangan membentuk undang-undang, yang sebelumnya di tangan Presiden dialihkan kepada DPR, merupakan langkah konstitusional untuk meletakkan secara tepat fungsi lembaga negara sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing, yakni DPR sebagai lembaga pembentuk undang-undang (kekuasaan legislatif) dan Presiden sebagai lembaga pelaksana undang-undang (kekuasaan eksekutif). Namun, UUD 1945 juga mengatur kekuasaan Presiden di bidang legislatif, antara lain ketentuan bahwa pembahasan setiap rancangan undang-undang (RUU) oleh DPR dilakukan secara bersama-sama dengan Presiden.
Pergeseran kewenangan membentuk undang-undang, yang sebelumnya di tangan Presiden dialihkan kepada DPR, merupakan langkah konstitusional untuk meletakkan secara tepat fungsi lembaga negara sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing, yakni DPR sebagai lembaga pembentuk undang-undang (kekuasaan legislatif) dan Presiden sebagai lembaga pelaksana undang-undang (kekuasaan eksekutif). Namun, UUD 1945 juga mengatur kekuasaan Presiden di bidang legislatif, antara lain ketentuan bahwa pembahasan setiap rancangan undang-undang (RUU) oleh DPR dilakukan secara bersama-sama dengan Presiden.
Dengan pergeseran
kewenangan membentuk undang-undang itu, sesungguhnya
ditinggalkan pula teori pembagian kekuasaan (distribution of power) dengan
prinsip supremasi MPR menjadi pemisahan kekuasaan
(separation of power) dengan prinsip saling mengawasi dan saling mengimbangi sebagai ciri yang melekat. Hal itu juga merupakan penjabaran lebih jauh dari kesepakatan untuk memperkuat sistem presidensial.
(separation of power) dengan prinsip saling mengawasi dan saling mengimbangi sebagai ciri yang melekat. Hal itu juga merupakan penjabaran lebih jauh dari kesepakatan untuk memperkuat sistem presidensial.
Dalam menjalankan tugas dan
wewenangnya, untuk optimalisasi lembaga perwakilan serta memperkukuh
pelaksanaan saling mengawasi dan saling mengimbangi oleh DPR, DPR memiliki
fungsi yang diatur secara eksplisit dalam UUD.
Pada Pasal 20A dipertegas fungsi DPR, yaitu fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Fungsi legislasi mempertegas kedudukan DPR sebagai lembaga legislatif yang menjalankan kekuasaan membentuk undang-undang. Fungsi anggaran mempertegas kedudukan DPR untuk membahas (termasuk mengubah) Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) dan menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang ditujukan bagi kesejahteraan rakyat. Kedudukan DPR dalam hal APBN ini lebih menonjol dibandingkan dengan kedudukan Presiden karena apabila DPR tidak menyetujui RAPBN yang diusulkan Presiden, Pemerintah menjalankan APBN tahun yang lalu [Pasal 23 ayat (3)]. Fungsi pengawasan adalah fungsi DPR dalam melakukan pengawasan terhadap kebijakan dan pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan oleh Presiden (pemerintah).
Pada Pasal 20A dipertegas fungsi DPR, yaitu fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Fungsi legislasi mempertegas kedudukan DPR sebagai lembaga legislatif yang menjalankan kekuasaan membentuk undang-undang. Fungsi anggaran mempertegas kedudukan DPR untuk membahas (termasuk mengubah) Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) dan menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang ditujukan bagi kesejahteraan rakyat. Kedudukan DPR dalam hal APBN ini lebih menonjol dibandingkan dengan kedudukan Presiden karena apabila DPR tidak menyetujui RAPBN yang diusulkan Presiden, Pemerintah menjalankan APBN tahun yang lalu [Pasal 23 ayat (3)]. Fungsi pengawasan adalah fungsi DPR dalam melakukan pengawasan terhadap kebijakan dan pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan oleh Presiden (pemerintah).
Penegasan fungsi DPR dalam UUD 1945
itu akan sangat mendukung pelaksanaan tugas DPR sehingga DPR makin berfungsi
sesuai dengan harapan dan tuntutan rakyat Selanjutnya, dalam kerangka checks
and balances system dan penerapan negara hukum, dalam pelaksanaan tugas DPR,
setiap anggota DPR dapat diberhentikan dari jabatannya. Dalam masa jabatannya
mungkin saja terjadi hal atau kejadian atau kondisi yang menyebabkan anggota
DPR dapat diberhentikan sebagai anggota DPR. Agar pemberhentian anggota DPR
tersebut mempunyai dasar hukum yang baku dan jelas, pemberhentian perlu diatur
dalam undang-undang. Ketentuan ini merupakan mekanisme kontrol terhadap anggota
DPR.
Adanya pengaturan pemberhentian anggota DPR dalam masa jabatannya dalam undang-undang akan menghindarkan adanya pertimbangan lain yang tidak berdasarkan undang-undang. Ketentuan itu juga sekaligus menunjukkan konsistensi dalam menerapkan paham supremasi hukum, yaitu bahwa setiap orang sama di depan hukum, sehingga setiap warga negara harus tunduk pada hukum. Namun, dalam menegakkan hukum itu harus dilakukan dengan cara-cara yang sesuai dengan hukum.
Adanya pengaturan pemberhentian anggota DPR dalam masa jabatannya dalam undang-undang akan menghindarkan adanya pertimbangan lain yang tidak berdasarkan undang-undang. Ketentuan itu juga sekaligus menunjukkan konsistensi dalam menerapkan paham supremasi hukum, yaitu bahwa setiap orang sama di depan hukum, sehingga setiap warga negara harus tunduk pada hukum. Namun, dalam menegakkan hukum itu harus dilakukan dengan cara-cara yang sesuai dengan hukum.
C. Dewan Perwakilan Daerah
Perubahan UUD 1945 melahirkan sebuah lembaga baru dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, yakni Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Dengan kehadiran DPD dalam sistem perwakilan Indonesia, DPR didukung dan diperkuat oleh DPD. DPR merupakan lembaga perwakilan berdasarkan aspirasi dan paham politik rakyat sebagai pemegang kedaulatan, sedangkan DPD merupakan lembaga perwakilan penyalur keanekaragaman aspirasi daerah. Keberadaan lembaga DPD merupakan upaya menampung prinsip perwakilan daerah.
Sistem perwakilan yang dianut
Indonesia merupakan sistem yang khas Indonesia karena dibentuk sebagai
perwujudan kebutuhan, kepentingan, serta tantangan bangsa dan negara Indonesia.
Ketentuan UUD 1945 yang mengatur keberadaan DPD dalam struktur ketatanegaraan Indonesia itu antara lain dimaksudkan untuk:
Ketentuan UUD 1945 yang mengatur keberadaan DPD dalam struktur ketatanegaraan Indonesia itu antara lain dimaksudkan untuk:
- memperkuat ikatan daerah-daerah dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan memperteguh persatuan kebangsaan seluruh daerah;
- meningkatkan agregasi dan akomodasi aspirasi dan kepentingan daerah-daerah dalam perumusan kebijakan nasional berkaitan dengan negara dan daerah;
- mendorong percepatan demokrasi, pembangunan dan kemajuan daerah secara serasi dan seimbang.
Dengan demikian, keberadaan daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dan otonomi daerah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (5) berjalan sesuai dengan keberagaman daerah
dalam rangka kemajuan bangsa dan negara.
DPD memiliki fungsi yang terbatas di bidang legislasi, anggaran, pengawasan, dan pertimbangan. Fungsi DPD berkaitan erat dengan sistem saling mengawasi dan saling mengimbangi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Kewenangan legislatif yang dimiliki DPD adalah dapat mengajukan kepada DPR dan ikut membahas rancangan undang-undang yang terkait dengan otonomi daerah, hubungan pusat dengan daerah, pembentukan, pemekaran, dan pengabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Selain itu, DPD memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN, RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.
DPD memiliki fungsi yang terbatas di bidang legislasi, anggaran, pengawasan, dan pertimbangan. Fungsi DPD berkaitan erat dengan sistem saling mengawasi dan saling mengimbangi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Kewenangan legislatif yang dimiliki DPD adalah dapat mengajukan kepada DPR dan ikut membahas rancangan undang-undang yang terkait dengan otonomi daerah, hubungan pusat dengan daerah, pembentukan, pemekaran, dan pengabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Selain itu, DPD memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN, RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.
Dalam bidang pengawasan, DPD
mengawasi pelaksanaan berbagai undang-undang yang ikut dibahas dan diberikan
pertimbangan oleh DPD. Namun, kewenangan pengawasan menjadi sangat terbatas
karena hasil pengawasan itu hanya untuk disampaikan kepada DPR guna bahan
pertimbangan dan ditindaklanjuti. Akan tetapi, pada sisi lain anggota DPD ini
memiliki kedudukan dan kewenangan yang sama dengan DPR ketika bersidang dalam
kedudukan sebagai anggota MPR, baik dalam perubahan UUD, pemberhentian Presiden,
maupun Wakil Presiden.
UUD NRI Tahun 1945 menentukan jumlah
anggota DPD dari setiap provinsi adalah sama dan jumlah seluruh anggotanya
tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR. Penetapan jumlah wakil daerah
yang sama dari setiap provinsi pada keanggotaan DPD menunjukan kesamaan status
provinsi- provinsi itu sebagai bagian integral
dari negara Indonesia. Tidak membedakan provinsi yang banyak
atau sedikit penduduknya maupun yang besar atau yang kecil wilayahnya.
D. Presiden
Perubahan UUD 1945 yang cukup siknifikan dan mendasar bagi penyelenggaraan demokrasi yaitu pemilihan presiden secara langsung. Presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat melalui mekanisme pemilu. Pemilihan secara langsung presiden dan wakil presiden akan memperkuat legitimasi seorang presiden sehingga presiden diharapkan tidak mudah untuk diberhentikan di tengah jalan tanpa dasar memadai, yang bisa mempengaruhi stabilitas politik dan pemerintahaan secara aktual.
Presiden merupakan lembaga negara
yang memegang kekuasaan dibidang eksekutif. Seiring dengan Perubahan UUD 1945,
saat ini kewenangan Presiden diteguhkan hanya sebatas pada bidang kekuasaan
dibidang pelaksanaan pemerintahan negara. Namun demikian, dalam UUD 1945 juga
diatur mengenai ketentuan bahwa Presiden juga menjalankan fungsi yang berkaitan
dengan bidang legislatif maupun bidang yudikatif.
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang
Dasar, Presiden haruslah warga negara Indonesia yang sejak kelahirannya dan
tidak pernah menerima kewarganegaraan lain. Perubahan ketentuan mengenai
persyaratan calon Presiden dan calon Wakil Presiden dimaksudkan untuk
mengakomodasi perkembangan kebutuhan bangsa dan tuntutan zaman serta agar
sesuai dengan perkembangan masyarakat yang makin demokratis, egaliter, dan
berdasarkan rule of law yang salah satu cirinya adalah pengakuan kesederajatan
di depan hukum bagi setiap warga negara. Hal ini juga konsisten
dengan paham kebangsaan Indonesia yang
berdasarkan kebersamaan dengan tidak membedakan
warga negara atas dasar keturunan, ras, dan agama. Kecuali
itu, dalam perubahan ini juga terkandung kemauan politik untuk lebih
memantapkan ikatan kebangsaan Indonesia.
Selanjutnya, sebagai perwujudan
negara hukum dan checks and balances system, dalam UUD diatur mengenai
ketentuan tentang periode masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden serta adanya
ketentuan tentang tata cara pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden dalam
masa jabatannya. Ketentuan tersebut menunjukan bahwa jabatan Presiden dapat
dikontrol oleh lembaga negara lainnya, dengan demikian akan terhindar dari
kesewenang-wenangan dalam penyelenggaraan tugas kenegaraan.
Berkaitan dengan pelaksanaan prinsip
checks and balances system serta hubungan kewenangan antara Presiden dengan
lembaga negara lainnya, antara lain mengenai pemberian grasi, amnesti, abolisi,
dan rehabilitasi yang semula menjadi hak prerogatif Presiden sebagai kepala
negara, saat ini dalam menggunakan kewenangannya tersebut harus dengan
memperhatikan pertimbangan lembaga negara lain yang memegang kekuasaan sesuai
dengan wewenangnya. MahkamahAgung memberikan pertimbangan dalam hal pemberian
grasi dan rehabilitasi dari pelaksana fungsi yudikatif. DPR memberikan
pertimbangan dalam hal pemberian amnesti dan abolisi karena didasarkan pada pertimbangan
politik. Oleh karena itu DPR sebagai lembaga perwakilan/lembaga politik
kenegaraan adalah lembaga negara paling tepat memberikan pertimbangan kepada
Presiden mengenai hal itu.
Adanya pertimbangan MA dan DPR
(lembaga di bidang yudikatif dan legislatif) juga dimaksudkan agar terjalin
saling mengawasi dan saling mengimbangi antara Presiden dan kedua lembaga
negara tersebut dalam hal pelaksanaan tugas-tugas kenegaraan.
E. Mahkamah Agung,
Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial
Kekuasaan kehakiman dalam sistem ketatanegaraan Indonesia bertujuan untuk menyelenggarakan peradilan yang merdeka, bebas dari intervensi pihak mana pun, guna menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah mahkamah agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah mahkamah konstitusi.
Perubahan ketentuan mengenai kekuasaan kehakiman dalam UUD 1945 dimaksudkan untuk mempertegas bahwa tugas kekuasaan kehakiman dalam sistem ketatanegaraan Indonesia adalah untuk menyelenggarakan peradilan yang merdeka, bebas dari intervensi pihak mana pun, guna menegakkan hukum dan keadilan. Ketentuan ini merupakan perwujudan prinsip Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3).
Kekuasaan kehakiman dalam sistem ketatanegaraan Indonesia bertujuan untuk menyelenggarakan peradilan yang merdeka, bebas dari intervensi pihak mana pun, guna menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah mahkamah agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah mahkamah konstitusi.
Perubahan ketentuan mengenai kekuasaan kehakiman dalam UUD 1945 dimaksudkan untuk mempertegas bahwa tugas kekuasaan kehakiman dalam sistem ketatanegaraan Indonesia adalah untuk menyelenggarakan peradilan yang merdeka, bebas dari intervensi pihak mana pun, guna menegakkan hukum dan keadilan. Ketentuan ini merupakan perwujudan prinsip Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3).
Dalam UUD 1945 Pasal 24 ayat (3)
dikatakan bahwa “badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman diatur dalam undang-undang”. Ketentuan tersebut menjadi dasar hukum
keberadaan berbagai badan lain yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman,
antara lain lembaga penyidik dan lembaga penuntut.
Pengaturan dalam undang-undang
mengenai badan lain yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman membuka
partisipasi rakyat melalui wakil- wakilnya di DPR untuk memperjuangkan agar
aspirasi dan kepentingannya diakomodasi dalam pembentukan undang-undang
tersebut.
Adanya ketentuan pengaturan dalam
undang-undang tersebut merupakan salah satu wujud saling mengawasi dan saling mengimbangi
antara kekuasaan yudikatif MA dan badan peradilan di bawahnya serta MK dengan
kekuasaan legislatif DPR dan dengan kekuasaan eksekutif lembaga penyidik dan
lembaga penuntut. Selain itu, ketentuan itu dimaksudkan untuk mewujudkan sistem
peradilan terpadu (integrated judiciary system) di Indonesia.
Pencantuman Pasal
24 ayat (3) di atas juga untuk
mengantisipasi perkembangan yang terjadi pada masa yang akan datang, misalnya,
kalau ada perkembangan badan-badan peradilan lain yang tidak termasuk dalam
kategori keempat lingkungan peradilan yang sudah ada itu diatur dalam
undang-undang.
1. Mahkamah Agung
Perubahan ketentuan yang mengatur tentang tugas dan wewenang Mahkamah Agung dalam Undang-Undang Dasar dilakukan atas pertimbangan untuk memberikan jaminan konstitusional yang lebih kuat terhadap kewenangan dan kinerja MA. Sesuai dengan ketentuan Pasal 24A ayat (1), MA mempunyai wewenang: 1) mengadili pada tingkat kasasi;
2) menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang;
3) wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.
Perubahan ketentuan yang mengatur tentang tugas dan wewenang Mahkamah Agung dalam Undang-Undang Dasar dilakukan atas pertimbangan untuk memberikan jaminan konstitusional yang lebih kuat terhadap kewenangan dan kinerja MA. Sesuai dengan ketentuan Pasal 24A ayat (1), MA mempunyai wewenang: 1) mengadili pada tingkat kasasi;
2) menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang;
3) wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.
2. Mahkamah Konstitusi
Perubahan UUD 1945 juga melahirkan sebuah lembaga negara baru di bidang kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Konstitusi dengan wewenang sebagai berikut:
1) menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar;
2) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar;
3) memutus pembubaran partai politik;
4) memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Perubahan UUD 1945 juga melahirkan sebuah lembaga negara baru di bidang kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Konstitusi dengan wewenang sebagai berikut:
1) menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar;
2) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar;
3) memutus pembubaran partai politik;
4) memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Lembaga ini merupakan bagian
kekuasaan kehakiman yang mempunyai peranan penting dalam usaha menegakkan
konstitusi dan prinsip negara hukum sesuai dengan tugas dan kewenangannya
sebagaimana yang ditentukan dalam UUD 1945. Pembentukan Mahkamah Konstitusi
adalah sejalan dengan dianutnya paham negara hukum dalam UUD
1945. Dalam negara hukum harus dijaga paham konstitusional.Artinya, tidak boleh ada undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar.
1945. Dalam negara hukum harus dijaga paham konstitusional.Artinya, tidak boleh ada undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar.
Hal itu sesuai dengan penegasan
bahwa Undang-Undang Dasar sebagai puncak dalam tata urutan peraturan
perundang-undangan di Indonesia. Pengujian undang-undang terhadap UUD 1945
membutuhkan sebuah mahkamah dalam rangka menjaga prinsip konstitusionalitas
hukum.
3. Komisi Yudisial
Untuk menjaga dan meningkatkan integritas hakim agung, dalam Undang-Undang Dasar dibentuk lembaga baru yaitu Komisi Yudisial. Melalui lembaga Komisi Yudusial ini, diharapkan dapat diwujudkan lembaga peradilan yang sesuai dengan harapan rakyat sekaligus dapat diwujudkan penegakan hukum dan pencapaian keadilan yang diputus oleh hakim yang terjaga kehormatan dan keluhuran martabat serta perilakunya.
Wewenang Komisi Yudisial
menurut ketentuan UUD adalah mengusulkan pengangkatan hakim
agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Dalam proses rekrutmen hakim agung, calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada DPR untuk mendapat persetujuan dan untuk selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden.
Dalam proses rekrutmen hakim agung, calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada DPR untuk mendapat persetujuan dan untuk selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden.
Pasal 24B UUD menyebutkan Komisi
Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri
dan berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai
wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta prilaku hakim. Dengan demikian, Komisi Yudisial memiliki dua
kewenangan, yaitu mengusulkan pengangkatan calon hakim agung di Mahkamah Agung
dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga martabat serta
menjaga prilaku hakim di Mahkamah Konstitusi.
Anggota Komisi Yudisial berdasarkan
ketentuan undang-undang berjumlah 7 (tujuh) orang dan berstatus sebagai pejabat
negara yang terdiri atas mantan hakim, praktisi hukum, akademisi hukum, dan
anggota masyarakat. Keanggotaan komisi Yudisial diajukan Presiden kepada DPR,
dengan terlebih dahulu Presiden membantu panitia seleksi yang terdiri dari
unsur pemerintah, praktisi hukum, akademisi hukum, dan anggota masyarakat.
Komisi ini dibentuk sebagi respon
tehadap upaya penegakan dan reformasi di institusi peradilan, yang selama ini
dianggap kurang memuaskan. Selain itu, untuk meminimalisasi interes politik
dari anggota DPR di dalam memilih dan menentukan hakim agung di Mahkamah Agung.
Mahkamah Agung adalah institusi peradilan yang independen dan seharusnya
terlepas dari campur tangan, objektif, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Komisi Yudisial juga dibentuk untuk memberikan pengawasan
terhadap perilaku hakim. Pengawasan dilakukan secara internal peradilan
terhadap para hakim yang apabila terbukti kurang efektif dapat dilakukan
penindakan secara tegas terhadap hakim yang melakukan pelanggaran.
F. Badan Pemeriksa Keuangan
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
merupakan lembaga negara yang memegang kekuasaan dalam bidang auditor. Pengaturan
tugas dan wewenang BPK dalam Undang-Undang Dasar dimaksudkan untuk memberikan
dasar hukum yang kuat serta pengaturan rinci mengenai BPK yang bebas dan
mandiri serta sebagai lembaga negara yang berfungsi memeriksa pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan negara. Dalam rangka memperkuat kedudukan, kewenangan,
dan independensinya sebagai lembaga negara, anggotanya
dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD.
Dalam kedudukannya sebagai eksternal
auditor pemerintah yang memeriksa keuangan negara dan APBD, serta untuk dapat
menjangkau pemeriksaan di daerah, BPK membuka kantor perwakilan di setiap
provinsi. BPK mempunyai tugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang
keuangan negara. Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada DPR, dan
DPRD sesuai dengan kewenangan. Hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti
lembaga perwakilan dan/atau badan sesuai dengan undang- undang.
Mengingat BPK sebagai lembaga negara
dalam bidang auditor, untuk optimalisasi dan independensi dalam melaksanakan
tugasnya, anggota BPK dipilih oleh DPR dengan
memperhatikan pertimbangan DPD dan diresmikan oleh Presiden.
BPK berkedudukan di ibu kota negara dan memiliki perwakilan disetiap provinsi.
Terkait dengan pemeriksaan keuangan negara, BPK ditegaskan juga berwenang
memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara [Pasal 23E
ayat (1)] serta menyerahkan hasil pemeriksaan keuangan negara kepada DPR, DPD,
dan DPRD sesuai dengan kewenangannya [Pasal 23 E ayat (2)].
III. PENUTUP
Hal mendasar dalam praktek penyelenggaraan negara adalah resiko dan akibat praktek penyelewengan sistem ketatanegaraan. Perbuatan yang secara sengaja dilakukan hanya untuk kepentingan sesaat bagi kelompok individualitik kolektivitas tertentu sama dengan proses legalisasi kearah perilaku penyimpangan.
Untuk mewujudkan kedewasaan berpolitik dalam sebuah organisasi pemerintahan, terutama dituntut adanya kesadaran kolektivitas sosial. Tanpa adanya kesadaran kolektivitas akan berpotensi menimbulkan adanya stagnasi penyelenggaraan pemerintahan dan cenderung menuju kemunduran.
Model sistem
penyelenggaraan negara oleh lembaga negara
menggambarkan model interaksi menjadi sebuah skema konseptual yang satu sama
lain saling berkaitan dalam kerangka prinsip checks and balances system.
Hubungan antar lembaga negara dalam kerangka pelaksanaan tugas tercermin pada
implementasi dari akibat yang ditimbulkan dalam konsep fungsional.
Hal yang perlu dikedepankan dalam
praktek penyelenggaraan negara adalah pentingnya masing-masing lembaga negara
menjalankan tugas dan wewenangnya secara normal atau mendapat peresetujuan
rakyat mengenai praktek yang dapat diterima semua unsur dan tidak merugikan
salah satu unsur yang dapat membawa kesulitan dalam hal implementasi tindak lanjut.
Sebagai satu kesatuan sistem, unsur
penyelenggaraan negara terus menerus berinteraksi dalam kesatuan sumber yang
secara terus menerus terlibat dalam lingkungannya sesuai dengan tugas dan
wewenangnya yang dapat dipetakan dalam struktur yang dapat dikontrol oleh semua
pihak. Penekanan yang perlu menjadi komitmen semua penyelenggara negara adalah
bagaimana mengembangkan sistem yang transparan dalam rangka mengupayakan
penyelenggaraan negara yang transparan dan bertanggungjawab serta mampu
mengubah praktek yang dapat menghambat pencapaian tujuan kesejahteraan rakyat.
Penyelenggaraan negara yang aktif
dan konstruktif dalam mekanisme dan fungsi pada struktur kelembagaan akan
menjadikan pola teknis operasional yang merupakan terobosan penting dalam
perspektif menjunjung tinggi kedaulatan rakyat yang berdasarkan pada hukum.
Kualitas penyelenggaraan negara akan mudah diwujudkan melalui pembenahan sistem
yang transparan dan mampu mengubah sistem yang dipandang dapat mencemari
penyelenggaraan negara yang murni dan konsekuen.
Terkahir, kesadaran kolektivitas
dari penyelenggaran negara dan masyarakat untuk membangun sistem
penyelenggaraan negara yang transparan menjadi syarat mutlak berhasilnya suatu
negara. Penyelenggara negara dituntut untuk mentransformasi segenap kemampuan
dalam rangka mengubah diri yang memicu pada arah perbaikan serta tanggapan
kreatif dari masyarakat yang sifatnya membangun dan kontrol akan membangun
sistem dan mekanisme yang bertanggung jawab. Kesadaran kolektifitas dari
masyarakat, kelompok, dan organisasi sosial akan membangun kerangka struktural
fungsional yang optimal dan menunjang upaya mengedepankan kedaulatan rakyat
dalam kerangka negara hukum.