Ketika kita mendengar
kata "hukum," apa yang pertama kali terlintas dalam benak kita?
Biasanya jarang sekali kita langsung membayangkan suatu perangkat yang terdiri
dari benda, manusia dan lembaga. Tetapi karena kita terbiasa mengalami hal-hal
yang berkaitan dengan hukum, maka kita kadang mengidentifikasikan atau
mengartikan hukum sebagai polisi, penjara, pengadilan, atau hal-hal lain
semacamnya. Bahkan seringkali perasaan yang timbul diiringi rasa takut dan
khawatir yang berlebihan. Itu sebabnya banyak diantara kita yang sama sekali
enggan berurusan dengan hal-hal yang menyangkut hukum. Perasaan-perasaan
seperti itu sangat wajar terjadi, kalau saja kita belum memahami sepenuhnya apa
yang dimaksud dengan hukum itu sendiri. Seperti juga ketakutan kawan-kawan
untuk menuntut upah diatas UMR (Upah Minimum Regional), tujuh ribu rupiah
misalnya. Karena kawan-kawan selalu dibayangi ketakutan-ketakutan: "UMR =
Rp 4.000,-, kalau saya menuntut Rp 7.000,- maka saya melanggar hukum, menuntut
hal yang tidak wajar, berlebihan dan terlalu banyak. Dan kalau saya melanggar
hukum, maka saya akan berurusan dengan polisi atau tentara!"Benarkah pemikiran
semacam itu?
Untuk menjawabnya atau membantu kawan-kawan menemukan jawabannya, maka di bawah ini akan diuraikan tentang proses penciptaan hukum, pengertian dasar tentang hukum, hukum di tengah perkembangan masyarakat, hukum pada umumnya di Indonesia dan cara pandang kita atau analisa kita terhadap hukum perburuhan di Indonesia. Materi ini tidak dimaksudkan untuk mendorong kita menjadi ahli hukum, melainkan membantu kita untuk dapat menempatkan hukum pada posisi dan cara pandang yang benar, agar dengan demikian kita juga dapat menggunakan hukum sebagai salah satu alat dalam perjuangan kaum buruh di Indonesia.
Untuk menjawabnya atau membantu kawan-kawan menemukan jawabannya, maka di bawah ini akan diuraikan tentang proses penciptaan hukum, pengertian dasar tentang hukum, hukum di tengah perkembangan masyarakat, hukum pada umumnya di Indonesia dan cara pandang kita atau analisa kita terhadap hukum perburuhan di Indonesia. Materi ini tidak dimaksudkan untuk mendorong kita menjadi ahli hukum, melainkan membantu kita untuk dapat menempatkan hukum pada posisi dan cara pandang yang benar, agar dengan demikian kita juga dapat menggunakan hukum sebagai salah satu alat dalam perjuangan kaum buruh di Indonesia.
Proses Penciptaan
HukumPada hakekatnya hukum merupakan produk dari perkembangan masyarakat, di
mana ketidak-teraturan dan kesewenang-wenangan juga kepentingan-kepentingan
dari sekelompok masyarakat tertentu membutuhkan dan menghasilkan proses
terciptanya serangkaian ketentuan-ketentuan dan kesepakatan-kesepakatan.
Ketentuan-ketentuan yang disepakati itu kemudian dalam perkembangannya dikenal
sebagai "hukum." Sehingga pada sebuah tubuh yang namanya hukum, dia
mempunyai dua muka atau sisi: sisi keadilan dan sisi kepentingan. Apakah
maksudnya? Mari kita uraikan dalam kali pertama ini tentang proses
penciptaan hukum.
1. Proses Penciptaan
Hukum Pada Sisi Keadilan
Sekarang marilah kita
perbandingkan antara kehidupan di mana seseorang itu hidup seorang diri dan
kehidupan di mana ada sekumpulan orang yang hidup bersama. Dari perbandingan
ini akan kita dapatkan perbedaan yang cukup besar antara dua kehidupan tersebut,
di mana kesepakatan-kesepakatan yang mengatur kehidupan antar individu manusia
akan dibutuhkan pada situasi di mana manusia tinggal bersama dengan manusia
lain, saling berhubungan dan saling ketergantungan. Pada situasi ini, apabila
tidak ada peraturan yang disepakati bersama maka akan tidak beres dan tidak
tertib. Seorang manusia yang mempunyai kekuatan akan menindas dan memperlakukan
sewenang-wenang terhadap manusia lainnya. Sehingga kemudian peraturan-peraturan
yang dibuat bersama tersebut dimaksudkan agar kesewenang-wenangan tersebut
dapat dibatasi dan terdapat perlakuan yang lebih adil diantara mereka. Sehingga
fungsi hukum pada sisi ini ialah menciptakan suatu ketertiban dalam
masyarakat.
2. Proses Penciptaan
Hukum Pada Sisi Kepentingan
Di sisi lain
terciptanya hukum juga dimaksudkan untuk melegitimasi atau menjadi alat
pembenaran untuk tercapainya tujuan-tujuan individu atau kelompok yang
mempunyai kepentingan-kepentingan tertentu. Misalnya saja pada masyarakat
feodal, seseorang yang mempunyai tanah yang luas lambat laun menguasai hayat
hidup orang banyak. Karena orang-orang yang terkuasai ini tidak memiliki tanah,
maka akhirnya mereka tinggal dan mengabdikan diri di atas tanah milik tuan
tanah tersebut. Orang-orang 'miskin' itu bekerja dan sepenuhnya hidup
tergantung pada si tuan tanah. Ketika diatur suatu hukum untuk mengatur
masyarakat, maka si tuan tanah akan berusaha sekeras mungkin untuk mempengaruhi
isi hukum tersebut agar kepentingan ekonominya (atas tanah atau hartanya yang
lain) bisa dipertahankannya. Karena orang-orang yang tergantung padanya banyak,
maka ia dapat mempengaruhi orang-orang tersebut untuk mendukungnya mencapai apa
yang dia inginkan.
Sehingga pada sisi
ini maka hukum menjadi alat untuk mewakili kepentingan orang atau kelompok
yang berpengaruh. Dan proses penciptaan hukum seperti inilah yang terus
berkembang terutama pada masyarakat di mana jumlahnya sudah sedemikian
banyaknya, sehingga penciptaan hukum dilakukan lewat badan perwakilan seperti
DPR di Indonesia. Karena, menurut sejarah, dahulu kala penciptaan hukum
dilakukan dengan melibatkan seluruh masyarakat (karena masyarakatnya masih
sedikit sehingga dimungkinkan seluruh masyarakat berkumpul dan bermusyawarah
menciptakan suatu peraturan tertentu).Pengertian Dasar Tentang Hukum Dari
uraian di atas maka kita dapat simpulkan apa yang dimaksud dengan hukum
ialah suatu rangkaian atau sistem dari perangkat-perangkat yang berisi
perintah-perintah dan larangan-larangan yang ditujukan untuk terciptanya
ketertiban, di mana pelanggaran terhadapnya akan terkena sanksi.
Jadi sesungguhnya
hukum adalah salah satu norma dalam masyarakat, seperti juga norma agama,
kesusilaan dan norma kesopanan. Hanya saja, hukum adalah norma yang lebih tegas
daripada norma yang lainnya. Mengapa? Karena hukum mempunyai alat pemaksa yaitu
hukuman atau sanksi yang dapat dikenakan dan terasa oleh
pelanggar-pelanggarnya. Hukuman-hukuman ini diterapkan oleh lembaga-lembaga
penegak hukum seperti pengadilan, kepolisian, dan lain sebagainya. Nah,
sekarang tergambarlah sudah, bahwa apabila kita menyebutkan 'hukum', maka hal
itu bukan saja berarti sekumpulan kitab-kitab (buku-buku) yang tebal-tebal,
tetapi ada juga lembaga-lembaga ataupun orang-orang. Jadi hukum di sini juga
berarti:
1.
Buku-buku
yang berisi pasal-pasal mengenai larangan-larangan dan perintah-perintah;
2.
Lembaga-lembaga
penegakkan dan pembentuk hukum, misalnya: DPR Pemerintah, pengadilan,
kepolisian, lembaga-lembaga pemasyarakatan, dan lain-lain;
3.
Manusia
penegak hukum, misalnya: masyarakat, hakim, jaksa, penuntut umum, pengacara,
dan lain-lain.
Oleh karena itu,
hukum barulah dapat ditegakkan apabila faktor-faktor tersebut secara selaras
dan disiplin menerapkan hukum. Sia-sia sajalah apabila kita memiliki
peraturan-peraturan yang sempurna, tetapi hakim masih bisa disogok, atau polisi
masih sewenang-wenang. Atau seluruh perangkat telah sempurna bekerja, tetapi
masyarakat sama sekali tidak mengindahkannya atau tidak mematuhinya. Sehingga
dapat dikatakan, hukum baru dapat ditegakkan apabila seluruh subyek hukum menjalankan
fungsinya. Untuk dapat dipatuhi, maka hukum haruslah menjamin keadilan untuk
masyarakat yang akan menjalankannya. Pertanyaan yang harus kita jawab sekarang
adalah apakah hukum kita telah menjamin keadilan untuk seluruh rakyat? Karena,
apabila hukum tidak menjamin keadilan, maka akan terjadi banyak
keresahan-keresahan dalam masyarakat. Hal itu mensyaratkan bahwa haruslah
terjadi perubahan atau reformasi hukum.
Hukum dan
Perkembangan Masyarakat
Seorang hakim Agung
dari Jerman yang bernama Karl Von Savigny mengatakan bahwa "Hukum itu
tidak berdiri sendiri, tetapi tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan
masyarakat." Pernyataan itu dapat diandaikan sebagai berikut:
Pada tahun 30-an
masyarakat memakai dokar sebagai alat transportasi sehingga kemudian muncul
peraturan tentang tata tertib pemakaian dokar. Tetapi masyarakat terus
berkembang. Sekarang di tahun 90-an, masyarakat tidak lagi memakai dokar,
tetapi sudah menggunakan kendaraan bermotor seperti mobil atau sepeda motor.
Tetapi peraturan tertulis adalah benda mati. Haruskah masyarakat dikekang agar
tidak menggunakan kendaraan bermotor karena tidak ada peraturannya? Tentu saja
tidak! Melainkan, peraturanlah yang harus berubah. Maka dibuatlah sebuah
peraturan tentang kendaraan bermotor.
Persis seperti itu
pula dengan apa yang terjadi pada perkembangan perjuangan kaum buruh di
Indonesia. Kalau pada tahun 50-an kebutuhan kaum buruh dinilai dengan tidur
beralaskan tikar, berpenerangan lampu teplok, beralas kaki sandal jepit, dan
lainnya, sehingga itulah yang digunakan sebagai standar menentukan upah, apakah
di era canggih sekarang ini di mana orang telah memakai listrik, menemukan
satelit atau komputer, kita tetap menerima upah berstandarkan tikar, lampu
teplok dan sandal jepit??!! Tidak! Sekali lagi: tidak! Kenapa? Karena
masyarakat telah berkembang. Dan kita tidak hidup di tahun 50-an. Kita hidup
sekarang di tahun 90-an, di tengah teknologi dan inflasi.
Itulah karenanya
peraturan yang ada sekarang hanyalah membuat kita resah, gelisah melihat kebutuhan-kebutuhan
yang kian hari kian tak dapat terpenuhi. Lalu mengapa hukum tidak dapat
menjawab keresahan-keresahan kita? Mengapa hukum yang ada tidak membuat kita
merasa adil atau terlindungi? Jawabannya adalah karena proses penciptaan dan
perkembangan hukum yang ada sekarang telah memasuki tahap penciptaan hukum yang
berpihak pada sisi kepentingan sekelompok orang yang bernama pemodal.
Masyarakat sendiri berkembang dalam tahap-tahap. Dimulai dari masyarakat
primitif --> perbudakan --> feodal --> kapitalis --> masyarakat
tanpa klas. Setiap bentuk masyarakat itu mempunyai ciri-cirinya yang sangat
spesifik (khusus), terutama pada struktur ekonomi dan pola produksinya.
Sehingga berangkat dari ciri tersebut kemudian mempengaruhi watak negara. Yang
berarti juga mempengaruhi segala unsur dalam negara termasuk politik, hukum,
dan lainnya.Pada masyarakat kapitalis, di mana sekelompok kecil menguasai
pemilikan alat-alat produksi dan di sisi lain sekelompok besar lainnya hanya
memiliki tenaga untuk melakukan kerja, maka masyarakat terbagi atas kelas-kelas
terutama dalam hubungan ini, kelas pemilik modal dan kelas buruh. Dan pada
masyarakat kapitalis watak negara pun menjadi kapitalistis (berpihak pada klas
kapitalis). Kalau watak negara kapitalistis, maka hukum yang berlaku juga
diwarnai dengan keberpihakannya pada klas pemodal.Hukum dalam Masyarakat
IndonesiaWalaupun banyak orang yang mengatakan pasal 33 UUD 1945 bersifat
sangat sosialis, tetapi perkembangan masyarakat Indonesia, tidak dapat
dipungkiri, telah masuk dalam tahap masyarakat kapitalis. Lihatlah
pabrik-pabrik yang berdiri megah-megah itu dimiliki oleh segelintir orang saja.
Badan-badan usaha milik negara pun sekarang telah mulai diswastanisasikan,
dimiliki oleh kaum bermodal. Dan kita pun memilah orang-orang menjadi:
orang-orang bermobil, berumah mewah, memiliki perusahaan-perusahaan kita sebut
pengusaha dan orang-orang yang berebutan naik "bis karyawan," makan
mie instan setiap hari, tinggal di pemukiman-pemukiman kumuh kita sebut buruh.
Semua itu membuktikan bahwa Indonesia sekarang adalah negara kapitalis. Dan
apabila kita bertanya: jadi seperti apakah sistem hukum Indonesia? Jawabannya
pasti sistem hukum yang kapitalistis.Oleh sebabnya, secara umum dapat kita
simpulkan bahwa sulit sekali kaum tertindas di Indonesia untuk mendapatkan
keadilan melalui hukum. Banyak peristiwa yang tidak dapat diselesaikan secara
adil oleh perangkat hukum. Pengrusakkan hutan-hutan di Sumatra atau Kalimantan
misalnya. Tidak terjangkau oleh hukum karena ada kepentingan pemodal yang
mengusahakan penebangan hutan. Atau penggusuran tanah milik rakyat, tidak dapat
juga terselesaikan karena ada kepentingan untuk menjadikan tanah itu menjadi
lahan industri, _real estate_ atau lapangan golf. Atau kasus-kasus pemogokan
dan perselisihan perburuhan juga diselesaikan dengan kekerasan senjata. Banyak
juga pejabat-pejabat yang ketika dia melanggar hukum, seakan-akan hukum tak
pernah bisa menjangkaunya (kebal hukum). Dan masih banyak lagi peristiwa
lainnya yang menunjukkan begitu rentannya hukum dan betapa hukum hanyalah
menjadi alat bagi kepentingan-kepentingan mempertahankan kekuasaan dan
penguasaan modal. Sehingga sebenarnya ketika kita mencoba menganalisa hukum di
Indonesia, maka kerusakkannya tidaklah dapat disembuhkan kecuali sistemnya
dahulu diperbaiki. Dan kalau kita mempelajari lebih lanjut mengenai hukum,
kita dapat membagi hukum dalam dua cara kajian:
1. Hukum publik
yaitu hukum yang mengatur setiap perbuatan melawan hukum yang dapat dilakukan
oleh siapa pun juga (tidak mengandung unsur pihak-pihak yang bersengketa);
2. Hukum privat
yaitu hukum yang mengatur persengketaan pihak-pihak. Hukum perburuhan adalah
salah satunya. Dalam hukum perburuhan pihak-pihaknya sangat jelas, yaitu pada
intinya mengatur tentang hubungan kerja antara majikan dan buruh. Inilah yang
akan kita bahas selanjutnya.Hukum Perburuhan di IndonesiaSekarang kita akan
membahas lebih jauh tentang hukum perburuhan, yang bagi kaum buruh jenis hukum
inilah yang paling bersentuhan dengan masalah kita sehari-hari. Hukum perburuhan
sebenarnya juga merupakan hukum yang paling mudah dipelajari untuk melihat
perkembangan masyarakat yang terjadi sekarang ini di Indonesia. Namun untuk
mempelajarinya, kita harus senantiasa mengkaitkannya dengan hal-hal yang
berkembang dalam masyarakat. Misalnya begini, kenaikan upah yang ditetapkan
menurut peraturan akan dirasakan besar apabila hanya melihat jumlahnya. Tetapi
kalau kita juga mempelajari kenaikan-kenaikan harga di pasar, maka jumlah ini
akan terlihat sangat kecil, bahkan kenyataanya dapat dikatakan tidak ada
kenaikkan sama sekali.Selain itu juga secara keseluruhan peraturan-peraturan
perburuhan yang berlaku sekarang di Indonesia merupakan rangkaian dari proses
pemenjaraan hak kaum buruh. Untuk hal ini tentu saja kawan-kawan harus mempelajarinya
melalui diskusi-diskusi kelompok. Tetapi mungkin pada bagian ini kita akan coba
pelajari sedikit tentang hukum perburuhan dan di sisi apa ia sangat merugikan
kaum buruh.Peraturan Mengenai UpahUpah kecil dan sangat tidak realistis, kita
tidak perlu membahasnya karena hal itu kawan-kawanlah yang dapat merasakannya
sehari-hari. Tetapi terhadap pelanggaran ketentuan upah, apa sanksi yang dapat
dikenakan terhadap majikan? Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1981 pasal 32
menyebutkan apabila majikan melanggar ketentuan mengenai upah maka dia dapat
dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 3 bulan atau denda
setinggi-tingginya Rp 100.000,-. Sekarang marilah kita hitung, kalau saja
sebuah perusahaan mempekerjakan 1000 orang buruh, dan melanggar ketentuan upah
minimum Rp 500,- kepada setiap orang buruh setiap hari.
Dalam satu hari saja
keuntungan yang dapat diambil oleh majikan dengan merampas hak buruh mencapai =
Rp 500,- x 1000 = Rp 500.000,-. Dalam sebulan = Rp 500.000,- x 25 = Rp
12.500.000,-. Dalam satu tahun = 12 x Rp 12.500.000,- = Rp 150.000.000,-.Tentu
saja dengan hal ini majikan akan memilih melanggar ketentuan upah dengan sanksi
Rp 100.000,- ketimbang membayarkan hak buruhnya.Ketentuan ini sangat tidak
masuk akal dan sangat tidak adil untuk buruh. Padahal ketentuan hukum
menyebutkan bahwa sanksi yang dijatuhkan untuk setiap pelanggaran hukum
haruslah jauh lebih berat daripada bentuk pelanggarannya, karena itulah yang
akan membuat setiap pelanggarnya menjadi jera untuk melanggar hukum. Tetapi
apakah ketentuan ini diterapkan dalam PP No. 8 tahun 1981?Ketentuan mengenai
Hak MogokDalam konvensi ILO (Organisasi Buruh Internasional) yang telah
diratifikasi (disyahkan berlaku) oleh Indonesia dinyatakan bahwa mogok adalah hak
buruh. Dalam sejarah pun mogok memang merupakan senjata kaum buruh. Mengapa?
Karena dengan mogoklah kaum buruh dapat menyeimbangkan kekuatannya dengan
pemodal yang mempekerjakannya. Tetapi kemudian berlakulah rangkaian peraturan
yang setahap demi setahap sebenarnya mempereteli senjata kaum buruh ini.
Misalnya saja pada pasal 13 UU No. 14 tahun 1969 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Mengenai Tenaga Kerja, menyebutkan "penggunaan hak mogok,
demonstrasi dan lock out diatur dengan peraturan perundang-undangan." (UU
No. 22 tahun 1957 dan Penpres No. 7 tahun 1963) yang sesungguhnya mengatur
tentang penyelesaian perselisihan perburuhan yang di dalamnya telah mengambil
alih fungsi mogok dengan dibentuknya lembaga arbitrase yang terdiri dari
Perantaraan Depnaker, P4D, dan P4P. Lembaga-lembaga yang pada kenyataannya sama
sekali tidak berpihak pada buruh, dan sangat melemahkan tuntutan buruh terpusat
pada ketentuan normatif saja.Demikian juga tentang kesehatan dan keselamatan
kerja, hak-hak kesejahteraan lainnya, yang bukan saja tidak diatur dalam
peraturan tertulis yang berpihak pada kepentingan buruh, tetapi juga ditegakkan
oleh pegawai-pegawai negara yang pada prakteknya sangat berpihak pada
kepentingan kaum pemodal. Untuk itu kawan-kawan harus terus mempelajarinya.
Kunci dari segala permasalahan ini ialah tidak adanya organisasi atau serikat
buruh yang benar-benar dapat mewakili dan melindungi kepentingan-kepentingan
kaum buruh di Indonesia. Untuk itu negara juga merampas hak berorganisasi buruh
melalui peraturan-peraturan tentang hak berorganisasi yang sebenarnya sama
sekali tidak memberikan kesempatan kaum buruh untuk berorganisasi. Oleh karena
itu sesungguhnya hukum yang berlaku sekarang tidak dapat dijadikan alat
perjuangan kaum buruh, bahkan kaum buruh harus berjuang untuk sebuah perubahan
hukum yang lebih adil.Jadi, mempelajari hukum perburuhan bukanlah untuk membuat
kita tahu, hapal kemudian dijadikan pedoman untuk perjuangan kita. Tetapi
mempelajari hukum perburuhan berarti mencoba dengan kritis melihat sisi-sisi
yang merugikan kaum buruh dan berjuang untuk melakukan perubahan. Apabila hukum
sudah dianggap adil oleh kaum buruh, maka hukum dapat dijadikan alat untuk
perjuangan kaum buruh. Dapatkah hukum berubah? Tentu saja dapat sebagaimana
yang telah kita bahas di muka, bahwa hukum itu mengikuti perkembangan
masyarakat. Maka perkembangan kesadaran dan kekuatan kaum buruh untuk
memperjuangkan haknya adalah salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
perubahan hukum.Selamat berjuang.