Rabu, 11 Juli 2012

PEMAHAMAN DASAR TENTANG HUKUM DAN HUKUM PERBURUHAN

Ketika kita mendengar kata "hukum," apa yang pertama kali terlintas dalam benak kita? Biasanya jarang sekali kita langsung membayangkan suatu perangkat yang terdiri dari benda, manusia dan lembaga. Tetapi karena kita terbiasa mengalami hal-hal yang berkaitan dengan hukum, maka kita kadang mengidentifikasikan atau mengartikan hukum sebagai polisi, penjara, pengadilan, atau hal-hal lain semacamnya. Bahkan seringkali perasaan yang timbul diiringi rasa takut dan khawatir yang berlebihan. Itu sebabnya banyak diantara kita yang sama sekali enggan berurusan dengan hal-hal yang menyangkut hukum. Perasaan-perasaan seperti itu sangat wajar terjadi, kalau saja kita belum memahami sepenuhnya apa yang dimaksud dengan hukum itu sendiri. Seperti juga ketakutan kawan-kawan untuk menuntut upah diatas UMR (Upah Minimum Regional), tujuh ribu rupiah misalnya. Karena kawan-kawan selalu dibayangi ketakutan-ketakutan: "UMR = Rp 4.000,-, kalau saya menuntut Rp 7.000,- maka saya melanggar hukum, menuntut hal yang tidak wajar, berlebihan dan terlalu banyak. Dan kalau saya melanggar hukum, maka saya akan berurusan dengan polisi atau tentara!"Benarkah pemikiran semacam itu?
Untuk menjawabnya atau membantu kawan-kawan menemukan jawabannya, maka di bawah ini akan diuraikan tentang proses penciptaan hukum, pengertian dasar tentang hukum, hukum di tengah perkembangan masyarakat, hukum pada umumnya di Indonesia dan cara pandang kita atau analisa kita terhadap hukum perburuhan di Indonesia. Materi ini tidak dimaksudkan untuk mendorong kita menjadi ahli hukum, melainkan membantu kita untuk dapat menempatkan hukum pada posisi dan cara pandang yang benar, agar dengan demikian kita juga dapat menggunakan hukum sebagai salah satu alat dalam perjuangan kaum buruh di Indonesia.
Proses Penciptaan HukumPada hakekatnya hukum merupakan produk dari perkembangan masyarakat, di mana ketidak-teraturan dan kesewenang-wenangan juga kepentingan-kepentingan dari sekelompok masyarakat tertentu membutuhkan dan menghasilkan proses terciptanya serangkaian ketentuan-ketentuan dan kesepakatan-kesepakatan. Ketentuan-ketentuan yang disepakati itu kemudian dalam perkembangannya dikenal sebagai "hukum." Sehingga pada sebuah tubuh yang namanya hukum, dia mempunyai dua muka atau sisi: sisi keadilan dan sisi kepentingan. Apakah maksudnya? Mari kita uraikan dalam kali pertama ini tentang proses penciptaan hukum.
1. Proses Penciptaan Hukum Pada Sisi Keadilan
Sekarang marilah kita perbandingkan antara kehidupan di mana seseorang itu hidup seorang diri dan kehidupan di mana ada sekumpulan orang yang hidup bersama. Dari perbandingan ini akan kita dapatkan perbedaan yang cukup besar antara dua kehidupan tersebut, di mana kesepakatan-kesepakatan yang mengatur kehidupan antar individu manusia akan dibutuhkan pada situasi di mana manusia tinggal bersama dengan manusia lain, saling berhubungan dan saling ketergantungan. Pada situasi ini, apabila tidak ada peraturan yang disepakati bersama maka akan tidak beres dan tidak tertib. Seorang manusia yang mempunyai kekuatan akan menindas dan memperlakukan sewenang-wenang terhadap manusia lainnya. Sehingga kemudian peraturan-peraturan yang dibuat bersama tersebut dimaksudkan agar kesewenang-wenangan tersebut dapat dibatasi dan terdapat perlakuan yang lebih adil diantara mereka. Sehingga fungsi hukum pada sisi ini ialah menciptakan suatu ketertiban dalam masyarakat.
2. Proses Penciptaan Hukum Pada Sisi Kepentingan
Di sisi lain terciptanya hukum juga dimaksudkan untuk melegitimasi atau menjadi alat pembenaran untuk tercapainya tujuan-tujuan individu atau kelompok yang mempunyai kepentingan-kepentingan tertentu. Misalnya saja pada masyarakat feodal, seseorang yang mempunyai tanah yang luas lambat laun menguasai hayat hidup orang banyak. Karena orang-orang yang terkuasai ini tidak memiliki tanah, maka akhirnya mereka tinggal dan mengabdikan diri di atas tanah milik tuan tanah tersebut. Orang-orang 'miskin' itu bekerja dan sepenuhnya hidup tergantung pada si tuan tanah. Ketika diatur suatu hukum untuk mengatur masyarakat, maka si tuan tanah akan berusaha sekeras mungkin untuk mempengaruhi isi hukum tersebut agar kepentingan ekonominya (atas tanah atau hartanya yang lain) bisa dipertahankannya. Karena orang-orang yang tergantung padanya banyak, maka ia dapat mempengaruhi orang-orang tersebut untuk mendukungnya mencapai apa yang dia inginkan.
Sehingga pada sisi ini maka hukum menjadi alat untuk mewakili kepentingan orang atau kelompok yang berpengaruh. Dan proses penciptaan hukum seperti inilah yang terus berkembang terutama pada masyarakat di mana jumlahnya sudah sedemikian banyaknya, sehingga penciptaan hukum dilakukan lewat badan perwakilan seperti DPR di Indonesia. Karena, menurut sejarah, dahulu kala penciptaan hukum dilakukan dengan melibatkan seluruh masyarakat (karena masyarakatnya masih sedikit sehingga dimungkinkan seluruh masyarakat berkumpul dan bermusyawarah menciptakan suatu peraturan tertentu).Pengertian Dasar Tentang Hukum Dari uraian di atas maka kita dapat simpulkan apa yang dimaksud dengan hukum ialah suatu rangkaian atau sistem dari perangkat-perangkat yang berisi perintah-perintah dan larangan-larangan yang ditujukan untuk terciptanya ketertiban, di mana pelanggaran terhadapnya akan terkena sanksi.
Jadi sesungguhnya hukum adalah salah satu norma dalam masyarakat, seperti juga norma agama, kesusilaan dan norma kesopanan. Hanya saja, hukum adalah norma yang lebih tegas daripada norma yang lainnya. Mengapa? Karena hukum mempunyai alat pemaksa yaitu hukuman atau sanksi yang dapat dikenakan dan terasa oleh pelanggar-pelanggarnya. Hukuman-hukuman ini diterapkan oleh lembaga-lembaga penegak hukum seperti pengadilan, kepolisian, dan lain sebagainya. Nah, sekarang tergambarlah sudah, bahwa apabila kita menyebutkan 'hukum', maka hal itu bukan saja berarti sekumpulan kitab-kitab (buku-buku) yang tebal-tebal, tetapi ada juga lembaga-lembaga ataupun orang-orang. Jadi hukum di sini juga berarti:
1.      Buku-buku yang berisi pasal-pasal mengenai larangan-larangan dan perintah-perintah;
2.      Lembaga-lembaga penegakkan dan pembentuk hukum, misalnya: DPR Pemerintah, pengadilan, kepolisian, lembaga-lembaga pemasyarakatan, dan lain-lain;
3.      Manusia penegak hukum, misalnya: masyarakat, hakim, jaksa, penuntut umum, pengacara, dan lain-lain.
Oleh karena itu, hukum barulah dapat ditegakkan apabila faktor-faktor tersebut secara selaras dan disiplin menerapkan hukum. Sia-sia sajalah apabila kita memiliki peraturan-peraturan yang sempurna, tetapi hakim masih bisa disogok, atau polisi masih sewenang-wenang. Atau seluruh perangkat telah sempurna bekerja, tetapi masyarakat sama sekali tidak mengindahkannya atau tidak mematuhinya. Sehingga dapat dikatakan, hukum baru dapat ditegakkan apabila seluruh subyek hukum menjalankan fungsinya. Untuk dapat dipatuhi, maka hukum haruslah menjamin keadilan untuk masyarakat yang akan menjalankannya. Pertanyaan yang harus kita jawab sekarang adalah apakah hukum kita telah menjamin keadilan untuk seluruh rakyat? Karena, apabila hukum tidak menjamin keadilan, maka akan terjadi banyak keresahan-keresahan dalam masyarakat. Hal itu mensyaratkan bahwa haruslah terjadi perubahan atau reformasi hukum.
Hukum dan Perkembangan Masyarakat
Seorang hakim Agung dari Jerman yang bernama Karl Von Savigny mengatakan bahwa "Hukum itu tidak berdiri sendiri, tetapi tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan masyarakat." Pernyataan itu dapat diandaikan sebagai berikut:
Pada tahun 30-an masyarakat memakai dokar sebagai alat transportasi sehingga kemudian muncul peraturan tentang tata tertib pemakaian dokar. Tetapi masyarakat terus berkembang. Sekarang di tahun 90-an, masyarakat tidak lagi memakai dokar, tetapi sudah menggunakan kendaraan bermotor seperti mobil atau sepeda motor. Tetapi peraturan tertulis adalah benda mati. Haruskah masyarakat dikekang agar tidak menggunakan kendaraan bermotor karena tidak ada peraturannya? Tentu saja tidak! Melainkan, peraturanlah yang harus berubah. Maka dibuatlah sebuah peraturan tentang kendaraan bermotor.
Persis seperti itu pula dengan apa yang terjadi pada perkembangan perjuangan kaum buruh di Indonesia. Kalau pada tahun 50-an kebutuhan kaum buruh dinilai dengan tidur beralaskan tikar, berpenerangan lampu teplok, beralas kaki sandal jepit, dan lainnya, sehingga itulah yang digunakan sebagai standar menentukan upah, apakah di era canggih sekarang ini di mana orang telah memakai listrik, menemukan satelit atau komputer, kita tetap menerima upah berstandarkan tikar, lampu teplok dan sandal jepit??!! Tidak! Sekali lagi: tidak! Kenapa? Karena masyarakat telah berkembang. Dan kita tidak hidup di tahun 50-an. Kita hidup sekarang di tahun 90-an, di tengah teknologi dan inflasi.
Itulah karenanya peraturan yang ada sekarang hanyalah membuat kita resah, gelisah melihat kebutuhan-kebutuhan yang kian hari kian tak dapat terpenuhi. Lalu mengapa hukum tidak dapat menjawab keresahan-keresahan kita? Mengapa hukum yang ada tidak membuat kita merasa adil atau terlindungi? Jawabannya adalah karena proses penciptaan dan perkembangan hukum yang ada sekarang telah memasuki tahap penciptaan hukum yang berpihak pada sisi kepentingan sekelompok orang yang bernama pemodal. Masyarakat sendiri berkembang dalam tahap-tahap. Dimulai dari masyarakat primitif --> perbudakan --> feodal --> kapitalis --> masyarakat tanpa klas. Setiap bentuk masyarakat itu mempunyai ciri-cirinya yang sangat spesifik (khusus), terutama pada struktur ekonomi dan pola produksinya. Sehingga berangkat dari ciri tersebut kemudian mempengaruhi watak negara. Yang berarti juga mempengaruhi segala unsur dalam negara termasuk politik, hukum, dan lainnya.Pada masyarakat kapitalis, di mana sekelompok kecil menguasai pemilikan alat-alat produksi dan di sisi lain sekelompok besar lainnya hanya memiliki tenaga untuk melakukan kerja, maka masyarakat terbagi atas kelas-kelas terutama dalam hubungan ini, kelas pemilik modal dan kelas buruh. Dan pada masyarakat kapitalis watak negara pun menjadi kapitalistis (berpihak pada klas kapitalis). Kalau watak negara kapitalistis, maka hukum yang berlaku juga diwarnai dengan keberpihakannya pada klas pemodal.Hukum dalam Masyarakat IndonesiaWalaupun banyak orang yang mengatakan pasal 33 UUD 1945 bersifat sangat sosialis, tetapi perkembangan masyarakat Indonesia, tidak dapat dipungkiri, telah masuk dalam tahap masyarakat kapitalis. Lihatlah pabrik-pabrik yang berdiri megah-megah itu dimiliki oleh segelintir orang saja. Badan-badan usaha milik negara pun sekarang telah mulai diswastanisasikan, dimiliki oleh kaum bermodal. Dan kita pun memilah orang-orang menjadi: orang-orang bermobil, berumah mewah, memiliki perusahaan-perusahaan kita sebut pengusaha dan orang-orang yang berebutan naik "bis karyawan," makan mie instan setiap hari, tinggal di pemukiman-pemukiman kumuh kita sebut buruh. Semua itu membuktikan bahwa Indonesia sekarang adalah negara kapitalis. Dan apabila kita bertanya: jadi seperti apakah sistem hukum Indonesia? Jawabannya pasti sistem hukum yang kapitalistis.Oleh sebabnya, secara umum dapat kita simpulkan bahwa sulit sekali kaum tertindas di Indonesia untuk mendapatkan keadilan melalui hukum. Banyak peristiwa yang tidak dapat diselesaikan secara adil oleh perangkat hukum. Pengrusakkan hutan-hutan di Sumatra atau Kalimantan misalnya. Tidak terjangkau oleh hukum karena ada kepentingan pemodal yang mengusahakan penebangan hutan. Atau penggusuran tanah milik rakyat, tidak dapat juga terselesaikan karena ada kepentingan untuk menjadikan tanah itu menjadi lahan industri, _real estate_ atau lapangan golf. Atau kasus-kasus pemogokan dan perselisihan perburuhan juga diselesaikan dengan kekerasan senjata. Banyak juga pejabat-pejabat yang ketika dia melanggar hukum, seakan-akan hukum tak pernah bisa menjangkaunya (kebal hukum). Dan masih banyak lagi peristiwa lainnya yang menunjukkan begitu rentannya hukum dan betapa hukum hanyalah menjadi alat bagi kepentingan-kepentingan mempertahankan kekuasaan dan penguasaan modal. Sehingga sebenarnya ketika kita mencoba menganalisa hukum di Indonesia, maka kerusakkannya tidaklah dapat disembuhkan kecuali sistemnya dahulu diperbaiki. Dan kalau kita mempelajari lebih lanjut mengenai hukum, kita dapat membagi hukum dalam dua cara kajian:
1. Hukum publik yaitu hukum yang mengatur setiap perbuatan melawan hukum yang dapat dilakukan oleh siapa pun juga (tidak mengandung unsur pihak-pihak yang bersengketa);
2. Hukum privat yaitu hukum yang mengatur persengketaan pihak-pihak. Hukum perburuhan adalah salah satunya. Dalam hukum perburuhan pihak-pihaknya sangat jelas, yaitu pada intinya mengatur tentang hubungan kerja antara majikan dan buruh. Inilah yang akan kita bahas selanjutnya.Hukum Perburuhan di IndonesiaSekarang kita akan membahas lebih jauh tentang hukum perburuhan, yang bagi kaum buruh jenis hukum inilah yang paling bersentuhan dengan masalah kita sehari-hari. Hukum perburuhan sebenarnya juga merupakan hukum yang paling mudah dipelajari untuk melihat perkembangan masyarakat yang terjadi sekarang ini di Indonesia. Namun untuk mempelajarinya, kita harus senantiasa mengkaitkannya dengan hal-hal yang berkembang dalam masyarakat. Misalnya begini, kenaikan upah yang ditetapkan menurut peraturan akan dirasakan besar apabila hanya melihat jumlahnya. Tetapi kalau kita juga mempelajari kenaikan-kenaikan harga di pasar, maka jumlah ini akan terlihat sangat kecil, bahkan kenyataanya dapat dikatakan tidak ada kenaikkan sama sekali.Selain itu juga secara keseluruhan peraturan-peraturan perburuhan yang berlaku sekarang di Indonesia merupakan rangkaian dari proses pemenjaraan hak kaum buruh. Untuk hal ini tentu saja kawan-kawan harus mempelajarinya melalui diskusi-diskusi kelompok. Tetapi mungkin pada bagian ini kita akan coba pelajari sedikit tentang hukum perburuhan dan di sisi apa ia sangat merugikan kaum buruh.Peraturan Mengenai UpahUpah kecil dan sangat tidak realistis, kita tidak perlu membahasnya karena hal itu kawan-kawanlah yang dapat merasakannya sehari-hari. Tetapi terhadap pelanggaran ketentuan upah, apa sanksi yang dapat dikenakan terhadap majikan? Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1981 pasal 32 menyebutkan apabila majikan melanggar ketentuan mengenai upah maka dia dapat dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 3 bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 100.000,-. Sekarang marilah kita hitung, kalau saja sebuah perusahaan mempekerjakan 1000 orang buruh, dan melanggar ketentuan upah minimum Rp 500,- kepada setiap orang buruh setiap hari.
Dalam satu hari saja keuntungan yang dapat diambil oleh majikan dengan merampas hak buruh mencapai = Rp 500,- x 1000 = Rp 500.000,-. Dalam sebulan = Rp 500.000,- x 25 = Rp 12.500.000,-. Dalam satu tahun = 12 x Rp 12.500.000,- = Rp 150.000.000,-.Tentu saja dengan hal ini majikan akan memilih melanggar ketentuan upah dengan sanksi Rp 100.000,- ketimbang membayarkan hak buruhnya.Ketentuan ini sangat tidak masuk akal dan sangat tidak adil untuk buruh. Padahal ketentuan hukum menyebutkan bahwa sanksi yang dijatuhkan untuk setiap pelanggaran hukum haruslah jauh lebih berat daripada bentuk pelanggarannya, karena itulah yang akan membuat setiap pelanggarnya menjadi jera untuk melanggar hukum. Tetapi apakah ketentuan ini diterapkan dalam PP No. 8 tahun 1981?Ketentuan mengenai Hak MogokDalam konvensi ILO (Organisasi Buruh Internasional) yang telah diratifikasi (disyahkan berlaku) oleh Indonesia dinyatakan bahwa mogok adalah hak buruh. Dalam sejarah pun mogok memang merupakan senjata kaum buruh. Mengapa? Karena dengan mogoklah kaum buruh dapat menyeimbangkan kekuatannya dengan pemodal yang mempekerjakannya. Tetapi kemudian berlakulah rangkaian peraturan yang setahap demi setahap sebenarnya mempereteli senjata kaum buruh ini. Misalnya saja pada pasal 13 UU No. 14 tahun 1969 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja, menyebutkan "penggunaan hak mogok, demonstrasi dan lock out diatur dengan peraturan perundang-undangan." (UU No. 22 tahun 1957 dan Penpres No. 7 tahun 1963) yang sesungguhnya mengatur tentang penyelesaian perselisihan perburuhan yang di dalamnya telah mengambil alih fungsi mogok dengan dibentuknya lembaga arbitrase yang terdiri dari Perantaraan Depnaker, P4D, dan P4P. Lembaga-lembaga yang pada kenyataannya sama sekali tidak berpihak pada buruh, dan sangat melemahkan tuntutan buruh terpusat pada ketentuan normatif saja.Demikian juga tentang kesehatan dan keselamatan kerja, hak-hak kesejahteraan lainnya, yang bukan saja tidak diatur dalam peraturan tertulis yang berpihak pada kepentingan buruh, tetapi juga ditegakkan oleh pegawai-pegawai negara yang pada prakteknya sangat berpihak pada kepentingan kaum pemodal. Untuk itu kawan-kawan harus terus mempelajarinya. Kunci dari segala permasalahan ini ialah tidak adanya organisasi atau serikat buruh yang benar-benar dapat mewakili dan melindungi kepentingan-kepentingan kaum buruh di Indonesia. Untuk itu negara juga merampas hak berorganisasi buruh melalui peraturan-peraturan tentang hak berorganisasi yang sebenarnya sama sekali tidak memberikan kesempatan kaum buruh untuk berorganisasi. Oleh karena itu sesungguhnya hukum yang berlaku sekarang tidak dapat dijadikan alat perjuangan kaum buruh, bahkan kaum buruh harus berjuang untuk sebuah perubahan hukum yang lebih adil.Jadi, mempelajari hukum perburuhan bukanlah untuk membuat kita tahu, hapal kemudian dijadikan pedoman untuk perjuangan kita. Tetapi mempelajari hukum perburuhan berarti mencoba dengan kritis melihat sisi-sisi yang merugikan kaum buruh dan berjuang untuk melakukan perubahan. Apabila hukum sudah dianggap adil oleh kaum buruh, maka hukum dapat dijadikan alat untuk perjuangan kaum buruh. Dapatkah hukum berubah? Tentu saja dapat sebagaimana yang telah kita bahas di muka, bahwa hukum itu mengikuti perkembangan masyarakat. Maka perkembangan kesadaran dan kekuatan kaum buruh untuk memperjuangkan haknya adalah salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perubahan hukum.Selamat berjuang.


Artikel Terkait..:

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar