Seorang hakim Agung
dari Jerman yang bernama Karl Von Savigny mengatakan bahwa "Hukum itu
tidak berdiri sendiri, tetapi tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan
masyarakat." Pernyataan itu dapat diandaikan sebagai berikut:
Pada tahun 30-an
masyarakat memakai dokar sebagai alat transportasi sehingga kemudian muncul
peraturan tentang tata tertib pemakaian dokar. Tetapi masyarakat terus berkembang.
Sekarang di tahun 90-an, masyarakat tidak lagi memakai dokar, tetapi sudah
menggunakan kendaraan bermotor seperti mobil atau sepeda motor. Tetapi
peraturan tertulis adalah benda mati. Haruskah masyarakat dikekang agar tidak
menggunakan kendaraan bermotor karena tidak ada peraturannya? Tentu saja tidak!
Melainkan, peraturanlah yang harus berubah. Maka dibuatlah sebuah peraturan
tentang kendaraan bermotor.
Persis seperti itu
pula dengan apa yang terjadi pada perkembangan perjuangan kaum buruh di
Indonesia. Kalau pada tahun 50-an kebutuhan kaum buruh dinilai dengan tidur
beralaskan tikar, berpenerangan lampu teplok, beralas kaki sandal jepit, dan
lainnya, sehingga itulah yang digunakan sebagai standar menentukan upah, apakah
di era canggih sekarang ini di mana orang telah memakai listrik, menemukan
satelit atau komputer, kita tetap menerima upah berstandarkan tikar, lampu
teplok dan sandal jepit??!! Tidak! Sekali lagi: tidak! Kenapa? Karena
masyarakat telah berkembang. Dan kita tidak hidup di tahun 50-an. Kita hidup
sekarang di tahun 90-an, di tengah teknologi dan inflasi.
Itulah karenanya
peraturan yang ada sekarang hanyalah membuat kita resah, gelisah melihat
kebutuhan-kebutuhan yang kian hari kian tak dapat terpenuhi. Lalu mengapa hukum
tidak dapat menjawab keresahan-keresahan kita? Mengapa hukum yang ada tidak
membuat kita merasa adil atau terlindungi? Jawabannya adalah karena proses
penciptaan dan perkembangan hukum yang ada sekarang telah memasuki tahap
penciptaan hukum yang berpihak pada sisi kepentingan sekelompok orang yang
bernama pemodal. Masyarakat sendiri berkembang dalam tahap-tahap. Dimulai dari
masyarakat primitif --> perbudakan --> feodal --> kapitalis -->
masyarakat tanpa klas. Setiap bentuk masyarakat itu mempunyai ciri-cirinya yang
sangat spesifik (khusus), terutama pada struktur ekonomi dan pola produksinya.
Sehingga berangkat dari ciri tersebut kemudian mempengaruhi watak negara. Yang
berarti juga mempengaruhi segala unsur dalam negara termasuk politik, hukum,
dan lainnya.Pada masyarakat kapitalis, di mana sekelompok kecil menguasai
pemilikan alat-alat produksi dan di sisi lain sekelompok besar lainnya hanya
memiliki tenaga untuk melakukan kerja, maka masyarakat terbagi atas kelas-kelas
terutama dalam hubungan ini, kelas pemilik modal dan kelas buruh. Dan pada
masyarakat kapitalis watak negara pun menjadi kapitalistis (berpihak pada klas
kapitalis). Kalau watak negara kapitalistis, maka hukum yang berlaku juga
diwarnai dengan keberpihakannya pada klas pemodal.Hukum dalam Masyarakat
IndonesiaWalaupun banyak orang yang mengatakan pasal 33 UUD 1945 bersifat
sangat sosialis, tetapi perkembangan masyarakat Indonesia, tidak dapat
dipungkiri, telah masuk dalam tahap masyarakat kapitalis. Lihatlah
pabrik-pabrik yang berdiri megah-megah itu dimiliki oleh segelintir orang saja.
Badan-badan usaha milik negara pun sekarang telah mulai diswastanisasikan,
dimiliki oleh kaum bermodal. Dan kita pun memilah orang-orang menjadi:
orang-orang bermobil, berumah mewah, memiliki perusahaan-perusahaan kita sebut
pengusaha dan orang-orang yang berebutan naik "bis karyawan," makan
mie instan setiap hari, tinggal di pemukiman-pemukiman kumuh kita sebut buruh.
Semua itu membuktikan bahwa Indonesia sekarang adalah negara kapitalis. Dan
apabila kita bertanya: jadi seperti apakah sistem hukum Indonesia? Jawabannya
pasti sistem hukum yang kapitalistis.Oleh sebabnya, secara umum dapat kita
simpulkan bahwa sulit sekali kaum tertindas di Indonesia untuk mendapatkan
keadilan melalui hukum. Banyak peristiwa yang tidak dapat diselesaikan secara
adil oleh perangkat hukum. Pengrusakkan hutan-hutan di Sumatra atau Kalimantan
misalnya. Tidak terjangkau oleh hukum karena ada kepentingan pemodal yang
mengusahakan penebangan hutan. Atau penggusuran tanah milik rakyat, tidak dapat
juga terselesaikan karena ada kepentingan untuk menjadikan tanah itu menjadi
lahan industri, _real estate_ atau lapangan golf. Atau kasus-kasus pemogokan
dan perselisihan perburuhan juga diselesaikan dengan kekerasan senjata. Banyak
juga pejabat-pejabat yang ketika dia melanggar hukum, seakan-akan hukum tak
pernah bisa menjangkaunya (kebal hukum). Dan masih banyak lagi peristiwa
lainnya yang menunjukkan begitu rentannya hukum dan betapa hukum hanyalah
menjadi alat bagi kepentingan-kepentingan mempertahankan kekuasaan dan
penguasaan modal. Sehingga sebenarnya ketika kita mencoba menganalisa hukum di
Indonesia, maka kerusakkannya tidaklah dapat disembuhkan kecuali sistemnya
dahulu diperbaiki. Dan kalau kita mempelajari lebih lanjut mengenai hukum,
kita dapat membagi hukum dalam dua cara kajian:
1. Hukum publik
yaitu hukum yang mengatur setiap perbuatan melawan hukum yang dapat dilakukan
oleh siapa pun juga (tidak mengandung unsur pihak-pihak yang bersengketa);
2. Hukum privat
yaitu hukum yang mengatur persengketaan pihak-pihak. Hukum perburuhan adalah
salah satunya. Dalam hukum perburuhan pihak-pihaknya sangat jelas, yaitu pada
intinya mengatur tentang hubungan kerja antara majikan dan buruh. Inilah yang
akan kita bahas selanjutnya.Hukum Perburuhan di IndonesiaSekarang kita akan
membahas lebih jauh tentang hukum perburuhan, yang bagi kaum buruh jenis hukum
inilah yang paling bersentuhan dengan masalah kita sehari-hari. Hukum
perburuhan sebenarnya juga merupakan hukum yang paling mudah dipelajari untuk
melihat perkembangan masyarakat yang terjadi sekarang ini di Indonesia. Namun
untuk mempelajarinya, kita harus senantiasa mengkaitkannya dengan hal-hal yang
berkembang dalam masyarakat. Misalnya begini, kenaikan upah yang ditetapkan
menurut peraturan akan dirasakan besar apabila hanya melihat jumlahnya. Tetapi
kalau kita juga mempelajari kenaikan-kenaikan harga di pasar, maka jumlah ini
akan terlihat sangat kecil, bahkan kenyataanya dapat dikatakan tidak ada
kenaikkan sama sekali.Selain itu juga secara keseluruhan peraturan-peraturan
perburuhan yang berlaku sekarang di Indonesia merupakan rangkaian dari proses
pemenjaraan hak kaum buruh. Untuk hal ini tentu saja kawan-kawan harus
mempelajarinya melalui diskusi-diskusi kelompok. Tetapi mungkin pada bagian ini
kita akan coba pelajari sedikit tentang hukum perburuhan dan di sisi apa ia
sangat merugikan kaum buruh.Peraturan Mengenai UpahUpah kecil dan sangat tidak
realistis, kita tidak perlu membahasnya karena hal itu kawan-kawanlah yang
dapat merasakannya sehari-hari. Tetapi terhadap pelanggaran ketentuan upah, apa
sanksi yang dapat dikenakan terhadap majikan? Peraturan Pemerintah No. 8 tahun
1981 pasal 32 menyebutkan apabila majikan melanggar ketentuan mengenai upah
maka dia dapat dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 3 bulan atau
denda setinggi-tingginya Rp 100.000,-. Sekarang marilah kita hitung, kalau saja
sebuah perusahaan mempekerjakan 1000 orang buruh, dan melanggar ketentuan upah
minimum Rp 500,- kepada setiap orang buruh setiap hari.
Dalam satu hari saja
keuntungan yang dapat diambil oleh majikan dengan merampas hak buruh mencapai =
Rp 500,- x 1000 = Rp 500.000,-. Dalam sebulan = Rp 500.000,- x 25 = Rp
12.500.000,-. Dalam satu tahun = 12 x Rp 12.500.000,- = Rp 150.000.000,-.Tentu
saja dengan hal ini majikan akan memilih melanggar ketentuan upah dengan sanksi
Rp 100.000,- ketimbang membayarkan hak buruhnya.Ketentuan ini sangat tidak
masuk akal dan sangat tidak adil untuk buruh. Padahal ketentuan hukum
menyebutkan bahwa sanksi yang dijatuhkan untuk setiap pelanggaran hukum
haruslah jauh lebih berat daripada bentuk pelanggarannya, karena itulah yang
akan membuat setiap pelanggarnya menjadi jera untuk melanggar hukum. Tetapi
apakah ketentuan ini diterapkan dalam PP No. 8 tahun 1981?Ketentuan mengenai
Hak MogokDalam konvensi ILO (Organisasi Buruh Internasional) yang telah
diratifikasi (disyahkan berlaku) oleh Indonesia dinyatakan bahwa mogok adalah
hak buruh. Dalam sejarah pun mogok memang merupakan senjata kaum buruh.
Mengapa? Karena dengan mogoklah kaum buruh dapat menyeimbangkan kekuatannya
dengan pemodal yang mempekerjakannya. Tetapi kemudian berlakulah rangkaian
peraturan yang setahap demi setahap sebenarnya mempereteli senjata kaum buruh
ini. Misalnya saja pada pasal 13 UU No. 14 tahun 1969 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja, menyebutkan "penggunaan
hak mogok, demonstrasi dan lock out diatur dengan peraturan
perundang-undangan." (UU No. 22 tahun 1957 dan Penpres No. 7 tahun 1963)
yang sesungguhnya mengatur tentang penyelesaian perselisihan perburuhan yang di
dalamnya telah mengambil alih fungsi mogok dengan dibentuknya lembaga arbitrase
yang terdiri dari Perantaraan Depnaker, P4D, dan P4P. Lembaga-lembaga yang pada
kenyataannya sama sekali tidak berpihak pada buruh, dan sangat melemahkan
tuntutan buruh terpusat pada ketentuan normatif saja.Demikian juga tentang
kesehatan dan keselamatan kerja, hak-hak kesejahteraan lainnya, yang bukan saja
tidak diatur dalam peraturan tertulis yang berpihak pada kepentingan buruh,
tetapi juga ditegakkan oleh pegawai-pegawai negara yang pada prakteknya sangat
berpihak pada kepentingan kaum pemodal. Untuk itu kawan-kawan harus terus
mempelajarinya. Kunci dari segala permasalahan ini ialah tidak adanya
organisasi atau serikat buruh yang benar-benar dapat mewakili dan melindungi
kepentingan-kepentingan kaum buruh di Indonesia. Untuk itu negara juga merampas
hak berorganisasi buruh melalui peraturan-peraturan tentang hak berorganisasi
yang sebenarnya sama sekali tidak memberikan kesempatan kaum buruh untuk
berorganisasi. Oleh karena itu sesungguhnya hukum yang berlaku sekarang tidak
dapat dijadikan alat perjuangan kaum buruh, bahkan kaum buruh harus berjuang
untuk sebuah perubahan hukum yang lebih adil.Jadi, mempelajari hukum perburuhan
bukanlah untuk membuat kita tahu, hapal kemudian dijadikan pedoman untuk
perjuangan kita. Tetapi mempelajari hukum perburuhan berarti mencoba dengan
kritis melihat sisi-sisi yang merugikan kaum buruh dan berjuang untuk melakukan
perubahan. Apabila hukum sudah dianggap adil oleh kaum buruh, maka hukum dapat
dijadikan alat untuk perjuangan kaum buruh. Dapatkah hukum berubah? Tentu saja
dapat sebagaimana yang telah kita bahas di muka, bahwa hukum itu mengikuti
perkembangan masyarakat. Maka perkembangan kesadaran dan kekuatan kaum buruh
untuk memperjuangkan haknya adalah salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
perubahan hukum.Selamat berjuang.