I. PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP PERKARA-PERKARA HAM
Pasal 1-UU No. 26 Tahun 2000
1. Hak
Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang
wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum,
pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia.
2. Pelanggaran
Hak Asasi Manusia yang berat adalah pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang ini.
3. Pengadilan
Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disebut Pengadilan HAM adalah pengadilan
khusus terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
4. Setiap
orang adalah orang perseorangan, kelompok orang, baik sipil, militer, maupun
polisi yang bertanggung jawab secara individual.
5. Penyelidikan
adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan ada tidaknya
suatu peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat
guna ditindak lanjuti dengan penyidikan sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam Undang-undang ini.
Pasal 4
Pengadilan
HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi
manusia yang berat.
Pasal 5
Pengadilan
HAM berwenang juga memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia
yang berat yang dilakukan di luar batas teritorial wilayah negara Republik
Indonesia olah warga negara Indonesia.
Pasal 6
Pengadilan
HAM tidak berwenang memeriksa dan memutuskan pelanggaran hak asasi manusia yang
berat yang dilakukan oleh seseorang yang berumur di bawah 18 (delapan belas)
tahun pada saat kejahatan dilakukan.
II. KOMPETENSI PERADILAN HAM MENURUT UU NO. 26 TAHUN 2000
Pasal 7
Pelanggaran
Hak Asasi Manusia yang berta meliputi :
a. Kejahatan
genosida.
b. Kejahatan
terhadap kemanusiaan.
Pasal 8
Kejahatan genosida
sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 huruf a adalah setiap perbuatan yang
dilakukan dengan maksud untuk mengahncurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian
kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara :
a. Membunuh
anggota kelompok;
b. Mengakibatkan
penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;
c. Menciptakan
kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik
seluruh atau sebagiannya;
d. Memasksakan
tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau
e. Memindahkan
secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
Pasal 9
Kejahatan terhadap kemanusiaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang
dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik
yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditunjukan secara langsung
terhadap penduduk sipil, berupa :
a.
Pembunuhan;
b.
Pemusnahan;
c.
Perbudakan;
d.
Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
e.
Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan
fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok
hukum internasional;
f.
Penyiksaan;
g.
Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara
paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secar paksa atau dalam
bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
h.
Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertantu atau
perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras kebangsaan, etnis,
budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara
universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
i.
Penghilangan orang secara paksa; atau
j.
Kejahatan apartheid.
III. STRATEGI PENANGANAN PERKARA DI PERADILAN HAM
Dalam
strategi penanganan perkara di peradilan HAM Indonesia, maka perlu diperhatikan
beberapa hal / pasal penting berikut ini, yang merupakan sebagian dari ‘titik lemah’ dari UU tentang Peradilan
HAM ini, yaitu :
1. Tidak
adanya kejelasan mengenai unsur meluas (widespread),
sistematik (systematic) dan diketahui (instension), hal ini akan
berakibat munculnya berbagai macam interpretasi atas pengertian diatas.
Disamping itu tidak adanya element of
crimes secara jelas untuk mendefinisikan
bentuk-bentuk kejahatan yang termasuk Kejahatan
Terhadap Kemanusiaan (crimes against humanity) tersebut akan melemahkan
konsep kejahatan terhadap kemanusiaan karena dapat ditafsirkan sendiri-sendiri.
2. Pasal
10 UU Pengadilan HAM menyatakan bahwa hukum acara yang digunakan adalah hukum
acara yang berdasarkan hukum acara pidana (KUHAP), hal ini berarti bahwa hukum
acara dalam proses pengadilan HAM menggunakan hukum acara dengan mekanisme
sesuai dengan KUHAP. Salah satu implikasi yang paling krusial dari pasal tersebut
adalah berkaitan dengan bukti sah yang dapat diterima sesuai dengan KUHAP
sebagaimana yang tertera pada pasal 184 yaitu : Keterangan saksi, Keterangan
ahli, Surat,
Petunjuk dan Keterangan terdakwa. Hal ini tentu jauh dari memadai untuk
membuktikan terjadinya pelanggaran HAM berat, sehingga tidak dapat
dikomparasikan dengan praktek peradilan HAM ditingkat internasioanal. Praktek /
pengalaman internasional yang menyidangkan kasus-kasus pelanggaran HAM berat
ternyata justru lebih banyak menggunakan alat-alat bukti yang diatur oleh
KUHAP, misalnya : rekaman (baik yang
berbentuk film atau kaset yang berisi pidato, siaran pers, wawancara korban,
wawancara pelaku), kliping koran, artikel lepas, dst.
3. Berkaitan
dengan eksistensi Pengadilan HAM Ad-Hoc sebagaimana diatur pada pasal 43, yaitu
:
(1)
Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang
terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh
Pengadilan HAM ad hoc.
(2)
Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dibentuk atau usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden.
(3)
Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) berada dilingkungan Peradilan Umum.
Ketentuan mengenai pasal 43 UU No. 26 tahun 2000
tersebut tidak mengatur secara jelas mengenai alur atau mekanisme bagaimana
sebetulnya proses perjalanan proses pembentukan Pengadilan Ad-Hoc setelah
adanya penyelidikan dari Komnas HAM tentang adanya pelanggaran HAM berat. Dari
proses menuju pengadilan HAM Ad-Hoc ini, sorotan paling tajam adalah adanya
kewenangan kepeda DPR untuk dapat mengusulkan adanya / digelarnya Pengadilan
HAM Ad-Hoc. Adanya fakta ini sama halnya dengan memberikan kewenanagan kepada
DPR untuk memandang adanya pelanggaran HAM berat ini dalam konteks politik dan
kemudian dapat menyatakan ada tidaknya pelanggaran HAM berat. Pasal ini juga
dinilai banyak menghambat proses kearah adanya pengadilan HAM Ad-Hoc hanya
karena DPR menganggap tidak adanya pelanggaran HAM berat, seperti yang terjadi
pada Kasus Tragedi Semanggi dan Kasus Trisakti pada tahun 1998 yang lalu dimana
DPR mengeluarkan Rekomendasi bahwa dalam kedua kasus tersebut tidak ditemukan
terjadinya Pelanggaran HAM berat, sehingga tidak bisa berlanjut dengan
digelarnya Pengadilan HAM Ad-Hoc untuk mengadili pihak-pihak yang semestinya
harus dimintai prtanggung-jawaban dalam kasus tersebut.