Kata Sahibul hikayat, perbedaan pendapat dan kekerasan itu sudah ada sejak umat manusia muasal bermula di dunia.
Alkisah,
dua putera Adam sudah berbunuhan ketika alam baru saja tercipta. Dalam
perbedaan pendapat, adakalanya pendapat sang wasis dan bijaksana yang diterima,
tapi lebih sering pendapat pendekar sakti perkasalah yang menentukan dunia.
Kekuatan dan kesaktian sangat sering lebih menentukan percaturan dunia
dibanding kebijaksanaan dan moral yang dibawa para sufi dan pujangga.
Dalam
masa kegelapan di Eropa, pendapat kaum Darwinian (The survival of the fittest),
dan kaum Machiavelian (The ends Justify the the means) sangat disanjung puja
oleh penguasa; dan `Power', sebagai kata kunci kemampuan untuk mempengaruhi
kemauan dan tindakan orang lain (Morgenthou) adalah kesaktian yang sangat
didamba baik oleh para bangsawan dan paderi gereja yang gila kuasa. Pada masa
itu korban saling berjatuhan, baik karena guliotin sang algojo penguasa, maupun
oleh tipu daya fitnah sang pemakan bangkai manusia, termasuk mereka yang sok
merasa suci, si penguasa agama.
Pada
jaman jahiliyahnya orang Eropa, aturan main politik tak ada. Yang ada adalah
kekuatan dan kekuasaan. Negara adalah aku (kata sang penguasa), dan kaidah
agama adalah aku (kata sang paderi), bagi penentangku, maut adalah ganjaran
yang setimpal, karena Akulah the absolute power yang mendapat mandat dunia dan
langit.
Ketika
jaman berubah, dan tirani mulai tercampakkan, suara rakyat menggema menjadi
suara tuhan. Demokrasi (kekuasaan di tangan rakyat) menggema menuntut keadilan.
Fatwa pujangga memberi makna : kuasa dibagi menjadi tiga, sehingga sang singa
tidak menjadi pemangsa makhluk lemah yang lain, dan hukum rimba tidak lagi
merajalela. Pemerintah, wakil rakyat dan hakim, adalah tiga serangkai yang
setara. (seru Montesqueu tentang persamaan derajat, dan persaudaraan yang
sejajar antar umat manusia disambut dengan gempita oleh sang cendikia sejati
Russeau dengan Trias Politica-nya).
Roda
jaman terus berlaga : Pragmatisme politik dan idealisme moral selalu bergayut
dalam kontradiksi, meski juga bersatu dalam essensinya. Karena politik yang
kotor tak akan laku tanpa dibalut jargon kemanusiaan dan bunga-bunga
petitah-petitih keadilan.
Ketika
Demokrasi mulai dipertanyakan, ketika suara rakyat terbanyak dapat dibeli
dengan kekuasaan dan kekayaan para borjuasi, dan ketika roda sejarah mulai
menggilas tulang-tulang sang proletar dan marhaen yang tertindas; teriakan
"sama rata sama rasa" mulai menggema, demokrasipun kemudian berubah
dengan label sosialis dibelakangnya. Tapi kemudian makna egalitariannya juga
luruh, ketika kekuasaan rakyat harus diwakilkan kepada para pelopornya, yang
kemudian memperoleh privilage dan meninggalkan massanya sebagai batu pijakan
untuk kediktatoran `proletar'.
Cerita
tak sama ada juga di arena, meski di belahan bumi yang lain. Ketika itu ada
konsep tentang negara `kadewatan' yang kata sang dalang,
"tata-tentrem-gemah-ripah-loh-jinawi; negara yang tidak ada hujan tidak
ada panas, tak ada pertentangan kecuali perdamaian, dibawah pimpinan ratu adil
bawa leksana, sang mentari bijak penerang marcapada. Kata cerita, sayangnya,
setiap kuasa yang berlebihan selalu mendatangkan bala. Ketika sang ratu terlena
oleh bujukan dunia, dan ketika para ponggawa tidak mendapat bagian yang sama,
serta ketika kawula alit kapiran. Kuasa sang Hyang Wnang menjelma, negara
awang-uwung menjadi badar kamanungsan. Manusia ya tetap manusia; titah sawantah
yang selalu menyalah. Konsep negara adiluhung yang kadewatan hanyalah suatu
utopia.
Ketika aku
capai membuka kalam hikayat, aku bertanya dalam hati : Mengapa Tuhan tidak
menjadikan apa yang ada di dunia ini sempurna ? Mengapa dikotomi : baik-buruk
selalu ada ?
Aku
jadi teringat ketika Hegel berkata, bahwa dialektika ada karena perbedaan.
Suatu kemajuan berlanjut karena adanya thesa dan antithesa. Dimana synthesa
menjadi thesa baru dan seterusnya. Pertentangan idea adalah bumbunya kemajuan
jaman.
Peter Berger menulis
tentang piramida korban manusia sebagai tumbal kemajuan jaman, seperti
mahabarata bercerita tentang antasena harus labuh pati untuk tumbal bharatayuda
bagi pandawa di kurusetra. Tapi sayang, piramida korbannya selalu pada jenjang
yang terbawah. Si kecil yang selalu terseok, terpuruk dan tertendang ketika
gajah bertarung. Tanpa mereka tahu perubahan untuk apa, selagi pikir mereka
terpaku untuk esok makan apa, dan bukan esok makan siapa seperti si penguasa.
Dan mereka semakin tidak lagi bermakna apabila pertentangan idea telah merambah
ke adu kekuatan physik antar penguasa. Mereka, si kecil, adalah sampah dan debu
yang terbuang di pinggir jalanan.
Ketika
pikirku mengarah ke rancunya antara isi dan kulit jargon politik, antara
demokrasi sebagai idea yang indah dan pelaksanaannya yang runcah, akupun jadi
teringat ketika eyangku almarhum bernasihat : Ngger, gebyar jagad-gede hanyalah
maya meskipun kelihatannya nyata. Janganlah kamu mudah tertipu oleh pandangan
mata wadagmu. Kulit yang berkilau tak selalu isinya mutiara kemala. Tapi
tajamkanlah mata bathinmu, nuranimu yang jernih, sehingga kamu mampu menangkap
petunjukNya. Yang akan menerangi langkahmu untuk `hamemayu-hayuning bawana',
membuat kehidupan semakin indah bagi penghuninya. Sebagai manusia, anjurnya,
kita harus mampu membedakan antara yang seloka (timah yang disepuh emas) dengan
kencana (yang sesungguhnya emas). Sesuatu kemampuan yang harus dicapai dengan
ilmu dan kebijaksanaan, yang dilandasi kebersihan jiwa untuk mencapainya. Suatu
ilmu yang akan pudar apabila pemakainya merasa adigang, adigung, adiguna.
Manusia yang selalu memakai aji mumpung sakti, kuasa, dan berguna untuk
mencapai pamrih-pamrih pribadi dari kehendak nafsu rendah manusia yang tak
pernah terpuaskan.
Ketika
aku harus menjawab pertanyaan tentang adakah keadilan di bumi ? Jawabku,
"Tak ada kesempurnaan di dunia ini, demikian juga dengan jargon demokrasi
dengan segala atributnya. Janganlah kita terpaku pada jargon politik yang ada,
karena ia selalu bermakna ganda : pragmatisme dan idealisme adalah bungkusan
saja, isinya adalah apa yang ada di dada dan perilaku pelakunya. Sangat sering
orang berkata bahwa diri, famili dan golongannya adalah contoh manusia yang
paling sempurna dalam upaya menyelamatkan dunia. Mereka sering lupa dan
menganggap idea orang lain berhala, dan pengikutnya adalah kafir najis yang
layak darahnya untuk tertumpahkan. Mereka lupa bahwa pertengkaran yang ada
sering terjadi pada tingkat cara, sarana atau kulitnya saja, tanpa mereka tahu
bahwa isi dan tujuan kehidupan mereka sama. Mereka adalah orang yang lupa, yang
tidak pernah menengok sejarah sebagai cermin kehidupannya.
Demokrasi
adalah sarana, demikian juga ideologi dan negara. Pada tingkat cara atau
sarana, perbedaan idea adalah suatu hal yang wajar, seperti layaknya penawaran
dagangan di pasar, suatu yang dipercaya menjanjikan nilai lebih tentu akan
banyak peminatnya. Pada tingkat cara, tidak ada absoluditas penghakkan atas
kebenaran, karena benar menurut sesuatu ada mengandung sedikit ketidakbenaran
yang belum terungkapkan, demikian juga dengan pendakuan hak kebenaran ke arah
kebenaran yang harus diuji oleh sejarah keabsahannya. Namun satu yang kita
tidak boleh lupa, semua cara yang ada selalu bermuara pada tujuan yang sama,
yaitu peningkatan harkat, martabat dan derajat manusia. Perbedaan idea untuk
suatu kemajuan adalah suatu yang nature yang tak mungkin terhalangi, tapi tak
perlu itu dibumbui dengan kerendahan budi untuk penguasaan phisik yang hewani,
sehingga setiap cara dibalut dengan topeng-topeng kepalsuan yang menyiksa.
Aku
cuma berharap, apabila semua sadar bahwa semua cara bermuara pada peningkatan
harkat, martabat dan derajat kemanusiaan tersebut, maka kedamaian,
kesejahteraan dan keadilan di dunia akan terwujud. Tapi apabila orang hanya
terpaku untuk mendaku kemutlakan cara pandang melihat kebenaran adalah miliknya
sendiri, tanpa menyadari kelemahan pribadi yang selalu terperangkap
relatifitas, maka pertarungan idea selalu akan berlabuh pada perkelahian
phisik. Dan akupun akan terus menyaksikan, si kecil akan menjadi pupuk percuma,
dari pohon-pohon yang akan selalu bertumbangan.
Ini adalah
suatu keprihatinan, bila tidak dapat dikatakan peramalan untuk suatu masa yang
tak terlalu jauh bagi bangsaku tercinta.