Murtada Muthahhari
Manusia merupakan sebangsa binatang.
Dia memiliki banyak kesamaan dengan binatang lainnya. Pada saat yang sama
manusia memiliki banyak ciri yang membedakan dirinya dengan binatang lainnya,
dan ciri-ciri ini menempatkannya lebih unggul daripada binatang. Ada ciri-ciri utama yang
mendasar, yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya. Sifat-sifat
manusiawi manusia ditentukan oleh ciri-ciri ini. Ciri-ciri ini, yang juga
menjadi sumber dari apa yang dikenal sebagai budaya manusia, berkaitan dengan
dua hal. Yaitu, sikap dan kecenderungan.
Pada umumnya binatang memiliki
kemampuan melihat dan mengenal dirinya sendiri dan dunia sekitarnya. Dan dengan
berbekal pengetahuan yang didapat dari melihat dan mengenal ini, binatang
berupaya mendapatkan apa yang diinginkannya. Seperti binatang lainnya, manusia
juga memiliki banyak keinginan. Dan dengan bekal pengetahuan dan pengertiannya,
manusia berupaya mewujudkan keinginannya. Manusia berbeda dengan makhluk hidup
lainnya. Bedanya adalah manusia lebih tahu, lebih mengerti, dan lebih tinggi
tingkat keinginannya.
Kekhasan ini —yang dimiliki manusia—
membedakan manusia dengan binatang, dan membuat manusia lebih unggul daripada
binatang lainnya.
Pengetahuan dan Keinginan Binatang
Hanya melalui indera (alat untuk
merasa, mencium bau, mendengar, melihat, meraba, dan merasakan sesuatu secara
naluri—pen.) yang dimiliki, binatang mengenal (mengetahui) dunia. Itulah
sebabnya. Pertama, pengetahuannya dangkal. Pengetahuannya tidak
sampai menguasai detail sesuatu dan tidak memiliki akses ke hubungan-hubungan
internal yang terjadi dalam sesuatu itu. Kedua, pengetahuannya
parsial dan khusus, tidak universal dan tidak umum. Ketiga, pengetahuannya
regional (terbatas pada wilayah tertentu), karena terbatas pada lingkungan
hidupnya dan tidak lebih dari itu. Keempat, pengetahuannya
terbatas pada saat sekarang dan tidak berkenaan dengan masa lalu dan masa
mendatang. Binatang tidak mengetahui sejarahnya sendiri atau sejarah dunia.
Karena itu, binatang tidak berpikir tentang masa depannya, dan juga tidak
merencanakan masa depannya.
Dari segi pengetahuannya, binatang tak
sanggup keluar dari kerangka lahiriahnya, kekhususannya, lingkungan hidupnya,
dan masa sekarangnya. Binatang tak pernah lepas dari keempat bidang ini. Kalau
saja secara kebetulan dapat melewati batas-batas keempat bidang ini, itu
terjadi secara naluriah dan tidak sadar, bukan karena kehendak dan pilihannya
sendiri.
Seperti pengetahuannya, tingkat
keinginan dan hasrat binatang juga terbatas ruang lingkupnya. Pertama,
segenap hasratnya bersifat material, dan tidak lebih dari makan, minum,
tidur, bermain, kawin, dan membuat sarang. Binatang tidak memiliki kebutuhan
spiritual, nilai moral dan sebagainya. Kedua, segenap
keinginannya bersifat pribadi dan individualistis, berkaitan dengan binatang
itu sendiri, atau paling banter berkaitan dengan pasangan dan anak-anaknya.
Ketiga, binatang bersifat regional, yaitu berkaitan dengan lingkungan hidupnya
saja. Keempat, binatang bersifat seketika itu, yaitu berkaitan dengan masa
sekarang.
Dengan kata lain, dimensi keinginan
dan kecenderungan dalam eksistensi binatang ada batasnya, begitu pula dimensi
eksistensi pengetahuannya. Dari sudut pandang ini juga, binatang harus hidup
dalam batas tertentu. Jika binatang mengejar sasaran yang berada di luar batas
ini dan misalnya, yang berkenaan dengan spesiesnya pada umumnya dan bukan
dengan satu individu atau berkenaan dengan masa depan dan bukan dengan masa
kini, sebagaimana terlihat terjadi pada binatang tertentu yang hidup
berkelompok seperti lebah, itu terjadi secara tak sadar, secara naluri, dan
karena aturan langsung dari kekuatan yang telah menciptakannya dan yang
mengatur seluruh alam.
Pengetahuan dan Keinginan Manusia
Wewenang manusia di bidang
pengetahuannya, informasi dan pandangannya, dan di bidang keinginan dan
kecenderungannya, sangat luas dan tinggi. Pengetahuannya berangkat dari sisi
eksternal sesuatu menuju sisi realitas internal sesuatu itu, saling hubungan
yang terjadi di dalam sesuatu itu, dan menuju hukum yang mengatur sesuatu itu.
Pengetahuan manusia tidak terbatas pada ruang atau waktu tertentu. Pengetahuan
manusia mengatasi batas-batas seperti itu. Di satu pihak, manusia mengetahui
peristiwa yang terjadi sebelum dia lahir, dan di lain pihak manusia bahkan
mengetahui planet-planet selain bumi dan bintang-gemintang. Manusia mengetahui
masa lalu maupun masa depannya. Dia mengetahui sejarahnya sendiri dan sejarah
dunia, yaitu sejarah bumi, langit, gunung, sungai, tumbuhan dan organisme
hidup. Yang menjadi pemikiran manusia bukan saja masa depan yang jauh, namun
juga hal-hal yang tak terhingga dan abadi. Sebagian dari hal-hal ini diketahui
oleh manusia. Manusia bukan sekadar mengetahui keanekaragaman dan kekhasan.
Dengan maksud menguasai alam, manusia mencari tahu tentang hukum alam semesta
dan kebenaran umum yang berlaku di dunia.
Dari sudut pandang ambisi dan
aspirasinya, kedudukan manusia luar biasa, karena dia adalah makhluk yang
idealistis, tinggi cita-cita dan pemikirannya. Sasaran yang juga ingin dicapainya
adalah sasaran yang sifatnya non-material dan tidak mendatangkan keuntungan
material. Sasaran seperti ini adalah sasaran yang menjadi kepentingan ras
manusia seluruhnya, dan tidak terbatas pada dirinya dan keluarganya saja, atau
tidak terbatas pada wilayah tertentu atau waktu tertentu saja.
Manusia begitu idealistis,
sampai-sampai dia sering lebih menomorsatukan akidah dan ideologinya dan
menomorduakan nilai lain. Dia bahkan menganggap melayani orang lain lebih
penting daripada mewujudkan kesejahteraannya sendiri. Dan manusia memandang
duri yang menusuk kaki orang lain seperti seakan menusuk kakinya sendiri atau
bahkan matanya sendiri. Dia merasa bersimpati kepada orang lain dan mau berbagi
suka dan duka. Manusia begitu penuh dedikasi kepada akidah dan ideologi
sucinya, sampai-sampai dia mudah mengorbankan hidupnya demi akidah dan ideologi
sucinya itu. Segi manusiawi dari budaya manusia yang dianggap sebagai roh
sejati budaya tersebut merupakan hasil dari perasaan dan keinginan seperti itu.
Dasar dari Karakter Manusia
Berkat upaya kolektif manusia selama
berabad-abad, manusia memiliki pengetahuan dan pemahaman yang luas tentang
dunia. Informasi yang didapat kemudian dihimpun dan dikembangkan. Setelah
mengalami proses dan sistematisasi, informasi ini kemudian menjadi dikenal
sebagai "ilmu" dalam artinya yang lebih luas, yaitu jumlah seluruh
gagasan manusia tentang kosmos (alam semesta). Di dalamnya tercakup juga
filsafat, sebuah produk dari upaya kolektif manusia yang diberi bentuk logika
yang khusus.
Kecenderungan spiritual dan tingginya
kesadaran manusia ada karena manusia mempercayai realitas-realitas tertentu
dunia ini, dan karena dedikasinya kepada realitas-realitas tersebut.
Realitas-realitas ini sifatnya bukan individualistis dan juga bukan material. Sifatnya
komprehensif dan umum, di dalamnya tak ada soal keuntungan ekonomi, dan pada
gilirannya merupakan hasil dari pengetahuan dan pemahaman tertentu mengenai
dunia yang disampaikan kepada manusia oleh para nabi, atau dilahirkan oleh
pemikiran idealistis sebagian filosof.
Bagaimanapun juga, kecenderungan
spiritual dan suprahewani lebih tinggi yang ada pada diri manusia, jika
dasarnya adalah infrastruktur doktrinal dan intelektual, memakai nama agama.
Karena itu, kesimpulannya adalah bahwa yang membedakan secara mendasar antara
manusia dan makhluk hidup lainnya adalah pengetahuan dan agama, dan bahwa
pengetahuan dan agama merupakan dasar dari ras manusia, dan ras manusia ini
bergantung pada pengetahuan dan agama.
Sudah banyak dibahas tentang perbedaan
antara manusia dan spesies binatang lainnya. Sebagian berpandangan bahwa antara
manusia dan spesies binatang lainnya itu tak ada perbedaan yang mendasar.
Mereka mengatakan bahwa perbedaan pengetahuan merupakan perbedaan kuantitas,
atau paling banter perbedaan kualitas, namun bukan perbedaan hakikat. Mereka
memandang tidak begitu penting prestasi-prestasi manusia yang luas dan luar
biasa di bidang pengetahuan, padahal prestasi-prestasi ini menarik perhatian
filosof-filosof besar Timur dan Barat.
Kelompok sarjana ini mengatakan bahwa
dari sudut pandang keinginan dan hasratnya, manusia tak lebih daripada
binatang.[1] Sebagian yang lain percaya bahwa
perbedaaan utamanya adalah perbedaan kehidupan. Manusia adalah satu-satunya
binatang yang sepenuhnya hidup. Binatang yang lain tak memiliki perasaan, dan
tak tahu suka dan duka. Binatang yang lain ini hanyalah mesin-mesin yang
setengah hidup. Karena itu, definisi yang sebenarnya mengenai manusia adalah
bahwa manusia adalah makhluk hidup.[2] Pemikir-pemikir lain tidak mempercayai
itu, dan berpendapat bahwa antara manusia dan makhluk hidup lainnya itu ada perbedaan
yang mendasar. Kelihatannya fokus masing-masing kelompok sarjana ini adalah
satu karakteristik manusia. Itulah sebabnya manusia lalu didefinisikan dengan
begitu banyak cara yang berlainan. Manusia digambarkan sebagai binatang yang
rasional, makhluk yang benar-benar berupaya mendapatkan apa yang
dikehendakinya, makhluk yang tak ada ujungnya, makhluk yang idealis, makhluk
yang mencari nilai-nilai, binatang metafisis, makhluk yang tak pernah
terpuaskan, makhluk yang tak ada batasannya, makhluk yang bertanggung jawab,
makhluk yang berpandangan ke depan, agen (faktor atau instrumen) yang bebas,
makhluk yang memberontak, makhluk yang suka ketertiban sosial, makhluk yang
suka keindahan, makhluk yang suka keadilan, makhluk berwajah ganda, makhluk
yang romantis, makhluk yang intuitif, makhluk yang mempercayai standar ganda,
makhluk yang dapat mencipta, makhluk yang kesepian, makhluk yang memiliki
perhatian kepada publik, makhluk yang fundamentalis, teoretis, dan dapat
membuat peralatan, makhluk supranaturalis, imajinatif, spiritualis,
transendentalis, dan sebagainya.
Tak pelak lagi, masing-masing
keterangan ini benar, dilihat dari kualitas-kualitas esensialnya masing-masing.
Akan tetapi, jika kita mau mendapatkan ungkapan yang mencakup semua perbedaan
mendasarnya, maka harus kita katakan bahwa manusia adalah binatang yang
berpengetahuan dan beragama.
Apakah Sisi Manusiawi Manusia Itu
Suprastruktur
Kita tahu bahwa manusia adalah
sebangsa binatang. Manusia memiliki banyak kesamaan dengan binatang lainnya.
Namun manusia juga memiliki banyak karakteristik khas. Karena memiliki banyak
kesamaan dan perbedaan dengan binatang lainnya, manusia memiliki kehidupan
ganda: Kehidupan binatang dan kehidupan manusia, kehidupan material dan
kehidupan budaya. Di sini timbul pertanyaan: Apa hubungan antara segi manusiawi
manusia dan segi hewaninya, kehidupan manusiawinya dan kehidupan hewaninya?
Apakah nilai penting satu segi adalah esensial, sedangkan segi lainnya nilai
penungnya sekunder? Apakah satu segi menjadi dasarnya, sedangkan segi lainnya
hanyalah refleksi dari segi yang menjadi dasar tersebut? Apakah satu segi
menjadi infrastrukturnya, sedangkan segi lainnya suprastrukturnya? Apakah
kehidupan material merupakan infrastrukturnya, sedangkan kehidupan budaya
merupakan suprastrukturnya? Apakah segi hewani manusia merupakan
infrastrukturnya, sedangkan kehidupan budayanya merupakan suprastrukturnya?
Apakah segi hewani manusia itu infrastrukturnya, sedangkan segi manusiawinya
itu suprastrukturnya?
Dewasa ini, pertanyaan ini diajukan
dari sudut pandang sosiologis dan psikologis. Itulah sebabnya pembahasannya
berkisar di seputar pertanyaan apakah di antara karakteristik-karakteristik
sosial manusia, kecenderungan-kecenderungan ekonominya yang berkaitan dengan
produksi dan hubungan produksi lebih penting daripada
karakteristik-karakteristik lain manusia, khususnya yang mencerminkan segi
manusiawi manusia, dan apakah karakteristik dan kecenderungan lain manusia
hanyalah suprastruktur dari karakter ekonominya? Pertanyaan lain yang juga berkaitan
adalah apakah betul ilmu, filsafat, sastra, agama, hukum, etika, dan seni pada
setiap zaman hanyalah merupakan perwujudan dari hubungan ekonomi pada zaman itu
dan tak memiliki nilai intrinsiknya sendiri?
Sekalipun pertanyaan ini diajukan dari
sudut pandang sosiologis, namun tak pelak lagi pembahasannya membawa hasil
psikologis dan pembahasan filosofis tentang karakter manusia, yang dalam
istilah modern dikenal dengan sebutan "humanisme". Pada umumnya
kesimpulannya adalah bahwa sisi manusiawi manusia tidak penting. Yang penting
adalah sisi hewani manusia saja. Dengan kata lain, yang didukung adalah
pandangan orang-orang yang menyangkal adanya perbedaan mendasar antara manusia
dan binatang.
Teori ini bukan saja menolak
pentingnya kecenderungan manusia kepada realisme, kebajikan, keindahan, dan
kepercayaan kepada Allah, namun juga menolak pentingnya pendekatan rasional
manusia terhadap dunia dan kebenaran. Dapat ditunjukkan bahwa tidak ada
pendekatan yang netral. Tak pelak lagi, setiap pendekatan menunjukkan pandangan
material tertentu. Mengherankan bila sebagian mazhab yang mendukung teori yang
menyebutkan bahwa manusia pada dasarnya adalah binatang, secara serempak mereka
berbicara tentang sisi manusiawi dan humanisme juga.
Fakta bahwa perjalanan evolusioner
manusia berawal dari sisi hewani manusia dan bergerak menuju sisi manusiawinya,
sebuah tujuan yang sangat mulia. Prinsip ini berlaku untuk individu maupun
masyarakat. Pada permulaan eksistensinya, manusia tak lebih daripada organisme
material. Berkat gerakan evolusioner yang mendasar, manusia berubah menjadi
substansi spiritual. Roh (spirit) manusia lahir dalam alam tubuh manusia, dan
kemudian menjadi mandiri. Sisi hewani manusia merupakan sarang tempat sisi
manusiawi manusia berkembang dan matang. Karakteristik evolusi adalah semakin
berkembangnya suatu makhluk, semakin mandiri dan efektiflah dia, dan dia pun
akan semakin mempengaruhi lingkungannya. Ketika sisi manusiawi manusia
berkembang, sebenarnya sisi ini tengah menuju kemandirian dan mengendalikan
aspek-aspek lainnya. Hal ini terjadi pada individu maupun masyarakat. Individu
yang sudah mengalami pengembangan mengendalikan lingkungan batiniah maupun
lahiriahnya. Arti dari perkembangannya adalah bahwa dia telah merdeka dari
dominasi lingkungan batiniah maupun lahiriah, dan memiliki dedikasi kepada
akidah dan agama.
Terjadinya evolusi masyarakat persis
seperti terjadinya evolusi roh dalam alam tubuh, dan evolusi sisi manusiawi
individu dalam alam sisi hewani individunya tersebut. Perkembangan masyarakat
terutama berawal dari dampak sistem ekonomi masyarakat yang bersangkutan. Aspek
budaya dan spiritual masyarakat sinonim dengan jiwa masyarakat bersangkutan.
Karena tubuh dan jiwa saling mempengaruhi satu sama lain, maka antara sistem
spiritual dan material juga terjadi saling hubungan yang sama. Kalau evolusi
individu berarti individu tersebut berjalan menuju kemerdekaan, kemandirian dan
supremasi jiwa yang semakin besar, maka evolusi masyarakat juga berarti seperti
itu pula. Dengan kata lain, kalau suatu masyarakat semakin berkembang, maka
kehidupan budayanya semakin tak bergantung pada kehidupan materialnya. Manusia
masa depan merupakan manusia budaya dan manusia agama, akidah dan ideologi,
bukan manusia ekonomi, manusia yang mengejar kenikmatan jasmani.
Tentu saja, semua ini bukan berarti
bahwa masyarakat manusia secara tak terelakkan menapaki garis lurus menuju
kesempurnaan nilai-nilai manusiawi, juga bukan berarti bahwa pada setiap tahap
waktu selangkah lebih maju ketimbang tahap waktu sebelumnya. Boleh jadi manusia
melewati tahap kehidupan sosial, di mana meski terjadi kemajuan teknik dan
teknologi namun manusia mengalami kemunduran dari sisi spiritual dan moral,
sebagaimana diklaim dialami oleh manusia pada zaman kita.
Sesungguhnya, dari sudut pandang
material dan spiritual, manusia pada umumnya tengah berjalan ke depan. Akan
tetapi, gerakan spiritualnya tidak selalu di garis yang lurus. Gerakan tersebut
terkadang berhenti, terkadang balik ke belakang, dan terkadang menyimpang ke
kanan dan ke kiri. Namun, pada umumnya merupakan suatu gerakan evolusioner ke
depan. Itulah sebabnya kami katakan bahwa manusia masa depan merupakan manusia
budaya, bukan manusia ekonomi, dan manusia masa depan merupakan manusia agama,
akidah dan ideologi, dan bukan manusia yang mengejar kenikmatan jasmani.
Menurut teori ini, aspek-aspek
manusiawi pada diri manusia —karena aspek-aspek tersebut fundamental—
berkembang mengikuti berkembangnya alat-alat produksi dan bahkan berkembang
sebelum berkembangnya alat-alat produksi. Menyusul perkembangannya, aspek-aspek
manusiawi manusia berangsur-angsur mengurangi ketergantungan manusia kepada
lingkungan natural dan sosialnya, dan mengurangi kesetujuannya kepada kondisi
lingkungan. Maka kemerdekaan yang didapat membuat manusia semakin kuat
dedikasinya kepada agama dan ideologi, dan meningkatkan kapasitasnya
mempengaruhi lingkungan natural dan sosialnya. Kelak, setelah memperoleh
kemerdekaan seutuhnya, manusia kemudian menjadi semakin kuat dedikasinya kepada
agama dan ideologi.
Di masa lampau, manusia kurang
mendapat manfaat dari pemberian alam dan belum mampu memanfaatkan sepenuhnya
kemampuan-kemampuannya sendiri. Dia menjadi tawanan alam dan tawanan sisi
hewaninya sendiri. Namun di masa depan manusia lebih mampu memanfaatkan
pemberian alam dan kemampuan-kemampuan yang menjadi sifat manusia itu sendiri.
Maka, untuk sebagian besar, manusia akan terbebaskan dari tawanan alam dan
tawanan kecenderungan hewaninya sendiri, dan pengendaliannya atas alam dan
dirinya pun semakin besar.
Menurut pandangan ini, meskipun realitas manusia muncul bersama dengan
alam evolusi material dan hewaninya, namun realitas ini sama sekali bukan
merupakan cermin dari—dan tunduk kepada—perkembangan materialnya. Itu adalah
sebuah realitas yang independen dan progresif. Sekalipun dipengaruhi oleh aspek
material, namun realitas ini mempengaruhinya juga. Yang menentukan tujuan akhir
manusia adalah evolusi budayanya dan realitas manusiawinya, bukan evolusi
alat-alat produksi. Adalah realitas manusiawi yang dalam evolusinya menyebabkan
alat-alat produksi berkembang bersama berkembangnya urusan lain manusia. Tidak
betul bila perkembangan alat-alat produksi terjadi secara otomatis, dan bila
sisi manusiawi manusia mengalami perubahan akibat berubahnya alat-alat yang
mengatur sistem produksi.