Pemidanaan atau
sering juga disebut dengan pemberian pidana (strafteemeting), menurut soedarto dalam bukunya hukum dan hukum
pidana memberikan dua maksna yaitu:
a)
Dalam
arti umum yaitu pemberian pidana (poena)
oleh pembentuk undang-undang adalah hal penetapan sanksi hukum pidana (Pemberian Pidana in Abstracto). Batasan
ini didasarkan pada penganutan Asas Legalitas dari zaman Aufklarung yang
menentukan bahwa dalam pengenaan pidana diperlukan undang-undang lebih dahulu.
Petunjuk Undang-Undanglah yang menetapkan peraturan tentang pidanaya, tidak
hanya tentang crimen atau delictum-nya ialah tentang perbuatan
mana yang dikenakan pidana.
b)
Dalam
arti khusus/Kongkrit yaitu menyagkut berbagai badan atau lembaga yang mendukung
dan melaksanakan stelsel sanksi hukum tersebut (Pemberian Pidana in Concerto).
Sebelum berlakunya
Undang-Undang Pengadilan Anak, hukum materill anak yang juga termasuk pemidanan
dirumuskan dalam Pasal 45, 46, dan 47 KUHP.
Dalam Pasal 45
Jika
seseorang yang belum dewasa dituntut karena perbuatan yang dikerjakannya,
ketika umurnya belum enam belas tahun, hakim boleh memerintahkan supaya si
tersalah itu dikembalikan kepada orang tuanya, walinya, atau pemeliharaanya,
dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman atau memerintahkan supaya si tersalah
diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman, yakni jika
perbuatan itu masuk bagian kejahatan atau salah satu pelanggaran yang
diterangkan dalam Pasal 489, 490, 492, 497, 503-505, 514, 517-519, 526, 536,
dan 540 dan perbuatan itu dilakukan sebelum lalu dua tahun sesudah keputusan
terdahulu yang menyalahkan dia melakukan salah satu pelanggaran itu atau suatu kejahatan,
atau menghukum anak yang bersalah itu.
Sementara Pasal 46 Berbunyi
Jika
hakim memerintahkan supaya si tersalah itu diserahkan kepada Pemerintah, maka
ia, baik ditempatkan dalam rumah pendidkan negeri, supaya disitu atau dengan
cara lain ia mendapat kepada seseorang yang ada di negara Indonesia atau kepada
Perserikatan yang mempunyai hak badan hukum yang ada di negara Indonesia, atau
kepada bakai derma yang ada di negara Indonesia supaya disitu mendapat
pendidikan dari mereka atau kemudian dengan cara lain dari Pemerintah, dalam
kedua itu selama-lamanya sampai berumur delapan belas tahun.
Kemudian dalam Pasal 47 Berbunyi;
1)
Jika
hakim menghukum si tersalah, maka maksimun hukuman utama yang ditetapkan atas
perbuatan yang patut dihukum itu dikurangi dengan sepertiganya;
2)
Jika
kejahatan itu diancam dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup,
maka dihukum penjara selama-lamanya lima belas tahun;
3)
Hukuman tambahan yang tersebut dalam Pasal 10
huruf b dan 3 e tidak dijatuhkan.
Apabila ancaman hukuman
yang disediakan terhadap anak menurut KUHP dibandingkan dengan ancaman hukuman
anak dalam UU Pengadilan Anak, bahwa UU Pengadilan Anak mengancam lebih ringan.
Dalam UU Pengadilan
Anak, pola pemidanaanya dapat dilihat sebagai berikut:
a.
Terhadap
anak nakal sebagaiman yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, hakim dapat
menjatuhkan Pidana atau Tindakan (Pasal 25 ayat 1);
b.
Terhadap
anak anak nakal sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf b, hakim
dapat menjatuhkan Tindakan (Pasal 25 ayat 2);
c.
Terhadap
anak nakal sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, ancaman
Pidana Penjara yang dapat dijatuhkan terhadapnya seperdua dari Ancaman pidana
penjara orang dewasa (Pasal 26 ayat 1), dengan meperhatikan bunyi Pasal 26 ayat
3 dan ayat 4, maka Pasal ini diperuntukkan bagi anak nakal yang berumur 12 (dua
belas) tahun sampai 18 (delapan belas)
tahun;
d.
Terhadap
anak anak sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, melakukan
perbuatan yang diancam dengan hukuman mati atau seumur hidup, ancaman pidana
penjaranya paling lama 10 tahun (Pasal 26 ayat 2), Pasal ini juga
diperuntukkan bagi anak nakal yang
berumur 12 (dua belas) tahun sampai 18 (delapan belas) tahun;
e.
Terhadap
anak nakal sebaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun)
melakukan perbuatan dan diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup,
maka dapat dijatuhkan Tindakan Penyerahan kepada negara untuk mengikuti
Pendidikan, Pembinaa, dan Latihan Kerja (Pasal 26 ayat 3);
f.
Terhadap
anak nakal sebagaimana yang dimaksud dalam Pasa 1 angka2 huruf abelum mencapai
12 (dua belas) tahun melakukan perbuatan yang tidak diancam dengan pidana
mati atau pidana seumur hidup, maka dapat dijatuhkan salah satu Tindakan berdasarkan Pasal 24, 26 ayat 4);
g.
Terhadap
anak nakal sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, ancaman
Pidana Kurungan ayng dapat dijatuhkan seperdua dari ancaman kurungan bagi orang
dewasa (Pasal 27);
h.
Pidana
denda yang dapat dijatuhkan bagi anak nakal maksimal seperdua dari maksimun
ancaman orang dewasa, (Pasal 28 ayat 1), yang apabila tidak dapat dibayar maka
diganti dengan wajib latihan kerja (Pasal 28 ayat 2), dimana wajib latihan
kerja tersebut dilakukan pling lama 90 hari kerja dan lama latihannya tidak
lebih dari 4 jam sehari serta tidak dilakukan pada malam hari (Pasal 28 ayat
3). Wajib latihan kerja yang diberikan terhadap anak dimaksudkan selain sebagai pengganti pidana denda juga sekaligus
untuk mendidik anak agar memiliki keterampilan yang bermanfaat baginya;
i.
Terkait
pidana bersyarat, dapat diberikan hakim apabila pidana penjara yang akan dijatuhkan paling lama 1 (satu) tahun dengan
ditentukannya syarat umum dan syarat khusus, yang lamanya Pidana bersyarat
tersebut paling lama 3 (tiga) tahun. Syarat umum adalah bahwa anak anakl tidak
akan melakukan kenakalan selama menjalani masa pidana bersyarat, sementara
syarat khusus adalah untuk melakukan atau tidak melakukan hal tertentu yang
ditetapkan dalam putusan hakim dengan tetap memeprhatikan kebebasan anak. Bahwa
selama menjalani pidana bersyarat, bagi anak dilakukan pengawas oleh jaksa atau
dibimbing oleh Pembimbing Kemasyarakatan. (Pasal 29 ayat 1 -9);
j.
Terhadap
anak nakal sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, Pidana
Pengawasan dijatuhkan paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 2 (dua)
tahun, yang ditempatkan dibawah pengawasan jaksa dan dibimbing oleh Pembibmbng
Kemasyarakatan. (Pasal 30 ayat 1-2);
k.
Terhadap
anak nakal yang diputus oleh hakim untuk diserahkan kepada negara, ditematkan
di Lembaga Pemasyarakatan Anak sebagai anak negara. (Pasal 31 ayat 1).[1]
Adapun Tindakan yang
dapat dijatuhkan kepada anak nakal yaitu;
1.
Mengembalikan
kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh;
2.
Menyerahkan
kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja;
3.
Menyerahkan
kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak
di bidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja.[2]
Sistem pemidanaan (the sentenching system) merupakan aturan
perundang-undangan yang berhubungan dengan sanksi pidana dan pemidanaan (the statutory rules relating to penal
sanctions and punishment).Sitem Pemidanaan dimaksud dapat dilihat dari
sudut fungsional dan dari sudur norma substansial. Dari sudut fungsional dapat
diartikan sebagai keseluruhan sistem yang mengatur bagaimana hukum pidana
ditegakan secara kongkrit sehingga seseorang dijatuhi sanksi pidana. Sistem
pemidanaan demikian identik dengan sistem penegakan hukum pidana yang terdiri
dari substansi hukum pidana materill, substansi hukum pidana formil, dan
substansi hukum pelaksanaan pidana. Sistem pemidanaan fungsional diartikan pula
sebagai sistem pemidanan dalam arti luas. Dilihat dari sudt norma-substantif,
sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai keseluruhan sistem norma hukum pidana
materill untuk menjatuhkan dan pelaksanaan pidana. Sistem pemidanaan daalm arti
substantive diartikan pula sebagai sistem pemidanaan dalam arti sempit, yaitu
menyangkut masalah aturan/ketentuan tentang penjatuhan pidana.
Pidana sendiri merupakan suatu
pranata sosial konrtol yang dikaitkan dengan dan selalu mencerminkan nilai dan struktur masyarakat, sehinggah
merupakan suatu reafimrasi simbolis atas
pelanggaran terhadap “hati nurani bersama” atau collective conscience “. Oleh sebab itu, hukum pidana yang
merupakan the punitive style of social
control dan sebagai produk politik, sudah sepantasnya merupakan sublimasi
dari semua nilai masyarakat yang dirangkum dan dirumuskan serta ditetapkan oleh
aparat dalam system peradilan pidana.
Berkenaan dengan kewenangan yang
dimiliki negara untuk menjatuhkan hukuman, maka persoalan penting yang juga
sangat esensial adalah dasar-dasar pembenar penjatuhan hukuman yang daalm
lingkup hukum pidana akibatnya berupa nestapa atau penderitaan. Upaya mencari
dasar pembenar telah lama dilakukan oleh para pemikir tempo dulu”. Menurut
Simons bahwa penulis terdahulu pada umumnya telah mencari dasar pembenar dari
suatu pemidanaan pada tujuan yang lebih
jauh dari suatu pembinaan, di samping
melihat hakekat dari suatu pemidanaan itu sebagai suatu pembalasan, ia merasa
yakin bahwa hinggah akhir abad ke- 18, praktik pemidanaan itu berada di bawah
penagruh darip paham pembalasan atau vergeldingsidee
dan paham membuat jera atau afschrikkingsidee.
Adapun Van Hammel berpendapat bahwa hinggah akhir abas ke-19 praktik-praktik
pemidanaan masih dipengaruhi dua pemikiran pokok seperti yang diungkapkan
Simons, yaitu pembalasan dan membuat jera, dengan demikian pemidanaan adalah
memberikan rasa takut, balas dendam, serta mencermarkan nama baik secara
berlebihan.
Hukuman diangap wajar dan
rasional dijatuhkan kepada setiap orang sebagai akibat karena telah melakukan
kejahatan. Orang yang dengan kebebasannya telah melakukan tindakan yang dapat
menimbulkan penderitaan orang lain wajar merasakan penderitaan itu.[3]
Dasar pemikiran seperti ini tercermin dengan
menetapkan ancaman sanksi pidana yang sangat berat berupa perampasan
kemerdekaan. Penjatuhan pidana ditujukan untuk menderitakan pelanggar, terlepas
apakah penderitaan itu berhubungan dengan penderitaan korban atau tidak. Rasa
keadilan hanya diukur dengan penderitaan yang dirasakan pelanggar, dengan
demikian kelayakan dalam mejatuhkan pidana menjadi ukuran dalam penjatuhan
pidana.
Berebda dengan dasar yang yang
dikembangkan Konsep KUHP yang bertolak
dari pemikiran bahwa pidana pada hakekatnya alat untuk mecapi tujuan, maka
pemidanaan ditujukan dengan mempertimbangkan akibat yang timbul dari berbagai
aspek kepentingan, baik kepentingan pelaku, masyarakat bahkan kepentingan
korban. Pidana dijatuhkan bukan semata-mata didasarkan pada perbuatan yang
telah dilakukan pelaku, namun didasarkan pada pertimbangan berbagai aspek yang
ada pada si pelaku itu sendiri.
Dengan demikian, filosofi
pemidanaan yang dikembangkan dalam Rancangan KUHP tidak semata-mata ditujukan
pada bagaimana memperlakukan pelaku pelanggaran, namun berorientasi pula pada
pemikiran sejauh mana pemidanaan dapat memberikan perlindungan, baik bagi
pelaku maupn korban. Konsep pemidanaan demikian berpijak dari filosofi
pemidanaan yang berdasarkan pada falsafah restorative.
Istilah hukuman merupakan istilah
umum dan konvensional, istilah ini mempunyai arti yang sangat luas dan
berubah-ubah, jarena berhubungan dan berkonotasi dengan bidang yang sangat
luas. Istilah hukuman bukan hanya sering dipakai dalam bidang hukum, khususya
hukum pidana, tetapi serigkali juga. [4]dipakai
dalam sehari-hari seperti dalam bidang pendidikan, moral, agama dan lain-lain.
Istilah penghukuman dapat
diartikan secara sempit, yaitu penghukuman dalam perkara pidana, kaerap kali
sinonim dengan pemidanaan, atau penjatuhan pidana yang mempunyai arti yang sama
”sentence” atau “veroordeling”. Istilah Pidana merupakan istilah yang mempunyai arti
lebih khusus, sehinggah perlu ada pembatasan yang dapat menunjukkan ciri-ciri
dan sifat-sifatnya yang khas.
Menurut Sudarto yang dimaksud
dengan pidana yaitu penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang
melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
Pidana sebagai suatu reaksi yang sah atas perbuatan yang melanggar hukum,
namun di dunia diterapkan berbeda-beda atas dasar konteks hukum, agama, moral,
pendidikan, dan lain-lain . Atas dasar kenyatan tersebut, diungkapkan oleh
H.L.A Hart bahwa pidaan didalamnya harus:
1.
Mengandung
penderitaan atau konsekuaensi-konsekuaensi lain yang tidak menyenangkan;
2.
Dikenakan
pada seseorang yang benar-benar atau disangka benar melakukan tindak pidana;
3.
Dilakukan
denga sengajaoleh orang lain pelaku tindak pidana:
4.
Dijatuhkan
dan dilaksanakan oleh penguasa sesuai dengan
ketentuan suatu sistem hukum yang dilanggar oleh tindak pidana tersebut.
[5]Secara umum pidana yang berupa
pengenaan penderitaan yang sengaja dijatuhkan negara terhadap setiap pelaku
pelanggar hukum, didalamnya terkandung unsur-unsur, sebagai berikut:
1.
Pidana
pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat
lain ayng tidak meyenangkan;
2.
Pidana
itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan
yang berwenang;
3.
Pidana
itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut
undang-undang.
Selain ketiga unsur
tersebut. Alif Ross menambahkan dengan tegas bahwa pidana juga harus terkandung
berupa suatu kenyataan pencelaan terhadap diri si pelaku. Ia merinci bahwa
pidana merupakan reaksi sosila yang:
1.
Terjadi
berhubungan dengan adanya pelanggaran terhadap suatu aturan hukum;
2.
Dijatuhkan
dan dilaksanakan oleh orang-orang yang berkuasa sehubungan dengan tertib hukum
yang dilanggar;
3.
Mendukung
penderitaan atau paling tidak konsekuaensi-konsekuaensi lain yang tidak
menyenagkan;
4.
Menyatakan
pencelaan terhadap si pelanggar.
[1] Nashriana, op. cit., h. 91-95.
[2] Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 1997 Tentang
Peradilan Anak (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), h. 7.
[3] Ibid., h. 8.
[4] Ibid., h. 10.
[5] Adami Chawazi, op.cit., h. 166.