Jumat, 10 Agustus 2012

Hukum dan Perubahan Sosial


Kita sekarang sudah sampai ke tingkat peradaban manusia sedemikian rupa, dimana masyarakat sudah ditata secara sangat maju. Maka sekalian pekerjaan hukum juga ditempatkan dalam konteks dan bingkai penataan masyarakat yang sudah dilakukan sangat maju dan rasional. Masyarakat di dunia sudah berubah dari masyarakat yang tradisional menjadi sesuatu yang serba ditata dan tertata secara lebih rasional. Dengan demikian ia sudah menjadi masyarakat yang sarat dengan berbagai konstruksi, atau suatu masyarakat yang dikonstruksikan secara rasional. Hukum menjadi bagian dari konstruksi tersebut, dan dengan demikian bersifat artifisial.

            Kenyataan ini menunjukkan, bahwa dalam pembuatan hukum serta penegakan hukum semua itu tidak terlepas dari perilaku hukum masyarakat. Maka sudah semestinya apa yang dikatakan oleh Prof Tjip, sebutan akrab dari tokoh sosologi hukum Indonesia yang mencetuskan teori hukum progresif dengan gagasan bahwa hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya.[1] Apabila kita berpegangan pada keyakinan bahwa manusia itu adalah untuk hukum, maka manusia itu akan selalu diusahakan, mungkin juga dipaksakan, untuk bisa masuk ke dalam skema-skema yang telah dibuat oleh hukum.
Suatu masyarakat senantiasa mempunyai aspek struktural dan prosedural, oleh karena masyarakat sekaligus merupakan wadah dan proses kehidupan bersama manusia. Oleh karena itu lazim dikatakan, bahwa masyarakat terdiri dari aspek yang relatif statis dan dinamis. Aspek yang relatif statis terwujud dalam struktur sosial, sedangkan aspek dinamisnya terwujud dalam proses sosial. Kesemuanya itu merupakan unsur-unsur pokok dari suatu sistem kemasyarakatan (societal-system).[2] Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa hukum dan perubahan sosial merupakan salah satu bagian dari dinamika sosial atau dinamika masyarakat. 
Membaca dinamika hukum dan perubahan sosial hendaknya menempatkan hukum pada ruang sosial yang lebih luas. Seperti halnya, dalam suasana keterpurukan seperti ini kita terdorong untuk mengajukan berbagai pertanyaan mendasar; seperti: “kita bernegara hukum untuk apa?” Hukum itu mengatur masyarakat semata-mata untuk mengatur atau untuk suatu tujuan yang lebih besar?[3] Dibalik pertanyaan ini terkesan memberikan pendapat bahwa hukum hendaknya bisa mendatangkan kebahagiaan bagi yang membutuhkannya.
Sudah tentu pembicaraan mengenai perubahan sosial lebih baik diawali dengan suatu pembahasan ringkas mengenai konsepnya. Suatu konsep merupakan hasil proses abstraksi yang dilakukan terhadap gagasan-gagasan atau pengalaman-pengalaman secara empiris. Setiap masyarakat selama hidupnya pasti mengalami perubahan-perubahan. Perubahan-perubahan di dalam masyarakat mungkin berkaitan dengan nilai-nilai, kaidah-kaidah pola sikap dan seterusnya.[4]
Bagaimana hukum menjadi sebuah diskursus dari arus perubahan sosial yang begitu cepat mengikuti perkembangan jaman. Kita ingat sebagaimana kelompok-kelompok wanita, warga Bali dan Yogyakarta menolak RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP). Bagi mereka RUU APP akan mengakhiri keragaman budaya dan pembunuhan karakter terhadap individu seniman, khususnya wanita untuk mengatur tubuhnya sendiri. Berbagai penolakan itu membuktikan telah terjadi pergeseran nilai dalam struktur sosial masyarakat, yang mana hukum berusaha mereduksi persoalan pornografi dan pornoaksi masuk ke dalam upaya kriminalisasi.
Oleh karena itu dapatlah dikatakan bahwa perubahan sosial seketika dapat mendorong terjadinya perubahan pada lembaga-lembaga sosial yang mempengaruhi sistem sosial, termasuk nilai-nilai, sikap-sikap dan pola prilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Seperti apa yang dikatakan oleh Van Doorn;[5] hukum adalah skema yang dibuat untuk menata (prilaku) manusia, tetapi manusia itu sendiri cenderung terjatuh di luar skema yang diperuntukkan baginya, ini disebabkan faktor pengalaman, pendidikan, tradisi, dan lain-lain yang mempengaruhi dan membentuk prilakunya.
   Interaksi antara hukum dan masyarakat dipertajam oleh kehadiran hukum modern yang segala sudut pandangnya dialogis terhadap prinsip rasionalitas. Artinya hukum hanya berdaya-guna bila memiliki kebenaran rasional, sebuah kebenaran yang bisa dipertanggungjawabkan berdasarkan prinsip-prinsip logis-kritis. Rasionalitas itu memaksa hukum menjamin kepastian demi terwujudnya keadilan. Persoalannya keadilan yang dimaksud ialah keadilan hukum, sebagai ranah dari penjelmaan doktrin positivisme hukum. Keadilan hukum semata-mata hanya akan menjalankan hukum secara praktikal sesuai dengan prosedur hukum demi terwujudnya nilai kepastian hukum.
Pemahaman tentang hukum seperti demikian itu berimbas pula pada pemahaman antara keterkaitan hukum dan kepastian hukum menjadi relatif. Hukum tidak serta merta menciptakan kepastian hukum. Yang benar adalah bahwa hukum menciptakan kepastian peraturan, dalam arti adanya peraturan seperti undang-undang.[6] Lebih jauh Charles Sampford melakukan kritik terhadap ajaran dari postivisme hukum yang melihat sisi hukum hanya pada ranah kepastian hukum saja, ia mengatakan; hukum itu penuh dengan ketidakteraturan (the disorder of law).[7] Kalau para ahli hukum mengatakan, bahwa hukum itu harus dijalankan dengan penuh kepastian dan keteraturan, maka itu sebetulnya bertolak dari kepentingan profesi yang mereka lakoni pada waktu itu saja, dan bukan hal yang sebenarnya.
Sebab bagaimana ahli hukum bisa bekerja dengan tenang, kalau hukum yang mereka gunakan itu banyak mengandung ketidakpastian. Dengan demikian, menurut Sampford, kepastian hukum itu lebih merupakan keyakinan yang dipaksakan daripada keadaan yang sebenarnya.[8] Ternyata peraturan bukan satu-satunya faktor yang menyebabkan munculnya kepastian tersebut, melainkan juga faktor lain, seperti tradisi dan prilaku.
Akhir dari itu semua, bahwa hukum merupakan ekspresi dari kehendak sosial masyarakat, ia akan selalu fluktuatif berdasarkan dengan nilai-nilai, kaidah-kaidah dan prilaku sosial masyarakat. Keadilan sosial akan menjadi pintu terakhir dari cita-cita hukum setiap bangsa, atau rumusan yang lebih konkret adalah yang dikatakan oleh Gustav Radbruch; yaitu hukum adalah kehendak untuk bersikap adil.[9] Sisanya hanya adil untuk siapa? dan untuk apa?. Hal inilah yang menjadi pokok bahasan pada bagian selanjutnya, yaitu; refleksi filsafat hukum dalam menuai catatan akhir mencari reposisi keadilan sesungguhnya.



[1] Satjipto Rahardjo, Hukum Dalam Jagat Ketertiban, UKI PRESS, Jakarta, 2006, hal 151. Sejak hukum itu diadakan tidak untuk diri dan kepentingan sendiri, melainkan untuk bekerja dalam masyarakat, maka hukum sebagai konstruksi dihadapkan kepada lingkungan yang alami. Sebuah konstruksi harus bekerja dalam lingkungan yang alami. Keadaan ini menimbulkan banyak persoalan dan komplikasi. Hukum tidak selalu berhasil dengan baik untuk memproyeksikan “keinginannya” ke dalam masyarakat. Secara padat bisa daikatakan, bahwa “hukum bekerja dan tertanam dalam sebuah matriks sosio-kultural. Ibid hal 142.   
[2] Soerjono Soekanto, Pendekatan Sosiologi Terhadap Hukum, Bina Aksara, Jakarta, 1988, hal 49.

[3] Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Cet II, Buku Kompas, Jakarta, 2007, hal 9.

[4] Soerjono Soekanto, Pendekatan..Op.,Cit, hal 52.

[5] Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum..Op.,Cit, hal 4.
[6] Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, Buku Kompas, Jakarta, 2007, hal 78.

[7] Ibid.

[8] Ibid.

[9] E. Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum…Op.,Cit, hal xviii



Artikel Terkait..:

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar