Filsafat
hukum merupakan bagian penelusuran kebenaran yang tersaji dalam ruang lingkup
filsafat. Filsafat adalah kegiatan berpikir secara sistematikal yang hanya dapat
merasa puas menerima hasil-hasil yang timbul dari kegiatan berfikir itu
sendiri. Filsafat tidak membatasi diri hanya pada gejala-gejala indrawi,
fisikal, psikhikal atau kerohanian saja. Ia juga tidak hanya mempertanyakan
“mengapa” dan “bagaimana”-nya gejala-gejala ini, melainkan juga landasan dari
gejala-gejala itu yang lebih dalam, ciri-ciri khas dan hakikat mereka. Ia
berupaya merefleksi hubungan teoritikal, yang di dalamnya gejala-gejala
tersebut dimengerti atau dipikirkan.[1]
Dalam
hal itu, maka filsafat tidak akan pernah terlalu lekas puas dengan suatu
jawaban. Setiap dalil filsafat harus terargumentasikan atau dibuat dapat
dipahami secara rasional. Karena bagaimanapun filsafat adalah kegiatan
berfikir, artinya dalam suatu hubungan dialogikal dengan yang lain ia berupaya
merumuskan argumen-argumen untuk memperoleh pengkajian. Berikutnya filsafat
menurut hakikatnya bersifat terbuka dan toleran. Filsafat bukanlah kepercayaan
atau dogmatika, jika ia tidak lagi terbuka bagi argumentasi baru dan secara kaku
berpegangan pada pemahaman yang sekali telah diperoleh, tidak heran ketika
kefilsafatan secara praktikal akan menyebabkan kekakuan.[2]
Ada pendapat yang
mengatakan bahwa karena fisafat hukum merupakan bagian khusus dari filsafat
pada umumnya, maka berarti filsafat hukum hanya mempelajari hukum secara
khusus. Sehingga, hal-hal non hukum menjadi tidak relevan dalam pengkajian
filsafat hukum. Penarikan kesimpulan seperti ini sepertinya tidak begitu tepat.
Filsafat hukum sebagai suatu filsafat yang khusus mempelajari hukum hanyalah
suatu pembatasan akademik dan intelektual saja dalam usaha studi dan bukan
menunjukkan hakekat dari filsafat hukum itu sendiri.[3]
Sebagai
filsafat, filsafat hukum semestinya memiliki sikap penyesuaian terhadap
sifat-sifat, cara-cara dan tujuan-tujuan dari filsafat pada umumnya. Di samping
itu, hukum sebagai obyek dari filsafat hukum akan mempengaruhi filsafat hukum.
Dengan demikian secara timbal balik antara filsafat hukum dan filsafat saling
berhubungan.
Secara
sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat hukum adalah cabang filsafat, yaitu
filsafat tingkah laku atau etika, yang mempelajari hakikat hukum. Dengan
perkataan lain, filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara
filosofis. Jadi objek filsafat hukum adalah hukum, dan objek tersebut dikaji
secara mendalam sampai kepada inti atau dasarnya, yang disebut hakikat.[4]
Pertanyaan
tentang apa hakikat hukum itu sekaligus merupakan pertanyaan filsafat hukum
juga. Pertanyaan tersebut mungkin saja dapat dijawab oleh ilmu hukum, tetapi
jawaban yang diberikan ternyata serba tidak memuaskan. Menurut Apeldorn,[5]
hal tersebut tidak lain karena ilmu hukum hanya memberikan jawaban yang
sepihak. Ilmu hukum hanya melihat gejala-gejala hukum sebagaimana dapat diamati
oleh pancaindra manusia mengenai perbuatan-perbuatan manusia dan
kebiasaan-kebiasaan masyarakat. Sementara itu pertimbangan nilai di balik
gejala-gejala hukum, luput dari pengamatan ilmu hukum. Norma atau kaidah hukum,
tidak termasuk dalam dunia kenyataan (sein),
tetapi berada pada dunia nilai (sollen),
sehingga norma hukum bukan dunia penyelidikan ilmu hukum.
Refleksi
filsafat hukum melandaskan diri pada kenyataan hukum, oleh karena itu ia
merenungkan semua masalah fundamental dan masalah marginal yang berkaitan dengan gejala hukum. Setidaknya refleksi
filsafat hukum berangkat dari bidang penyelidikan secara folosofis yang pada
gilirannya dapat menemukan penelusuran terhadap landasan (dasar-dasar)
kebenaran. Maka dengan itu, ada tiga bidang penyelidikan ilmu hukum dalam kajian
“filsafat hukum”, antara lain;[6]
(1) Masalah
mengenai konsep atau sifat hukum.
Bidang penyelidikan
ini mencakup konsep-konsep pokok lainnya yang dianggap ada hubungannya secara
esensial dengan konsep tentang hukum, misalnya sumber, subyek hukum, kewajiban
hukum, kaedah hukum, dan juga sanksi hukum. Bidang penyelidikan yang terutama
ini lebih dikenal sebagai mazhab analitis, oleh karena ia bertujuan untuk
menganalisa dan memberi definisi kepada konsep-konsep yang disebut di atas.
Mazhab analitis dikemukakan oleh John
Austin, yang memiliki ciri formalisme yang metodis. Hukum sebagai
dianggapnya sebagai suatu sistem kaedah-kaedah positif, yaitu kaedah-kaedah
yang efektif dalam kenyataannya. Ilmu hukum hanya bertujuan untuk menentukan adanya
kaedah-kaedah ini dalam hukum yang berlaku lepas dari nilai-nilai etis dan
pertimbangan-pertimbangan politis. Demikian juga mazhab analitis tidak
mempersoalkan masalah-masalah yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan
sosial ke dalam mana hukum itu masuk-yaitu faktor-faktor sosial yang menentukan
penciptaan hukum dan pertumbuhannya dan akibat-akibat sosial yang dihasilkan
atau dimaksud untuk dihasilkan oleh kaedah-kaedah hukum.
(2) Masalah tujuan atau cita-cita
hukum.
Bidang penyelidikan ini
memusatkan perhatiannya kepada prinsip rasional yang memberikan kepada hukum
“keabsahan-nya” atau “kekuatan mengikatnya” yang khusus, dan merupakan
kriterium bagi “benarnya” suatu kaedah hukum. Pada umunya cita-cita hukum itu
dianggap adalah keadilan. Disinilah muncul pertanyaan-pertanyaan pokok tentang
hubungan antara keadilan dan hukum positif; peranan yang dimainkan oleh prinsip
keadilan dalam perundang-undangan, pengadilan dan sebagainya. Aliran hukum
semacam ini sering dikenal sebagai ilmu hukum etis atau filsafat hukum alam,
aliran pikiran ini yang erat hubungannya dengan pendekatan secara religius atau
metafisis-filosofis, mempunyai sejarah panjang. Filsafat hukum alam dimulai
sejak sejak filsuf-filsuf Yunani pertama hingga zaman kita sekarang ini.
Filsafat ini mencapai puncak klasiknya dalam sistem-sistem rasionalitas yang
besar dalam abad ketujuh belas dan kedelapan belas. Sesudah reaksi dari mazhab
sejarah dan positivis dalam abad kesembilan belas, filsafat hukum alam telah
mendapat pengaruh lagi dalam abad sekarang ini. Dasar filosofisnya pertama-tama
dan secara utama adalah filsafat skolastik katolik yang diteruskan dalam hukum
alam kaum Thomis; dan berbagai perkembangan dari sistem-sistem Kant dan Hegel. Teori-teori mengenai hukum alam telah juga menemukan dasar
dalam mazhab-mazhab filsafat lainnya (utilitarianisme, filsafat solidaritas,
intuisionisme Bergson, fenomenologisme
Husserl dan lain-lain).
(3) Masalah pola antarpengaruh hukum dan masyarakat.
Bidang penyelidikan ini mencakup
pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan asal usul historis dan
pertumbuhan dari hukum: dengan faktor-faktor sosial yang dalam zaman kita
menentukan isi variabel dari hukum; dengan bergantungnya hukum dan pengaruh
terhadap ekonomi dan kesadaran hukum rakyat; dengan akibat-akibat sosial dari kaedah-kaedah
hukum atau lembaga-lembaga tertentu; dengan kekuasaan pembentuk undang-undang
untuk membimbing perkembangan sosial; dengan hubugan antara hukum yang “hidup”
dengan hukum teoritis dan kekuatan-kekuatan yang sebenarnya menjadi motif bagi
penerapan hukum berlainan dengan alasan-alasan rasional dalam setiap putusan.
Pada
dasarnya ketiga bidang penyelidikan filsafat hukum ini merupakan suatu metode
untuk mencari kebenaran, yang merupakan prinsip-prinsip fundamental atau
mendasar tentang hakikat hukum tersebut. Kerja filsafat merupakan usaha-usaha
untuk menguji prinsip-prinsip dasar tersebut. Secara epistemologis ada tiga
teori tentang kebenaran yakni; the
correspondence theory of truth, the coherence theory of truth, dan pragmatic theory of truth.[7]
Ketiga teori ini mendasarkan pengertian dalam pencarian kebenaran. Jadi tujuan
filsafat hukum dan ilmu hukum berbeda dari tujuan hukum. Hukum itu sendiri bertujuan
hendak mencari keadilan, kepastian hukum, dan ketertiban. Tujuan hukum bersifat
etis, yakni bersumber pada kebaikan.
Tiga
teori kebenaran yang telah disebut dimuka, dapat diterapkan dalam filsafat
hukum, ilmu hukum, dan teknik hukum. Teori
korespondensi memandang bahwa suatu pernyataan adalah benar bila sesuai
atau sebanding dengan kenyataan yang menjadi objeknya, teori ini sesuai dengan
dimensi perilaku hukum dan menjadi bahan kajian sosiologi hukum dan antropologi
hukum. Kemudian teori koherensi
berpendapat bahwa suatu pernyataan adalah benar apabila sesuai dengan
pernyataan sebelumnya, dalam pengertian inilah yang menjadi landasan bahan
kajian filsafat hukum. Berbeda dengan teori
pragmatik, bahwa suatu pernyataan adalah benar bila berguna bagi kehidupan
praktis, yang sesuai dengan bahan kajian teknik hukum secara praksis.[8]
Teori
koherensi mengantarkan kita, sebagaimana berfikir secara kefilsafatan untuk
memiliki karakteristik yang bersifat menyeluruh dan universal. Dengan cara
berfikir holistik tersebut, maka siapa saja yang mempelajari filsafat hukum
diajak untuk berwawasan luas dan terbuka. Kemudian filsafat hukum dengan sifat
universalitasnya, memandang kehidupan secara menyeluruh, tidak memandang hanya
bagian-bagian dari gejala kehidupan saja atau secara partikular. Dengan
demikian filsafat hukum dapat menukik pada persoalan lain yang relevan atau
menerawang pada keseluruhan dalam perjalanan refelektifnya, tidak hanya
memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya.
Melihat
fungsi filsafat hukum lebih jauh; ialah sebagai cara pandang untuk berfikir
secara kreatif dengan menetapkan nilai, menetapkan tujuan, menentukan arah, dan
menuntun pada jalan baru. Adanya karakteristik khusus dari pemikiran filsafat
hukum di atas sekaligus juga menunjukkan letak urgensinya. Dengan mengetahui
dan memahami filsafat hukum dengan berbagai sifat dan karakternya tersebut,
maka sebenarnya filsafat hukum dapat dijadikan salah satu alternatif untuk ikut
membantu memberikan jalan keluar terhadap orientasi keadilan sosial selama ini.
Tentu saja kontribusi yang dapat diberikan dari agenda refleksi filsafat hukum
dalam bentuk konsepsi dan persepsi terhadap pendekatan yang hendak dipakai
dalam penyelesaian masalah-masalah sosial yang terjadi. Pendekatan mana
didasarkan pada sifat-sifat dan karakter yang melekat pada filsafat hukum itu
sendiri.
[1]
Arief Sidharta, Meuwissen Tentang
Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum, Refika
Aditama, Bandung, 2007, hal 1. Lihat juga Ahmad Azhar Basyir, Pokok-pokok Persoalan Filsafat Hukum Islam,
UII Press, Yogyakarta, 2000, hal 1. Kata
filsafat atau falsafat berasal dari kata Arab “falsafah” yang diturunkan dari kata Yunani “philosophia” yang merupakan kata gabungan dari kata philein yang berarti mencintai atau philia yang berarti cinta dan kata shopia yang berarti kebijaksanaan.
Dengan demikian, kata philosophia,
filsafah, falsafat, berarti mencintai atau cinta kepada kebijaksanaa. Orang
yang mencintai kebijaksanaan disebut philosophos
yang dalam bahasa Arab disebut “failasuf’
(jamaknya: filasifah) dan dalam
bahasa Indonesia disebut “filosuf”.
[2] Ibid.
[3]
Sugiyanto Darmadi, Kedudukan Ilmu Hukum
dalam Ilmu dan Filsafat, Mandar Maju, Bandung,
1998, hal 18.
[4]
Darji Darmodiharjo dan Arief Sidharta, Pokok-pokok
Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 1995, hal 10-11.
[5]
Van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum,
Cet. Ke 22 Pradnya Paramita, Jakarta,
1985, hal 439.
[6]
S.Tasrif, Bunga Rampai Filsafat Hukum…Op.,Cit,
hal 13-15.
[7]
Teguh Prasetyo, Ilmu Hukum dan Filsafat
Hukum, Cet. II, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007, hal 16.
[8] Ibid.