Jumat, 10 Agustus 2012

Pandangan Filsafat Terhadap Hukum


Filsafat hukum merupakan bagian penelusuran kebenaran yang tersaji dalam ruang lingkup filsafat. Filsafat adalah kegiatan berpikir secara sistematikal yang hanya dapat merasa puas menerima hasil-hasil yang timbul dari kegiatan berfikir itu sendiri. Filsafat tidak membatasi diri hanya pada gejala-gejala indrawi, fisikal, psikhikal atau kerohanian saja. Ia juga tidak hanya mempertanyakan “mengapa” dan “bagaimana”-nya gejala-gejala ini, melainkan juga landasan dari gejala-gejala itu yang lebih dalam, ciri-ciri khas dan hakikat mereka. Ia berupaya merefleksi hubungan teoritikal, yang di dalamnya gejala-gejala tersebut dimengerti atau dipikirkan.[1]

Dalam hal itu, maka filsafat tidak akan pernah terlalu lekas puas dengan suatu jawaban. Setiap dalil filsafat harus terargumentasikan atau dibuat dapat dipahami secara rasional. Karena bagaimanapun filsafat adalah kegiatan berfikir, artinya dalam suatu hubungan dialogikal dengan yang lain ia berupaya merumuskan argumen-argumen untuk memperoleh pengkajian. Berikutnya filsafat menurut hakikatnya bersifat terbuka dan toleran. Filsafat bukanlah kepercayaan atau dogmatika, jika ia tidak lagi terbuka bagi argumentasi baru dan secara kaku berpegangan pada pemahaman yang sekali telah diperoleh, tidak heran ketika kefilsafatan secara praktikal akan menyebabkan kekakuan.[2]
Ada pendapat yang mengatakan bahwa karena fisafat hukum merupakan bagian khusus dari filsafat pada umumnya, maka berarti filsafat hukum hanya mempelajari hukum secara khusus. Sehingga, hal-hal non hukum menjadi tidak relevan dalam pengkajian filsafat hukum. Penarikan kesimpulan seperti ini sepertinya tidak begitu tepat. Filsafat hukum sebagai suatu filsafat yang khusus mempelajari hukum hanyalah suatu pembatasan akademik dan intelektual saja dalam usaha studi dan bukan menunjukkan hakekat dari filsafat hukum itu sendiri.[3]  
Sebagai filsafat, filsafat hukum semestinya memiliki sikap penyesuaian terhadap sifat-sifat, cara-cara dan tujuan-tujuan dari filsafat pada umumnya. Di samping itu, hukum sebagai obyek dari filsafat hukum akan mempengaruhi filsafat hukum. Dengan demikian secara timbal balik antara filsafat hukum dan filsafat saling berhubungan.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat hukum adalah cabang filsafat, yaitu filsafat tingkah laku atau etika, yang mempelajari hakikat hukum. Dengan perkataan lain, filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis. Jadi objek filsafat hukum adalah hukum, dan objek tersebut dikaji secara mendalam sampai kepada inti atau dasarnya, yang disebut hakikat.[4]
Pertanyaan tentang apa hakikat hukum itu sekaligus merupakan pertanyaan filsafat hukum juga. Pertanyaan tersebut mungkin saja dapat dijawab oleh ilmu hukum, tetapi jawaban yang diberikan ternyata serba tidak memuaskan. Menurut Apeldorn,[5] hal tersebut tidak lain karena ilmu hukum hanya memberikan jawaban yang sepihak. Ilmu hukum hanya melihat gejala-gejala hukum sebagaimana dapat diamati oleh pancaindra manusia mengenai perbuatan-perbuatan manusia dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat. Sementara itu pertimbangan nilai di balik gejala-gejala hukum, luput dari pengamatan ilmu hukum. Norma atau kaidah hukum, tidak termasuk dalam dunia kenyataan (sein), tetapi berada pada dunia nilai (sollen), sehingga norma hukum bukan dunia penyelidikan ilmu hukum.    
Refleksi filsafat hukum melandaskan diri pada kenyataan hukum, oleh karena itu ia merenungkan semua masalah fundamental dan masalah marginal yang berkaitan  dengan gejala hukum. Setidaknya refleksi filsafat hukum berangkat dari bidang penyelidikan secara folosofis yang pada gilirannya dapat menemukan penelusuran terhadap landasan (dasar-dasar) kebenaran. Maka dengan itu, ada tiga bidang penyelidikan ilmu hukum dalam kajian “filsafat hukum”, antara lain;[6]
(1)  Masalah mengenai konsep atau sifat hukum.
Bidang penyelidikan ini mencakup konsep-konsep pokok lainnya yang dianggap ada hubungannya secara esensial dengan konsep tentang hukum, misalnya sumber, subyek hukum, kewajiban hukum, kaedah hukum, dan juga sanksi hukum. Bidang penyelidikan yang terutama ini lebih dikenal sebagai mazhab analitis, oleh karena ia bertujuan untuk menganalisa dan memberi definisi kepada konsep-konsep yang disebut di atas. Mazhab analitis dikemukakan oleh John Austin, yang memiliki ciri formalisme yang metodis. Hukum sebagai dianggapnya sebagai suatu sistem kaedah-kaedah positif, yaitu kaedah-kaedah yang efektif dalam kenyataannya. Ilmu hukum hanya bertujuan untuk menentukan adanya kaedah-kaedah ini dalam hukum yang berlaku lepas dari nilai-nilai etis dan pertimbangan-pertimbangan politis. Demikian juga mazhab analitis tidak mempersoalkan masalah-masalah yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan sosial ke dalam mana hukum itu masuk-yaitu faktor-faktor sosial yang menentukan penciptaan hukum dan pertumbuhannya dan akibat-akibat sosial yang dihasilkan atau dimaksud untuk dihasilkan oleh kaedah-kaedah hukum. 
(2)  Masalah tujuan atau cita-cita hukum.
      Bidang penyelidikan ini memusatkan perhatiannya kepada prinsip rasional yang memberikan kepada hukum “keabsahan-nya” atau “kekuatan mengikatnya” yang khusus, dan merupakan kriterium bagi “benarnya” suatu kaedah hukum. Pada umunya cita-cita hukum itu dianggap adalah keadilan. Disinilah muncul pertanyaan-pertanyaan pokok tentang hubungan antara keadilan dan hukum positif; peranan yang dimainkan oleh prinsip keadilan dalam perundang-undangan, pengadilan dan sebagainya. Aliran hukum semacam ini sering dikenal sebagai ilmu hukum etis atau filsafat hukum alam, aliran pikiran ini yang erat hubungannya dengan pendekatan secara religius atau metafisis-filosofis, mempunyai sejarah panjang. Filsafat hukum alam dimulai sejak sejak filsuf-filsuf Yunani pertama hingga zaman kita sekarang ini. Filsafat ini mencapai puncak klasiknya dalam sistem-sistem rasionalitas yang besar dalam abad ketujuh belas dan kedelapan belas. Sesudah reaksi dari mazhab sejarah dan positivis dalam abad kesembilan belas, filsafat hukum alam telah mendapat pengaruh lagi dalam abad sekarang ini. Dasar filosofisnya pertama-tama dan secara utama adalah filsafat skolastik katolik yang diteruskan dalam hukum alam kaum Thomis; dan berbagai perkembangan dari sistem-sistem Kant dan Hegel. Teori-teori mengenai hukum alam telah juga menemukan dasar dalam mazhab-mazhab filsafat lainnya (utilitarianisme, filsafat solidaritas, intuisionisme Bergson, fenomenologisme Husserl dan lain-lain).
(3)  Masalah pola antarpengaruh hukum dan masyarakat.
       Bidang penyelidikan ini mencakup pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan asal usul historis dan pertumbuhan dari hukum: dengan faktor-faktor sosial yang dalam zaman kita menentukan isi variabel dari hukum; dengan bergantungnya hukum dan pengaruh terhadap ekonomi dan kesadaran hukum rakyat; dengan akibat-akibat sosial dari kaedah-kaedah hukum atau lembaga-lembaga tertentu; dengan kekuasaan pembentuk undang-undang untuk membimbing perkembangan sosial; dengan hubugan antara hukum yang “hidup” dengan hukum teoritis dan kekuatan-kekuatan yang sebenarnya menjadi motif bagi penerapan hukum berlainan dengan alasan-alasan rasional dalam setiap putusan.    
Pada dasarnya ketiga bidang penyelidikan filsafat hukum ini merupakan suatu metode untuk mencari kebenaran, yang merupakan prinsip-prinsip fundamental atau mendasar tentang hakikat hukum tersebut. Kerja filsafat merupakan usaha-usaha untuk menguji prinsip-prinsip dasar tersebut. Secara epistemologis ada tiga teori tentang kebenaran yakni; the correspondence theory of truth, the coherence theory of truth, dan pragmatic theory of truth.[7] Ketiga teori ini mendasarkan pengertian dalam pencarian kebenaran. Jadi tujuan filsafat hukum dan ilmu hukum berbeda dari tujuan hukum. Hukum itu sendiri bertujuan hendak mencari keadilan, kepastian hukum, dan ketertiban. Tujuan hukum bersifat etis, yakni bersumber pada kebaikan.
Tiga teori kebenaran yang telah disebut dimuka, dapat diterapkan dalam filsafat hukum, ilmu hukum, dan teknik hukum. Teori korespondensi memandang bahwa suatu pernyataan adalah benar bila sesuai atau sebanding dengan kenyataan yang menjadi objeknya, teori ini sesuai dengan dimensi perilaku hukum dan menjadi bahan kajian sosiologi hukum dan antropologi hukum. Kemudian teori koherensi berpendapat bahwa suatu pernyataan adalah benar apabila sesuai dengan pernyataan sebelumnya, dalam pengertian inilah yang menjadi landasan bahan kajian filsafat hukum. Berbeda dengan teori pragmatik, bahwa suatu pernyataan adalah benar bila berguna bagi kehidupan praktis, yang sesuai dengan bahan kajian teknik hukum secara praksis.[8]
Teori koherensi mengantarkan kita, sebagaimana berfikir secara kefilsafatan untuk memiliki karakteristik yang bersifat menyeluruh dan universal. Dengan cara berfikir holistik tersebut, maka siapa saja yang mempelajari filsafat hukum diajak untuk berwawasan luas dan terbuka. Kemudian filsafat hukum dengan sifat universalitasnya, memandang kehidupan secara menyeluruh, tidak memandang hanya bagian-bagian dari gejala kehidupan saja atau secara partikular. Dengan demikian filsafat hukum dapat menukik pada persoalan lain yang relevan atau menerawang pada keseluruhan dalam perjalanan refelektifnya, tidak hanya memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya.
Melihat fungsi filsafat hukum lebih jauh; ialah sebagai cara pandang untuk berfikir secara kreatif dengan menetapkan nilai, menetapkan tujuan, menentukan arah, dan menuntun pada jalan baru. Adanya karakteristik khusus dari pemikiran filsafat hukum di atas sekaligus juga menunjukkan letak urgensinya. Dengan mengetahui dan memahami filsafat hukum dengan berbagai sifat dan karakternya tersebut, maka sebenarnya filsafat hukum dapat dijadikan salah satu alternatif untuk ikut membantu memberikan jalan keluar terhadap orientasi keadilan sosial selama ini. Tentu saja kontribusi yang dapat diberikan dari agenda refleksi filsafat hukum dalam bentuk konsepsi dan persepsi terhadap pendekatan yang hendak dipakai dalam penyelesaian masalah-masalah sosial yang terjadi. Pendekatan mana didasarkan pada sifat-sifat dan karakter yang melekat pada filsafat hukum itu sendiri.


[1] Arief Sidharta, Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2007, hal 1. Lihat juga Ahmad Azhar Basyir, Pokok-pokok Persoalan Filsafat Hukum Islam, UII Press, Yogyakarta, 2000, hal 1. Kata filsafat atau falsafat berasal dari kata Arab “falsafah” yang diturunkan dari kata Yunani “philosophia” yang merupakan kata gabungan dari kata philein yang berarti mencintai atau philia yang berarti cinta dan kata shopia yang berarti kebijaksanaan. Dengan demikian, kata philosophia, filsafah, falsafat, berarti mencintai atau cinta kepada kebijaksanaa. Orang yang mencintai kebijaksanaan disebut philosophos yang dalam bahasa Arab disebut “failasuf’ (jamaknya: filasifah) dan dalam bahasa Indonesia disebut “filosuf”. 

[2] Ibid.

[3] Sugiyanto Darmadi, Kedudukan Ilmu Hukum dalam Ilmu dan Filsafat, Mandar Maju, Bandung, 1998, hal 18.
[4] Darji Darmodiharjo dan Arief Sidharta, Pokok-pokok Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, hal 10-11.

[5] Van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. Ke 22 Pradnya Paramita, Jakarta, 1985, hal 439.

[6] S.Tasrif, Bunga Rampai Filsafat Hukum…Op.,Cit, hal 13-15.
[7] Teguh Prasetyo, Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum, Cet. II, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007, hal 16.
[8] Ibid.


Artikel Terkait..:

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar